Ia salah satu kota terbesar di utara Bosnia. Pemberhentian pertama keluarga pelancong. Sejak merencanakan perjalanan ini, kami sudah sepakat, bakal menginap di salah satu kota terdekat di perbatasan.
Banja Luka dihuni oleh mayoritas orang-orang Serbia. Emak sudah membaca informasi ini saat riset perjalanan. Namun saat itu tak ada pikiran apa-apa jika nantinya kami menginap di sana. Seorang kenalan menyarankan kami masuk dri arah barat laut saja. Dekat dengan kota Bihac. Beliau khawatir di Banja Luka ada sesuatu terjadi pada kami, jika mereka tahu kami muslim. Oh, Emak pikir dengan berakhirnya perang, berakhir pula yang namanya kebencian.
Emak pun riset tentang Bihac. Mencari alternatif penginapan. Sayangnya di kota ini, jumlah penginapan yang bisa dipesan lewat internet sungguh terbatas. Salah satu alternatif-nya adalah go show. Nyari langsung ketika tiba di sini. Pikir-pikir, cara ini sangat berisiko. Iya kalau dapat, kalau nggak susah juga. Apalagi kami berenam dnegan dua anak. Kasihan jika mereka harus menginap di mobil lagi. Akhirnya seminggu sebelum pergi tak dapat kepastian enginapan di Bihac, kami ambil risiko, dengan balik ke Banja Luka. Nanti jika situasi tak memungkinkan, kami cuma numpang tidur aja. Besoknya langsung menuju ke selatan.
Hari sudah gelap ketika kami sampai di Banja Luka. Punya GPS, dan Bosnia tercantum di daftar negara di dalamnya, Emak santai saja. Tak mencari-cari lagi lokasi penginapannya di mana. Ketika akan memasukkan alamatnya di Banja Luka, baru kami sadar, peta Bosnia tak lengkap. Ia hanya bisa menunjukkan area pusat kota, tak bisa memesukkan nama jalan. Waduh, gimana ini? GPS satu lagi punya Mas Riza sama saja.
Kami putuskan berkendara hingga pusat kota Bosnia. Dari situ baru cari tahu lagi. Mau masuk Banja Luka, jalan ynag ditunjukkan GPS ditutup, kami lewat jalan alternatif yang tak dikenal gadget. Huaaa.. bagaimana ini? Mau tak mau terus berkendara sambil melihat plang-plang jalan menuju pusat kota.
Di pusat kota, tak bisa kami ira-ira lokasinya. Membaca nama jalannya pun tak bisa. Mereka menggunakan huruf keriting. Bahasa Rusia mungkin. Mas Riza menemukan seseorang yang katanya tahu lokasi penginapan kami, Hostel Prag. Rupanya beliau bingung akan arah kanan dan kiri. Arahnya yang ditunjukkannya berkebalikan dengan kenyataan. Kami muter-muter tak jelas sejenak. Berhenti dekat lampu merah yang di pojoknya ada butik kecil bernama ‚Skandal‘.
Rupanya seseorang dari Hostel Prag mengirim sms, bertanya kami sampai jam berapa. Emak jawab, kami sudah di pusat Banja Luka, kehilangan orientasi. „Kalian di mana?“ tanyanya lagi. „Dekat Butik Skandal.“
Emak pesimis beliau bakal tahu tempatnya. Sebab kami tak tahu nama jalannya. „Saya jemput. Tunggu 10 menit lagi,“ katanya. Bapak-bapak menunggu di perempatan. Benar juga, tak lama, sebuah Audi A8 kinclong warna putih. Kata bapak-bapak, namanya Micky.
Hostel Prag terletak agak jauh dari jantung Banja Luka. Mendaki ke sebuah bukit. Kecapekan, malam itu kami langsung teler setelah makan malam. Besoknya baru motret-motret dan keliling kota. Bagus sekali view dari penginapan. DI kejauhan ada bukit lain dan perumahan. Pusat keramaian ada di lembah.
„Bosnia is a real country,“ kata seorang travel blogger tentang negeri ini. Tak begitu touristy seperti Kroasia. Kalau mau mengunjungi sebaiknya sekarang-sekarang ini. Sebelum ia ramai.
Benar sekali. Di Banja Luka hari itu, sepertinya turisnya hanya kami. Bermuka asing pula. Jadilah kami pusat perhatian banyak orang. Di jalanan dan di pasar. Ada yang berbisik-bisik sambil menatap rombongan kami. Sebagian bertanya kami dari mana? Atraksi wisatanya tak banyak. Kastil dari abad pertengahannya tampak kurang terawat. Masjid Ferhadije, landmark Banja Luka yang hancur akibat perang sudah mulai berdiri megah. Yang kami khawatirkan tak terjadi. Tak ada yang menampakkan kebencian kepada kami. Semuanya lancar jaya di Banja Luka.