Hari yang tadinya cerah mulai berkabut. Jarak pandang mulai terganggu. Dari ketinggi San Marino bagian bawah terlihat kabur. Emak cepat-cepat mengambil foto dari atas. Mengabadikan rumah-rumah di kaki pengunungan. Republik San Marino memang terletak di pegunungan. Mereka tak punya lapangan terbang sendiri.
Kota tua sekaligus ibukota San Marino masih berada di atas lagi. Sehingga kami bayangkan kami akan lewatkan hari sambil bernyanyai lagu ‘Naik-Naik ke Puncak Gunung’. Karena punya waktu hanya beberapa jam, kami berencana hanya akan berkeliling kota tua saja. Tak mau mengambil resiko, rencananya sebelum pukul enam sore, perjalanan di negara mini ini harus diakhiri.
Selain merupakan salah satu negara termini di dunia, San Marino adalah republik tertua yang masih berdiri di atas bumi. Terletak di dalam Italia, penduduk aslinya juga dulunya berasal dari Italia. Demikian pula bahasa resmi yang mereka gunakan. Sejak thaun 1200-an masehi, San Marino telah berbentuk republik dengan undang-undang sendiri. Buku undang-undang tulisan tangan San Marino berasal dari tahun 1295 masehi.
Naik satu tangga atau lift, maka sampailah kami di sebuah gerbang, Porta San Francesco. Seorang pria muda berseragam menghentikan laju kendaraan bermotor entah polisi atau satpam agar kami bisa menyeberang ke arah gerbang. Kabut semakin banyak dan cuaca makin dingin. Baru masuk gerbang kota tua, sudah disambut dengan banyak toko. Belum-belum jadi ngiler pengen belanja. Ada cinderamata murah, langsung disikat. Parfum-parfum murah berjejer di sana-sini. Ragu pula, apakah asli atau tidak. Sebab harganya murah sekali. Satu wadah kecil sekitar 50 ml dibandrol hanya 5 euro saja. Untung kami naik Ryanair dan tak pesan bagasi ekstra. Sehingga tak mungkin membawa cairan termasuk parfum lebih dari 100 ml per orang. Bapak pun terpaksa cuma bisa ngiler melihat aneka pisau belati murah.
Sistem informasi tempat wisata San Marino sudah rapi dan informatif. kami cuma perlu mengikuti tanda panah jika ingin melihat satu obyek wisata atau gedung-gedung penting. Sasaran utama kami adalah mengunjungi tiga gerbang terkenal di kota tua. Diselilingi memotret obyek lain dan cuci mata di antara ratusan toko di kota tua. Hebatnya, kios-kios pedagang ini bisa ditemukan di hampir semua sudut kota tua. Bahkan sampai puncak perbukitan sekalipun. Barangnya bisa juga ditawar, sebab Emak perhatikan beberapa turis menawar dan berhasil memperoleh barang dengan harga yang mereka inginkan. Di musim gugur, turis tak terlalu banyak memadatinya. Namun Emak yakin, di musim panas pasti mereka ramai oleh para turis.
Lokasi ketiga gerbang adalah di kaki bukit. Ketiganya terpisah masing-masing beberapa ratus meter. La Rocca o Guaita, gerbang pertama, dalam peta terlihat paling besar. Dibangun di atas gunung batu bernama Titano, gerbang ini sebenarnya adalah sebuah benteng batu. Jalanan batunya menanjak. Akan tetapi bisa dilalui kereta dorong anak. Kios-kios di kanan kiri jalan. Kami berjalan pelan sesekali berhenti untuk mengambil foto. Dari atas, bagian bawah San Marino makin kabur sebab tebalnya kabut.
La Rocca o Guaita telah beralih fungsi menjadi sebuah museum. Orang mesti membayar tiket jika ingin masuk. Kami hanya berhenti untuk beberapa jepretan, meninggalkan kereta dorong anak di satu sisi jalan, meneruskan perjalanan ke gerbang berikutnya, La Cesta o Fratta. Sudah tak ada kios lagi di daerah ini. jalannya berupa jalan setapak dari bebatuan alam. Satu sisi hutan, sisi lainnya jurang. Walau ada pembatas, orang harus tetap hati-hati. Ada beberapa bagian tanpa pembatas, berbahaya jika berjalan terlalu dekat di sisi jurang. Anak-anak senang. Adik tak merengek minta gendong. Mereka bahkan berlarian sembari memperhatikan sekitar. Sepertinya mereka menikmati petualangan kecil kali ini.
Seperti halnya benteng pertama, La Cesta o Fratta juga berfungsi sebagai museum, Museo delle armi antiche di San Marino. Lokasinya pun di atas sebuah bukit karang. Tak lama setelah berfoto, kami kembali turun naik jalan setepak di tepi hutan, menuju gerbang terakhir, Montalle. Disini tak terlalu ramai. Satu kelompok berjumlah 5 orang sedang heboh berfoto berlatar belakang gerbang. Baik naik di jalanan berbatu di satu sisi. Emak memilih memotret dari sisi lain. Gerbang ini mirip sebuah menara batu kuno. Dan tak terlalu besar. Berbeda dengan dua sebelumnya, yang satu ini tak dimanfaatkan lagi. Kami mengambil foto keluarga di antara bebatuan licin.
Perjalanan di kota San Marino selanjutnya berlalu cepat. Keluarga pelancong membunuh waktu dengan cuci mata sembari mencari jalan kembali ke tempat mangkal bus. Kami sempat makan di warung pasta murah meriah. Sekedar untuk mengisi perut dan menghangatkan badan. San Marino adalah kota kecil mengesankan…:)
[…] (bersambung) […]
wah luar biasa sekali, sangat informatif… saya sebelumnya selalu berpikir kalau San Marino bukan lagi republik independen, ternyata dugaan saya salah 🙂 Saya berharap suatu hari bisa nonton F1 dsana hahaha
setelah Vatikan, Malta, San Marino, request dong next tripnya ke Andorra, Lichtenstein, Isle of Man, Genovia! Maklumlah kebanyakan nonton Princess Diaries….
ditunggu tulisan selanjutnya!
hehehehhe, soal F1 itu, aku dulu jg mikirnya di San marino… Eh pas disana, mau ngeliat sirkuit gak ketemu. ternyata yg namanya GP San Marino itu sirkuitnya di Imola, Italia, Pau…hihihi.
Ke Liechtenstein udah, Pau pas ke Swiss akhir Desember lalu. Tulisannya menyusul, ya… Dua negara mini lainnya yaitu Monaco dan Andorra, tentu saja udah masuk list negara yg mau dikunjungi keluarga pelancong (insyaallah). Tinggal nunggu rejeki… Isle of Man, baru denger neh…. tp sepertinya menarik. 🙂 Semoga ada rejeki buat mengunjungi semakain banyak negara… amin…:)
amiiiiiin…
Isle of Man itu pulau kecil di deket Liverpool. Ternyata dia republik kecil sendiri, terpisah dari UK, sama seperti kepulauan2 milik inggris yg tersebar di pasifik dll.. kebetulan sempet ketemu orang dari sana di Bremen hehehe
hooo, jadi ternyata GP San Marino itu bukan di San Marino? hohoho OK deh, gpp, tetep mau ksana nonton F1 doong…
sipsipsip, ditunggu cerita2 selanjutnya….