Kabut masih saja menyelimuti Sarajevo. Lebih tipis dibanding kemarin malam. Ketika rombongan kami sampai di kota ini. Berkendara sangat pelan karena jarak pandang sangat terbatas. Tak hanya kabut, suhu udara di sekitar titik beku menemani perjalanan kami hari itu. Menjelajahi pusat kota Sarajevo, „Little Jerussalem of the Balkans“.
Perang Balkan sudah berakhir belasan tahun lalu. Namun banyak orang masih ragu dan khawatir ketika kami sampaikan akan mengunjungi Bosnia akhir Desember lalu. „Memang aman?“ tanya mereka pesimis.
Tanda-tanda perang masih terlihat di banyak tempat di negeri ini, Bosnia-Herzegovina. Rumah-rumah hancur dan tak diperbaiki oleh pemiliknya, tanda-tanda larangan masuk di tempat-tempat penuh ranjau darat, serta orang-orang yang trauma akibat perang. Tapi kami juga melihat pembenahan di sana-sini. Di Sarajevo, sebagian atraksi wisata yang hancur sudah bisa dinikmati kembali kecantikannya. Tempat bersejarah bekas perang seperti Tunnel of Hope di Illidza, berubah fungsi menjadi atraksi wisata sejarah.
Kota Sarajevo dikelilingi pegunungan. Sebagian kota berada di perbukitan. Sedangkan pusat kota berada di dataran rendah. Sungai Miljacka mengalir di tengah-tengah. Miljacka adalah anak Sungai Bosna, nama asal Bosnia. Kota ini ramah bagi muslim seperti kami. Masjid mudah ditemukan. Demikian pula dengan makanan halal. Wanita berjilbab bukan pemandangan asing.
Kami memarkir kendaraan di sebuah tempat dekat universitas. Memerhatikan lubang-lubang peluru di gedung-gedung apartemen sekitarnya. Saya tak berani membayangkan. Jika tembok tebal seperti itu berlubang besar dan dalam, bagaimana jika terkena manusia. Perang terakhir di Eropa tersebut telah memaksa jutaan penduduk setempat dari etnis yang bertikai: Serbia, Bosnia, Kroasia, mengungsi.
Jembatan Pemicu Perang Dunia Pertama
Rombongan kami, saya, suami, dua anak, serta sepasang suami istri sahabat kami, berjalan menyusuri tepian Miljacka. Tak lama, kami lihat Latinska cuprija (Jembatan Latin), dikenal juga sebagai Principov most (Jembatan Princip). Sekilas ia terlihat seperti jembatan biasa. Kecil, hanya bisa dilalui pejalan kaki. Ternyata ia sangat bernilai sejarah. Di jembatan inilah dipicu Perang Dunia pertama. Mengapa?
Tanggal 28 Juni 1914, Franz Ferdinand, putra mahkota Austria melakukan kunjungan resmi di Sarajevo. Saat itu Bosnia, dan bagian Balkan lainnya dikuasai Austria-Hungaria. Situasi sedang panas. Banyak daerah berusaha memisahkan diri dan membentuk negara Yugoslavia.
Meski diperingatkan, Franz Ferdinand tetap melakukan kunjungan tersebut. Percobaan pembunuhan pertama, pelemparan bom oleh Nedeljko Cabrnovic gagal. Mengenai seorang tentara. Walau demikian, beliau tetap saja berpawai di mobil terbuka.
Gavrilo Princip menanti di satu sudut dengan revolver miliknya. Setelah dekat, dua kali ia menembak. Peluru pertama mengenai Franz Ferdinand. Kedua, mengenai istrinya. Keduanya meninggal dunia tak lama kemudian. Perang Dunia pertama, dimulai. Di sudut dimana Princip menembak, berdiri sebuah museum untuk mengenang peristiwa terbunuhnya Franz Ferdinand.
Masjid Gazi Huzrev Beg
Kami lanjutnya masuk jalan kecil menuju kota tua Sarajevo. Tak terasa, sebentar lagi sudah masuk waktu zuhur. Kabut menutup mentari. Rasanya masih pagi saja.
Masjid Gazi Huzrev Beg terlihat dari kejauhan. Ia berada dalam sebuah kompleks. Dikelilingi pasar. Satu menaranya menjulang setinggi hampir 50 m. Bangunan utama masjid dikelilingi tembok bata dan metal. Ketika azan berkumandang, syahdu terasa di hati saya. Bukan hal biasa, bisa mendengarkan suara panggilan sembahyang menggema di Eropa.
Tempat wudu pria berada di luar. Di sebuah tempat mirip sebuah gazebo. Sedangkan tempat wudu perempuan berada di ruangan tertutup. Seorang wanita muda menunjukkannya kepada kami. Menyediakan sandal dan menyalakan air hangat.
Penduduk lokal menyebutnya Begova dzamija (Masjid Beg, dibaca Bey). Ia dibangun antara tahun 1525 – 1531), ketika Turki Usmani menguasai Balkan. Namanya berasal dari Gazi Huzrev Beg, seorang gubernur di Sarajevo. Masjid ini merupakan salah satu yang tertua, terbesar dan peninggalan arsitektur penting Turki di Balkan.
Masjid Beg punya satu kubah besar di tengah dan kubah-kubah kecil di sekitarnya. Di dalam kompleks tumbuh pohon-pohon besar. Saya melihat dua bangunan berkubah. Ternyata makam. Salah satunya makam Gazi Husrez Beg.
Pintu masuk ruang salat perempuan ada di sayap kiri bangunan masjid. Sepatu bisa kita bawa masuk. Disimpan di rak sepatu dekat tempat salat. Dengan ruang sembahyang pria, ia dipisahkan oleh pagar kayu rendah. Saya tak menyangka lumayan banyak peserta salat berjamaah. Terutama kaum mudanya.
Ketika menjadi gubernur, Gazi Husrev juga membangun banyak tempat penting. Seperti madrasa, basar, menara dan rumah sakit dan perpustakaan. Sebagian bangunan tersebut tersebar di dekat Masjid Beg.
Terdekat adalah menara jam (Sahat kula). Bangunan bata menjulang puluhan meter, berdekatan dengan menara masjid. Tempat masuknya adalah gerbang bertuliskan Pekara Imaret. Berpuluh meter kemudian, di sudut pertemuan jalan Saraci dan Ferhadija, kami temukan Gazi Husrev Beg-bezistan. Sebuah basar tertutup terbuat dari batu alam. Separuhnya berada di bawah tanah. Bagian luarnya memiliki banyak etalase. Di dalamnya bisa kita temukan kios-kios cinderamata, penjual baju, tas, kaca mata, dan aksesori. Saya hanya melihat-lihat di sini.
Perpustakaan dan madrasa berada tepat di seberang kompleks masjid. Bangunan perpustakaan berpahar tembok batu tinggi. Madrasa Kursumlija berdiri di sebelahnya. Sampai sekarang, masih banyak santri menimba ilmu di sini. Itulah mengapa banyak anak-anak muda salat berjamaah di masjid. Banyak santri putri keluar ketika saya mengintip dekat gerbangnya.
Bascarsija
Masjid, perpustakaan, menara jam, basar, maupun madrasa tadi, semuanya berada di kawasan bernama Barcarsija. Berarti bagian utama. Ia berdiri sejak abad 15 oleh Isa-Beg Ishakovic, ketika Turki pertama menguasainya. Di abad 19 pernah terjadi kebakaran hebat. Sehingga luas Bascarsija tinggal separuh luas aslinya.
Selain pusat budaya, Bascarsija merupakan pusat belanja di Sarajevo. Sebagian daerahnya adalah wilayah khusus pejalan kaki. Di musim dingin, tak banyak turis kemari. Hanya satu dua orang kami lihat menenteng kamera. Juga serombongan turis asal Korea.
Ratusan toko kecil sambung menyambung di jalanan Barscarsija. Saya perhatikan mereka banyak menjual barang kerajinan tangan. Mereka tak hanya menjual di dalam toko, namun juga memajang di luar. Lampu-lampu gantung berornamen warna-warna, jilbab pashmina dengan warna-warna elok, perhiasan dari perak, peralatan rumah tangga, karpet, mainan anak-anak, bahan makanan, bumbu, buku. Serba ada. Suasananya pun ramai.
Ada satu kawasan membuat saya tersenyum dan sedih di saat bersamaan. Kami masuk ke satu gang sempit. Kanan kirinya penuh toko pengrajin logam. Sepertinya dari tembaga. Karena sebagian besar barangnya berwarna kecoklatan. Beberapa pengrajin memukul-mukul dan membentuk logam tersebut. Saya membeli magnet kulkas bermotif salah satu atraksi wisata Sarajevo di sana.
Di antara peralatan rumah tangga seperti seperangkat gelas kopi, teko, pipa rokok, piring, hiasan dinding, mangkuk, saya lihat banyak sekali orang menjual sisa-sisa selongsong peluru. Cinderamata perang, begitu sebutan buku panduan yang saya bawa. Benda-benda menakutkan zaman perang itu telah berubah menjadi komoditi penghasil uang.
Sejak dahulu Sarajevo dikenal memiliki banyak Sebilj. Pancuran air bersih penyedia minum bagi warga lokal maupun musafir yang mampir kemari. Saat ini masih ada beberapa tersisa. Salah satunya dekat halte tram Bascarsija. Ratusan merpati terbang dan hinggap di sekitarnya. Ia kelihatan seperti sebuah monumen kayu berkubah hijau. Sayang sekali saya tak sempat mencicipi airnya.
Svrzo’s House
Museum ini kami kunjungi saat kunjungan kedua kami di kota Sarajevo. Dua tahun setelah kunjungan pertama. Sama-sama di musim dingin, suasana Sarajevo seperti tak berubah. Suasananya yang suram akibat sering berkabut, bau asap kayu dari rumah-rumah penduduk yang memanfaatkannya sebagai bahan bakar perapian, serta dingginya, masih sama. Kali ini kami menginap di sebuah apartemen, sekitar setengah kilometer ke arah Bascarsija. Cukup jalan kaki saja setiap kali ke pusat kota.
Svrzo’s House sejatinya adalah rumah milik seorang bangsawan Turki. Berdiri ketika Bosnia masih jadi bagian kekhalifahan Turki Usmani, kira-kira pada abad 18 masehi. Awalnya dimiliki oleh keluarga Glodo. Menjadi miliki keluarga Svrzo melalui hubungan pernikahan. Keluarga Svrzo menjualnya kepada pemerintah Sarajevo yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah museum.
Lokasi tempat ini berada di Jalan Glodina. Sedikit ke utara dari Bascarsija. Kami mendaki Jalan Sagrdzije. belok kiri ke Jalan Cemerlina, lalu ke kanan, Jalan Glodina. Hanya tiga puluhan meter dari mulut jalan, Svrzo’s House muncul. ia berada di tengah permukiman penduduk.
Rumah kuno ini masih sangat terpelihara. Turisnya tidak banyak. Sebagian rumah terbuat dari kayu. Seperti balkon dan ruang-ruang penyimpanan. Rumah ini terdiri dari dua bagian: bagian umum untuk menerima tamu, serta bagian dalam khusus untuk anggota keluarga. Beberapa barang kuno juga masih tertinggal di sana.
Kami masuk ke bangunan dua lantai. Pertama naik tangga kayu ke lantai atas. Karena gak ada pemanas, masuk ke sini di musim dingin, kedinginan. Info di dalamnya lumayan lengkap. kamar-kamarnya ada yang boleh dimasuki ada yang tidak. Di dalam kamar rata-rata ada sofa tanpa kaki dilengkapi dengan bantal-bantal. Ruang keluarga juga demikian. Semakin luas ruangannya, semakin besar pula ukuran sofanya.
Kuliner
Retno, seorang teman asal Indonesia yang tinggal di kota ini, mengajak kami mencicipi salah satu makanan khasnya. Ia mengajak kami ke rumah makan Burek. Makanan ini sangat mudah ditemukan.
Burek terbuat dari kulit pastry. Isinya macam-macam. Keju, daging cincang, bayam atau kentang. Di Bosnia, pastry Burek dibentuk seperti lumpia, namun memanjang, seukuran loyang yang digunakan memanggang. Ada pula yang berbentuk lingkaran. Porsinya sesuai keinginan pembeli. Karena harganya dihitung berdasarkan berat timbangan. Kami menjajal hampir semua varian Burek di satu toko siang itu. Semuanya lezat dimakan saat hawa dingin saat itu.
Satu lagi hidangan lokal terkenal kami cicipi adalah Cevapcici. Sama seperti Burek, banyak tempat menjualnya. Baik di restoran biasa atau restoran khusus Cevapcici. Ia terbuat dari daging cincang sapi atau kambing. Dicampur bumbu, dibentuk lonjong, dan dibakar sambil diolesi minyak zaitun. Disajikan dengan roti dan potongan Bawang Bombay. Lezat! Mau kenalan lebih jauh dengan kuliner Bosnia, bisa jenguk artikel ini: 4 Kuliner Bosnia Wajib Coba.
Zaman dulu, masjid kebayakan besebelahan dengan makam Imam atau kepala daerah tersebut. Setelah shalat, sekalian kirim doa buat mreka
Mupeng bu sayanya..ini plan yang gagal tahun lalu ke sini, karena saat itu cuaca masih dingin..Hope one day:)
Denger kata bosnia sarajevo ini jadi inget jaman gw kecil dulu, orang2 liat kekejaman perang di video trus kumpul di rumah pak RT buat nonton ini
Alhamdulillah keadaan di sana jauh lebih aman ketimbang dulu ya mbak. Saat mereka dilanda perang kayaknya aku masih kecil, tapi gaungnya terdengar sampai sekarang. Mau banget ekplor negara unik kayak gini.
Seru banget busa ke Sarajevo ? suka sama postingannya, salam kenal 🙂
Wow, keren mbak. Sebenernya aku aja kadang masih mikir serem disana walaupun sudah gak perang. Tapi kayaknya aroma perang masih lah tercium#macamyeja #hahaha.. Tapi sayang ya mbak, buku buku yang habis gitu,untung masih ada tersisa biar sedikit pasti banyak sejarah yang bisa diketahui dari buku. Terus yang paling bikin ngiler kayaknya kulinernya deh mbak, ceritanya mbak aja bisa nambah nambah makannya #ngiler pasti enak bener makanannya
Cevapcici mirip kebab kah mbak?