David Garedji

Banyak sumber di internet mengatakan, bahwa David Garedji adalah tempat yang tak boleh dilewatkan selama berada di Georgia. Kompleks biara yang dibangun dalam gua-gua batu berusia berabad-abad. Kami memilihnya sebagai salah satu tujuan.

Sayangnya tak ada kendaraan umum menuju situs ini. Letaknya di antara pegunungan. Di perbatasan antara Georgia dengan Azerbaijan. Jika mau naik kendaraan umum bisa naik marshruska ke Sagaredjo. Disambung naik taksi. Atau ikut tur. Akhirnya kami pilih opsi lebih mudah dan murah. Naik taksi langsung dari Tbilisi.

Kami menghubungi pemilik penginapan. Menanyakan harga taksi ke sana. Sebenarnya dari internet sudah ada ancer-ancer harga. Antara 90-140 lari per taksi. Perjalanan dari Tbilisi ke David Garedji memakan waktu 1-1,5 jam. Waktu kunjung bervariasi. Sebagian mengatakan 2-3 jam.

Bapak pemilik penginapan menelpon temannya, sopir taksi. Didapat harga 90 lari. Plus 5 lari per jam untuk ongkos tunggu. Kami sepakat. Hampir setengah sepuluh, kami sudah berada di dalam taksi menuju selatan Georgia.

Pak sopir baru kali ini menuju tempat ini. Sekali beliau bertanya ke seorang pengemudi mobil. Makin lama, jalanan makin menanjak dan sempit. Salju makin tebal. Mengkaver pegunungan di sekitarnya. Salaju di jalanan tak ada yang membersihkan. Sementara, jalan tersebut sangat sepi. Dilalui satu dua kendaraan saja.

„Kita di mana nih, Say?“ kata Bapak ketika kami hanya dikelilingi gunung. Pandangannya menyiratkan arti: kok elu bawa kite ke tempat antah berantah gini? Emak berkonsentrasi mengamati keadaan jalan. Pak sopir mulai kelihatan tak sabar. Kelihatannya beliau juga kaget dengan medan seperti ini.

Emak jadi merasa bersalah. Iya, yah, kok nggak mikir musim dingin itu kemungkinan besar pegunungan bakal dijatuhi salju. Jumlahnya banyak sekali. Sampai nutupin jalan. Mobil berjalan makin pelan. Apalagi jalanan tak rata. Doa-doa segera meluncur. Semoga ban mobilnya tak apa-apa, walau sudah agak tipis kata Bapak. Semoga gak ada mobil lain cukup gila kebut-kebutan di jalan seperti ini. Semoga jalan di depan sana membaik. Semoga kami diselamatkan dari segala bahaya.

Melewati desa Udabno, Emak agak lega. Ada plang David Garedji, 10 km lagi. Dengan kondisi jalan seperti ini, artinya setengah jam-an lagi bakal sampai. Desa Udabno ini terpencil sekali. Jauh dari mana-mana. Ada banyak sapi dan domba. Mungkin mata pencarian utama penduduknya adalah bertani dan beternak. Beberapa sapi berdiri santai di tenagh jalan. Baru minggir saat diklakson.

Mendekati David Garedji, salju makin banyak menutup jalan. Mobil makin lambat. Pemandangan agak bervariasi. Tak hanya pegunungan tertutup salju putih. Namun ada sebagai tak bersalju. Pegunungan berwarna kecoklatan dengan seburat merah kuning. Oh, itu pegunungan yang sering Emak lihat fotonya di blog-blog lain.

Kami tiba di sebuah tempat. Dua rumah tinggal terihat. Dan sebuah menara. Bapak sopir menunjukkan menara. David Garedji.

Tempat ini beda deskripsinya dengan artikel di blog-blog lain. Beberapa bercerita bahwa mereka harus trekking. Ada satu kapel dan dua biara didatangi. Biara utama, saat ini masih dihuni biarawan. Trekking tersebut berkisar 2 km melintasi pegunungan. Makanya butuh waktu lama. Kami sendiri sudah bersiap mental melakukan trekking. Meskipun sempat keder, bagaimana bakal trekking di atas salju setebal itu.

Kami naik ke tempat yang ditunjuk Pak Sopir. Melewati bekas-bekas jejak sepatu orang. Eh, ternyata kami berada di iara utama yang masih dihuni. Emak pikir tak ada jalan mobil kemari. Sehingga orang-orang itu trekking.

Tak banyak orang berada di sini. Karena masih dihuni, pengunjung biasa seperti kami hanya boleh melihat tempat-tempat tertentu. Tak ada datang serombongan orang, dipandu oleh seorang biarawan. Mereka masuk ke dalam. Waaaaa…. Emak ngiler. Walau kecil, sejam lebih kami berada di dalam kompleks untuk eksplor dann memotret. Salaju tebal tak membuat kami kedinginan. Anak-anak hepi. Tahun ini Jerman bagian kami belum bersalju. Kami biarkan mereka puas bermain dulu.

Kembali ke Tbilisi, Bapak dan Emak sepakat untuk memberi tambahan sepantasnya dari tarif yang disepakati. Pak sopir menolak menerima tambahan tersebut. Dikembalikan lagi oleh beliau. Bapak memaksa, akhirnya diterima sebagian. Eh, kaget juga kami beliau menolak, mengingat medan perjalanan sulit tadi.

Leave a Reply

%d bloggers like this: