Belajar Ski di Hellenthal

“Kamu harus berani mengatasi rasa takut, Mami,” kata Embak tentang ketakutan Emak selama belajar meluncur di atas papan ski.

Hiks, emang dibanding anggota keluarga pelancong lainnya, Emak paling lambat progres belajar ski-nya. Kebanyakan takutnya. Belum berani meluncur paralel. Beraninya bentuk snow plough melulu. Agar gampang ngeremnya. Padahal agar cepet bisa kudu berani meluncur paralel.

Akhir minggu lalu, kami ke Am Weisser Stein lagi, tempat main ski di Hellenthal. Anak-anak lagi seneng-senengnya belajar. Bapak juga. Mereka sudah berani meluncur. Berkali-kali, bahkan.

Hari Sabtu itu perasaan Emak, yang main ski gak terlalu ramai. Enak buat belajar. Cuma, di Weisser Stein ada bagian agak terjalnya. Jadi deg-degan mau lewat sana. Dari rumah Emak sudah bertekad, akan meluncur hingga dasar lembah.

Emak senang, hari itu terlihat beberapa pemula seperti Emak. Bahkan ada yang baru banget belajar. Yang paling mengesankan adalah anak kecil berusia kira-kira 3 tahunan. Anak lelaki dengan jaket jingga, warna Belanda. Belajar bersama ibunya yang jangkung. Kira-kira 180-an cm tingginya. Si ibu sempat marah-marah gak jelas gegara salju yang menempel di bawah papan ski.

Hari itu memang saljunya sangat lembut. Bagai tepung. Mudah sekali menempel di bawah papan ski. Memperlambat laju. Berkali Embak, Bapak, dan Adik kesal. Harus membersihkan bawah papan ski dari salju yang menempel.

Awal-awal, si anak kecil tadi masih tandem  bersama ibunya. Ibunya meluncur sambil agak membungkuk, memeluk sang anak dari belakang, meluncur berdua. Tak berapa lama, si anak mulai meluncur sendiri di belakang ibunya. Kedua tangannya berada di depan. Memegang satu tongkat ski panjang. “Oh, begitu cara melatih keseimbangan si anak,” ujar Bapak.

Eh, siangnya, itu anak, sudah nyante saja meluncur berkali-kali ke arah lembah. Tanpa tongkat ski, namun kedua tangannya terbentang ke atas kepala. Wahnsinn.

Ada lagi anak perempuan sebesar Adik. Dilatih oleh Bapaknya. Mereka meluncur pelan sekali sambil slalom. Sang Bapak mengajarinya menekuk lutut ketika belok. Tak lama, Emak sudah mendengar teriakan si Anak perempuan, “Aku sudah biasa. Kamu gak perlu liatin aku lagi, ya!”

Wuihhh. Bapak lainnya mengajari kecondongan tubuh ke anak lelakinya. Saat bermain ski, tubuh kita condong ke depan. Jika condong ke belakang, rawan sekali jatuh terpeleset. Ketika hendak belok kanan, tubuh juga dicondongkan ke kanan, begitu pun sebaliknya.

Lalu ada beberapa anak muda usia belasan asal Belanda. Ada seorang ibu tua lima puluhan, baru diajari seorang Bapak tua. Sebaliknya, ada bapak tua enam puluhan tahun, diajari oleh ibu tua. Ah, seru juga. Tetep ajah kayaknya Emak yang progresnya paling lambat. Di Bapak tua sedikit-sedikit sudah berani meluncur agak cepat.  Si ibu lima puluhan malah siang hari udah lancar belok kanan kiri kanan kiri. Trus gadis belasan tahun tersebut sudah berani naik ke bukit pakai lift ski.

Yah, setelah jatuh dua kali dan merosot lambat, sampai juga Emak ke dasar lembah. Karena tegang, capek dan badan mulai pegal-pegal. “Kamu terlalu tegang, sih. Makanya meluncur turun aja kecapekan,” kata Bapak.

Setelah makan siang, Emak lanjut latihan sendiri. Pengen juga nyoba naik lift ke atas. Eh, masih takut. Ya udah mendaki lembah pakai papan ski. Mendakinya menyamping. Lebih aman. Kalau naik ke atas sambil berjalan menyamping gini Emak malah udah lancar. hehehe. Mendakinya gak sampai puncak, seh. Ntar lebih capek mendakinya dibanding main meluncur di atas papan skinya. Berkali Emak belajar meluncur ke lembah lagi. Lumayan lah, dah bisa mulai belok dikit-dikit.

Dekat waktu pulang, ingin nyoba naik pakai lift ski. Kebetulan tiket Bapak masih ada satu. Deg-degan lagi mau naik. Menurut Bapak dan Embak, pakai lift ada tekniknya. Lift ski ini dalam bahasa Inggris disebut T-bar. Kita memegang gagang berbentuk T. Gagang tersebut terhubung tali panjang yang ditarik ke atas.

“Kamu pegangnya harus gini, Mami,” kata Embak memperagakan cara memegang T-bar. Satu tangan pegang erat gagangnya. T-bar-nya disampirkan ke belakang tubuh, tangan lainnya memegang bagian lain gagang.

“Kamu jangan duduk di gagangnya,” lanjut Embak.

“Kenapa?”

“Karena kalau kamu duduk, gagangnya ketarik, dan longgar. Malah gampang copot. Dan kamu jatuh.”

Ok, percobaan pertama dimulai. Emak sengaja menyilakan beberapa orang duluan. Memperhatikan bagaimana mereka nggandol di lift ski. Setelah agak pede, yokk, coba deh.

Kira-kira sepuluh meter dari start, eh sudah jatuh. Ternyata lift tersebut melaju lebih kencang dari perkiraan Emak. Emak hilang keseimbangan. Papan ski lepas satu. Emak langsung minggir ke samping kanan. Agar tak menggangu mereka yang naik di belakang Emak. Bapak petugas menyuruh Emak turun.

“Ini kali pertama saya naik lift,” Emak menerangkan ke Bapak petugas lift.

“Gapapa, coba lagi,” kata beliau.

Papan ski Emak lepas dari sepatunya. Karena jalan di salju tebal, sol sepatu ski penuh salju. Gak bisa masuk ke papan ski. Harus dikerok dulu. Karena satu dua orang yang sedang menunggu, bapak petugas membantu mengerok salju di sepatu ski Emak.

Tak lama, Bapak meluncur turun. Menjaga Emak yang siap-siap naik lift lagi.

“Kalau jatuh lagi, kita jalan ajah ke atas, yah!” pinta Emak.

Percobaan kedua, awalnya OK. “Super,” komentar Bapak petugas. Eh, kira-kira dua puluh meteran, Emak hilang keseimbangan lagi. Tubuh Emak terlalu condong ke belakang. Hiks, terpaksa jalan kaki ke atas, deh, pikir Emak.

Ternyata bapak petugas menyuruh Emak turun, dan nyoba lift lagi. Kali ini ditemani Bapak. Padahal Bapak sudah gak punya tiket naik lift lagi. “Tak apa, temani ajah istri kamu, ” katanya. Alhamdulillah. Emak jadi lebih pede ditemani Bapak yang sudah lebih pengalaman.

Bapak memegangi punggung Emak. Emak memegang punggung Bapak. “Tubuh condong ke depan. Bertumpu di lutut. Sehingga lutut ikut mendorong tubuh kita naik. Bukannya memasrahkan tubuh di gagang lift,” Bapak menerangkan sambil berjalan. Alhamdulillah beratus meter naik lift, selamat. Sampai pas mau sampai finish, Emak telat belok kanan. Sedangkan gagang T-bar lepas dan mengenai kaki kiri Emak. Jatuh lagi, deh. Untung dah agak sepi. Gak terlalu malu dilihat orang. hehehehe.

Syukurlah, walau pelan, ada kemajuan dikit bagi Emak. Paling nggak dah mulai berani meluncur ratusan meter. Semoga berikutnya bisa lebih ciamik lagi. In shaa Allah.

3 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: