Musim dingin sering dihiasi dengan berbagai penawaran murah, hal-hal yang berhubungan dengan wisata. Jaringan jugendherberge Rheinland Pfalz dan Saarland tak mau ketinggalan. Memberikan diskon menginap murah 5 bulan lamanya di musim dingin. Buat kami, penawaran ini sangat menggiurkan. Sesekali kami manfaatkan. Fasilitas dan isi kamarnya tak jarang mirip dengan hotel berbintang banyak.
Musim dingin tahun ini, Koblenz menjadi tujuan menginap pertama. Meski dulu sering sekali ke kota ini, tapi kami belum pernah mengunjungi Festung Ehrenbereitstein. Satu kompleks benteng masa silam yang kini jadi obyek wisata dan museum. Apalagi penginapannya berada dalam benteng. Gimana rasanya menginap di bekas benteng, ya?
Perjalanan Jumat sore itu penuh tantangan. Badai salju tiba-tiba datang di awal Desember. Di radio, katanya tak ada macet di jalan tol menuju kota ini. Jarak antara rumah dengan Koblenz sekitar 120 km. Normalnya bisa ditempuh dalam 1,5 jam. Kami masih optimis tak bakal kena macet.
Keluar Düren, rasa optimis kami makin lama kain pudar. Serbuk putih menderas. Disertai angin kencang. Dia menari-nari, berputar-putar, sebelum akhirnya sampai di permukaan tanah yang telah memutih. Mobil-mobil berjalan pelan. Kendaraan penyapu salju pasti juga baru beroperasi entah di mana. Jalanan tertutup salju licin dilalui. Mau tak mau semua harus hati-hati agar tak tergelincir atau saling bertabrakan. Menjelang masuk jalan tol, ada drama. Saat mau keluar sebuah bundaran, ban mobil kami tak bisa dikendalikan, tergelincir ke satu sisi jalan. Alhamdulillah masih bisa direm dan tak ada mobil lain di sekitar kami. Adik bersorak senang.
“Hey, können wir noch mal machen? (bisa kita ulang sekali lagi?),” tanyanya riang. Kami bertiga kompak menjawab,”Das ist nicht lustig! (Itu gak lucu, tau!)”
Di jalan tol suasana tak membaik. Jalanan belum juga dibersihkan. Di jalanan di mana orang biasanya bisa berkendara hingga 130km/jam atau bahkan lebih, mobil-mobil berjalan 15-25 km/jam. Hampir semua sepakat bahwa sisi paling kanan paling aman digunakan. Bapak sesekali mengambil jalur kiri, menerjang hingga 65 km/jam. Beberapa truk panjang dan besar tak mampu berjalan sama sekali, apalagi di tanjakan. Mereka pasrah menunggu di jalur kosong sebelah pagar pengaman.
Kendaraan makin padat saja. Truk, bus, mobil-mobil pribadi berjalan sejengkal-sejengkal. Rasa optimis kami sudah amblas. Tak mungkin sampai Koblenz sebelum pukul setengah delapan malam. Bapak menelpon Jugendherberge, memberitahukan keterlambatan kami. Untunglah sang petugas mengerti. Curfew pukul 10 malam.
Sore itu, total empat jam-an kami habiskan di jalanan. Rekor macet kami terlama selama di negeri ini.