Dalam Dekapan Arduinna

Membujur sepanjang bagian selatan Belgia hingga utara Luxemburg dan sedikit bagian Perancis, Ardennes merupakan perbukitan berhutan. Sungai-sungai kecil seperti Lesse, Ourthe, Semois dan Ambleve, membentuk lembah-lembah indah.

Walau memiliki kota besar seperti Namur, Dinant dan Luettich, sebagian besar Ardennes berpenduduk jarang.  Di sini, selain hutan, kita akan banyak bertemu peternakan di tepi sungai, desa-desa kecil, dan padang rumput menghijau. Bangsa Romawi kuno memberi nama Ardennes berdasarkan nama Dewi Hutan bangsa Celtic, Arduinna. Tak salah ketika travel writer kondang Bill Bryson mengatakan jika bagian utara Belgia lebih makmur, namun bagian selatan punya alam lebih elok.

Belgia tak terlalu asing bagi saya. Tinggal di wilayah Jerman dekat perbatasan dengan Belgia membuat saya dan suami berkali menyeberang kemari. Awal musim panas tahun ini, kami bertekad untuk masuk lebih dalam ke jantung Ardennes. Menikmati daerah-daerah sepi dan kurang terkenal di mata turis internasional.

Spa

Saya tak pernah mengira bahwa kata spa yang berarti wellness atau tempat tetirah berasal, mulanya dari nama kota kecil ini. Bangsa Romawi kuno sudah mengenal khasiat mata air di sini. Setelah terlupakan berbad-abad, seorang dokter istana kemudian menuliskan kemajuran air Spa. Tak lama, tempat yang awalnya kampung kecil ini makin banyak didatangi orang untuk berobat.

Spa di Belgia
Spa, Kota Air Berkhasiat

Raja Charles II dari Inggris, Ratu Christina dari Swedia, Raja Louis Philippe dari Perancis, Tsar Rusia Peter the Great, hingga Shah Iran Nazar al-Din pernah tetirah di pemandian Ardennes. Spa mendapatkan julukan „Cafe Europas“. Kemasyhurannya kemudian memudar setelah Perang Dunia pertama berakhir.

Langit mendung Spa menyambut kehadiran pagi hari itu. Kami mendapat parkir di pusat kota, tak jauh dari Place Royale. Di samping tempat parkir berdiri gedung pemandian air panas kuno, Bains, tutup sejak 2004. Gedung mangkrak ini dari luar masih terlihat elegan. Dindingnya dari potongan batu besar. Patung-patung manusia menghiasi fasad dan atapnya.

Sebuah taman cantik menghubungkan Bains dengan kasino tertua di dunia. Ya, selain sebagai pusat tetirah, Spa pernah menjadi pusat perjudian Eropa. Ia didirikan oleh Bishop dari Luettich sejak tahun 1762, seratus tahun sebelum pusat perjudian Monte Carlo berdiri. Casino Spa terdiri dari tiga gedung yang bergandengan. Dari luar, ia tampak sepi saja.

Setelah membeli waffel Belgia yang terkenal enak di sebuah toko roti, kami lanjutkan perjalanan kaki. Oh ya, di negeri ini waffel banyak dijual di gerai-gerai khusus. Dengan topping krim dan aneka buah-buahan. Di toko roti biasanya harganya lebih murah. Tapi kebanyakan tanpa topping. Rasanya tak kalah enak.

Tujuan kami berikutnya adalah salah satu sumber mata air Spa, Pouhan Pierre-le-Grand. Sebuah bangunan megah kira-kira lima menit jalan kaki dari Place Royale. Mata air ini namanya berasal dari tsar Rusia Peter the Great. Yang pada tahun 1717 datang kemari dan menyebut air Spa memiliki kekuatan magis.

Gedung di sudut jalan dan berkubah di bagian depannya ini juga jadi kantor informasi turis Spa. Pengunjung bisa mendapatkan peta gratis. Yang menunjukkan sumber-sumber mata air terkenal lainnya. Di sini juga dijual air mineral botolan. Jika ingin mencicipi langsung bisa masuk ke ruangan pompa. Meminum langsung air yang rasa dan baunya mirip logam itu.

Desa Buku Redu

Tidak mudah menemukan desa terpencil ini. Alamat yang kami dapatkan di internet, ketika dimasukkan ke alat navigasi, yang dikenal hanya tempat bernama Libin. Redu ternyata masih sekitar 7 km dari Libin.

Sejak membaca tentang desa buku tertua di daratan Eropa ini di sebuah buku panduan, saya sudah bertekad, suatu saat akan kemari. Tur Ardennes kali ini cocok untuk mewujudkan tekad tersebut.

Wisata buku Belgia
Buku Berkebun di Redu

Sebelumnya, Redu adalah desa pertanian kecil, ditinggalkan penduduknya. Noel Anselot, seorang jurnalis dan penggemar buku, seizin walikota setempat kemudian mengorganisir sebuah pameran buku di Redu di tahun 1984. Pameran ini sukses besar. Mengail perhatian toko-toko buku besar dari kota-kota sekitarnya, Namur, Arlon, Luettich, hingga Brussel. Mereka menyewa bekas kandang dan gudang petani untuk dijadikan tempat pameran serta penjualan buku.

Jalan kecil menuju Redu beraspal mulus. Berada di antara hutan dan sepi. Tak lama, pemandangan berubah menjadi lahan pertanian luas. Melewati rumah-rumah pedesaan, kami masuk ke pusat desa. Tempat 20-an toko buku memajang jualannya. Ada tempat parkir luas lagi gratis bagi pengunjung menjelang pusat buku.

Sebelum sampai ke deretan toko buku, kami melewati kandang sapi organik besar. Walau bersih, bau kotorannya merebak hingga ke luar. Redu kelihatan sepi. Para pemilik buku tapi sedang sibuk menata kios-kios dan meja-meja berisi buku. Ya keesokan harinya mereka akan mengadakan Festival Buku. Saya tak menyesal tak datang saat festival. Karena pasti jauh lebih ramai dan kurang nyaman dinikmati.

Menempati bekas gudang dan kandang, toko-toko buku di Redu tentunya tak seperti toko biasa. Masuk toko buku pertama yang saya temui, rasanya seperti masuk gudang buku. Lantainya plester biasa. Atapnya rendah. Rak-rak buku berjajar, tingginya hingga menyentuh langit-langit.

Toko tersebut hanya menjual buku-buku bekas. Ada buku memasak, buku kesehatan, komik, kamus, dan masih banyak lagi. Ketika saya coba ambil dann buka satu buku, bau apek segrea tercium. Sayangnya hampir semua buku berbahasa Perancis. Di sebelah toko ada ruangan mirip museum. Ada mesin cetak kuno asli buatan Heidelberg. Huruf-huruf untuk mencetak buku tertata rapi di atas meja. Sayangnya sedang tutup. Kami hanya bisa mengintip sebagian isinya.

Kami keluar masuk toko buku. Komik-komik Belgia seperti Tintin, Lucky Luke baru banyak dijual. Konon harganya lebih murah dibanding toko buku biasa. Kolektor buku bisa berburu buku di sini. Cafe dan tempat makan juga mudah ditemukan di pusat Redu. Ah, coba kalau saya bisa bahasa Perancis. Sepertinya bakal kerasan berlama-lama di desa mungil ini.

Bouillon

Mulanya saya dan pasangan tak berencana mampir kota ini. Kala itu kami hendak menyeberang ke Perancis. Tapi suami penasaran. „Yuk, kita cari kejutan di sana!“ ajaknya.

Mendengar namanya, yang saya pikirkan adalah, apakah tempat ini asal bouillon atau kaldu daging yang biasanya untuk bahan sup  itu? Kenyataannya bukan. Ia terkenal karena nama Godfrey of Bouillon, seorang ksatria, salah satu pemimpin perang salib, duduk di tampuk pimpinan Kingdom of Jerusalem. Godfrey menjual kastil Bouillon kepada Bishop Luettich sebelum bertolak ke Yerusalem.

Jalan jalan di Wallonia, Belgia
Pusat kota Bouillon di selatan Belgia

Kastil berusia lebih dari seribu tahun itu masih berdiri gagah di atas sana. Di puncak sebuah bukit. Kami datang dari jalan di bawahnya. Lewat pusat Bouillon di tepi sungai terindah di Ardennes, La Semois.

Awalnya kami memotret dari kejauhan. Pusat kota Bouillon sendiri terlihat ramai. Bahkan saya sempat melihat warung kebab halal. Kotanya cantik. Dengan rumah-rumah kuno berjajar di dekat tepian sungai. Ada becak air dan perahu disewakan kepada para turis. Untuk menikmati Bouillon dari atas air. Paling eye catching pastinya kompleks kastil kuno. Kami melanjutkan perjalanan. Langsung menuju kastil.

Pusat Bouillon berada di dalam lekukan La Semois. Berada di dalam daerah berbentuk mirip sebuah tapal kuda. Dari kastil, kita bisa melihat sungai dari dua sisi berbeda. Tak banyak orang terlihat di kompleks kastil. Ia dibangun sejak tahun 1050. Wujudnya yang sekarang berasal dari abad 16 dan setelahnya.

Kastil Bouillon dibangun di atas sebuah bukit, tepatnya di atas tebing setinggi lebih dari 300 meter. Dari batuan alam. Dindingnya sangat tebal. Ia merupakan salah satu sistem pertahanan penting di Ardennes. Sempat menjadi rebutan penguasa Perancis, Belgia, maupun Belanda zaman dahulu. Saat ini, ia jadi objek wisata sejarah dan arsitektur Bouillon.

Saya sempat masuk sebentar. Mengamati kekohonan bangunannya, sebuah jembatan kayu di depan pintu gerbang. Membayangkan zaman dulu, kalau musuh sedang menyerang, maka jembatan kayu itu diangkat untuk menutup gerbang sekaligus menutup akses menuju kastil.

Setelahnya, saya berjalan sejenak menikmati keindahan La Semois. Menyusuri tepian sembari menyaksikan beberapa orang mendayung kayak. Lalu lintas sepi. Tak ada kemacetan dan bebas hiruk pikuk kota besar.

Bastogne

Saya berusaha mengingat, apakah saya pernah mendengar tentang kota ini? Tak ada memori sama sekali tentangnya. Awalnya kami hendak mampir ke Namur menjelang kembali ke rumah. Tapi cuaca beberapa hari terakhir yang sering hujan membuat kami kehilangan semangat untuk mengeksplor tempat baru.

Perang dunia 2 di Belgia
Monumen Perang Bastogne

Di tengah perjalanan, saya berubah pikiran. „Kita mampir kota Bastogne aja, Say! Hanya lima kilometer dari pintu keluar jalan tol di depan,“ ajak saya.

„Ada apa di sana?“

„Entahlah, di brosur ini katanya Bastogne kota bersejarah. Mungkin salah satu kota abad pertengahan,“ jawab saya.

Sejarah Bastogne, saya ketahui kemudian, bersentuhan dengan Perang Dunia Kedua. Di kota ini terjadi Pertempuran di Ardennes atau dikenal sebagai Battle of the Bulge.

Tahun 1944, Bastogne dan bagian Belgia lainnya sebenarnya sudah dibebaskan oleh pasukan sekutu dibawah Jenderal McAuliffe. Akan tetapi kembali berhasil dikuasai pasukan Jerman. Enam hari pertempuran sengit dari dua kubu berlangsung. Hingga Jenderal Patton berhasil membebaskan kota ini lagi. Lebih dari 76 ribu prajurit Jerman terbunuh atau terluka. Sedangkan dari pihak sekutu lebih dari 77 ribu orang. Korban dari pihak sipil tak terhitung jumlahnya.

Kami parkir di ujung Grand Rue. Hari Minggu toko-toko setempat buka. Jadi kami berjalan di pusat kota sambil keluar masuk toko. Di sebuah toko kue, kami beli sekantong macaron, eclair isi coklat dan minuman coklat hangat. Lumayan untuk menghalau angin dingin yang sesekali menyapa.

Jantung Bastogne berada di sepanjang Jalan Grand Rue hingga ujung Rue du Sablon. Deretan ruko di jalan tersebut gabungan antara bangunan kuno dan modern. Trotoarnya lebar dan nyaman. Sesekali kita temukan air muncrat dan patung di pinggir jalan. Papan info wisata ditampilkan dalam bahasa Perancis.

Kami berjalan hingga Place General McAuliffe. Salah sebuah monumen perang. Patung kepala hingga dada sang jenderal berdiri di sudut, dikelilingi bunga tulip. Di dekatnya dipajang tank Sherman, kendaraan zaman perang dunia kedua. Tempat ini lumayan ramai. Para turis bergantian berfoto depan patung atau tank.

Saya tempat berjalan kaki mengikuti rute sejarah kota ini. Melewati monumen Jenderal Patton, serta bekas-bekas bangunan lain yang sudah hancur akibat perang. Tak terbayangkan rasanya bagaimana penduduk sipil ketika dikepung nyaris seminggu oleh tentara Jerman. Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga hal tersebut tak terjadi lagi.

6 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: