Menyelisik Isi Desa Kreatif
Sebelum sampai desa Worpswede, Emak bayangkan desa ini kecil saja. Walau pernah melihat foto-foto beberapa galeri seni Worpswede dalam bayangan Emak: ah cincai. Paling 2 – 3 jam dah kelar dikunjungi.
Emak salah. Salah besar. Kalau mau puas keliling pusat desa plus masuk ke museum, galeri seni, dan toko-tokonya, sehari penuh saja tidak cukup. Emak taksir, kita butuh setidaknya 2 -3 hari. Satu hal lagi, desa ini penuh banget oleh turis. Salah satunya, mungkin karena hari itu cuaca cantik banget.
Sekitar tengah hari kami baru sampai di sana. Setelah sebelumnya nge-yoghurt cantik di Melkhus. Ada tempat parkir khusus di pusat kota dekat kantor informasi turis. Akan tetapi, kami pilih parkir di ujung Jalan Bergstrasse, jalan turis utama di desa ini.
Rencana awal kami adalah, menyusuri Berstrasse, trus ke Kaseglöcke dan Barkenhoff, lalu masuk ke satu dua museum atau galeri seni. Semua rencana tinggal rencana. Keasyikan merekam dan memotret, kami malah terlalu banyak menghabiskan waktu di Bergstrasse saja.
Toko Dekorasi Vintage Worpswede
Ini juga mengejutkan Emak. Berpikir bahwa Worpswede isinya adalah seniman seperti pelukis, pemahat, dan pematung, Emak tak sangka bahwa di desa ini, adalah desa para pengarjin deko rumah tangga. Malah kebanyakan toko di Bergstrasse menjual pernak-pernik rumah tangga yang cantik, unik, dan menarik. Bergstrasse sendiri merupakan jalanan dengan pepohonan rindang di kedua sisinya.

Toko pertama yang Emak jumpai, Neumann & Lippold, memajang keranjang belanja homemade, cawan keramik, gelas, cawan dan sendok nasi dari kayu. Di dekat pintu masuk berdiri patung keramik wanita Tiongkok. Emak tidak masuk. Meneruskan pengamatan ke toko berikutnya. Toko perhiasan, toko lukisan, toko kerajinan tangan rumah tangga, toko khusus kain, toko kertas homemade, toko coklat, toko dekorasi vintage ada setidaknya tiga berdekatan. Ada pula khusus hiasan taman berbentuk burung. Sebagian dagangan dipajang dekat tanaman perdu di pinggir jalan.
Dekorasi vintage yang dijual kebanyakan barang kebutuhan rumah tangga. Seperti meja, kursi, ember, nampan, lampu, kotak surat, rumah burung, dan masih banyak lagi. Sebagai Emak-emak, hepi banget lah negliat benda-benda unyu seperti itu.
Selain dipenuhi toko kreasi para pengrajin, di Worpswede banyak berdiri warung makan. Gak perlu khawatir kelaparan, deh. Setiap beberapa meter terlihat kafe, rumah makan, resto, dengan bangku-bangku meluber hingga halaman. Cocok. Capek jalan-jalan, lapar, tinggal melipir ke samping. karena baru makan dan ngemil yoghurt, kami lanjut perjalanan sampai Worpsweder Kunsthalle. Sebuah gedung bertembok bata merah yang juga berfungsi sebagai kantor informasi turis.
Kami masuk sebentar. Mau ambil peta. Kata Pakde Puji, beliau sudah pernah memberi satu peta desa ini kepada Emak. Emak lupa. Daripada bayar lagi untuk beli peta, ya Emak beli satu majalah Worpswede saja. Buat referensi tulisan jika dibutuhkan. Pakde Puji sudah hafal jalanan di desa ini.

Interior kantor informasi turis ini tidak polos. Ia didekorasi dengan karya unik. Emak membaca sekilas sejarah Worpswede. Sebuah desa perternakan sepi dan kecil, tidak terkenal. Di tengah-tengah lahan gambut bernama Teufelsmoor. Didatangi oleh tiga pelukis eksentrik asal Düsseldorf: Otto Modersohn, Fritz mackensen, dan Hans am Ende pada tahun 1889.
Jauh dari kota besar, koloni seniman ini berkembang. Menjadi tempat ziarah para seniman muda sekaligus para turis. Worpswede pun makin ramai dan dikenal orang. Hingga jadi seperti sekarang ini.
Keluar, Emak asyik memperhatikan lukisan-lukisan yang digantung di tali mirip cucian. Kertas persegi berbagai ukuran ini berisi quot maupun hasil karya lukis. Cantik-cantik.
Sebelum lanjut berjalan ke arah hutan, kami sempat mampir ke toilet. Bahkan di dalam bangunan toilet, ada sentuhan khusus. Temanya ular. Tubuh panjang ular dilukis di tembok toilet.
(Bersambung)
Mbak, gantungan lukisane kreatif pisan yo. Uniiikkkk
Pingin bisa beli pritilan ala dekorasi vintage buat rumah, seperti kata mbak IRA, maklum emak2, hehehe
Apa emang sekarang kebanyakan ibuk-ibuk lagi demen ama dekorasi vintage dan shabby chic ya? Mama Ivon tuh suka banget mpe tiap ke mall selalu mampir di toko penjual dekorasi vintage. Kalau di luar negeri apa harganya lebih murah yo Mbak?
@Tari: Yoi… akeh sakjane Tar. Apik2 maneh..
@Zulfa: Lek omahku wis vitage, Zulfa. Alias rumah tua. Dapure peninggalan sing nduwe omah sakdurunge. Umure wes luwih 25 tahun. Vintage tenan wes pokoke… heheheh
@Mas Ihwan: aku suka ngeliat doang. sesekali ajah beli.
Hehehe ngomongin dekorasi vintage, sekarang kayaknya emang banyak cafe-cafe yang mengambil tema ini… Tapi emang kesannya jadi asik sih.
Btw itu gantungan lukisannya lucu, cakep!
Kakak sepupuku yang mau bangun rumah juga naksir dekorasi kayak gitu. Pas ngecek-ngecek di internet, harganya lumayan juga ya :p
@Mbak Dee An: Kesannya manis, eksklusif. Walau jadul.
@Cek Yan: Makanya kudu menghargai yg tua2 (baca: yg vintage). Sebab yg jadul itu mahal harganya. hehe.
klo yang suasana vintage gitu malah kesannya jadul jadul ngangeni gimana gitu, biarpun sebelumnya mah nggak pernah punya 😀
Nang kene jarang gaya vintage mbak, Akeh e gaya simple dan modern. Kalau tua gitu terasa klasik eropa nya. ada oven tua akai kayu yang buat bikin pizza nggak mbak?
@Mas Priyo: emang unik fenomena vintage ini, yah… Ternyata gak di sini, gak di Indonesia, banyak yang suka.
@Zulfa: Iyo, bener pisan awakmu, Zulfa… Oven tua pakai kayu, aku gak nduwe. Tapi saiki akeh didol oven2 model jadul. Tapi regane ngalah2i oven modern. hehehe.
Walau cuma lukisan, aku kayaknya ga jadi masuk toiletnya 😀
@Mbak Rien: phobia ular ya, Mbak?
aku lagi menggemari vintage mba ira. warnanya kalem dan kesannya rileks 🙂
@Zahra: eh betul juga. Dekorasi vintage warnanya emang kalem, yah…