Di Salah Satu Kota Tercantik Eropa, Lisbon

Eustacio do RossioSetelah kunjungan sukses ke Spanyol, kami ikut melirik negara sebelahnya, Portugal. Sayang sungguh sayang keinginan kesana agak lama terpendam. Susah sekali mendapat tiket penerbangan murah ke negara itu. Berkali kami mengecek lewat bermacam maskapai penerbangan murah, atau agen perjalanan. Nihil. Sampai suatu ketika Emak melihat penawaran penerbangan murah dari Lufthansa, maskapai yang termasuk mahal di Jerman.

Adanya penawaran ini kebetulan sesuai dengan jadwal kami. Tak mau membuang kesempatan, kami segera pesan tiketnya. Awalnya kami bimbang, mau tiga atau empat hari disana. Setelah berkonsultasi dengan Walter, sahabat sekaligus penasihat jalan-jalan kami yang mengatakan bahwa Lisbon adalah salah satu kota tercantik di Eropa yang pernah dikunjunginya, maka kami putuskan empat hari di sana. Lagipula, kami kesana di bulan Maret, cuaca cukup enak untuk bepergian ke daerah selatan. Tak terlalu panas, tak terlalu dingin.

Menjelajah Lisbon

Namun kenyataannya, saat siang bolong sampai di Lisbon, kami kegerahan. Mungkin karena kami berasal dari daerah lebih dingin di Eropa Tengah. Apalagi setelah turun bus kota pakai acara kesasar saat mencari penginapan. Selain panas, ada tambahan bete, naik turun ibukota berbukit Portugal.

Kelar rehat sejenak dan mengisi perut di penginapan, kami mulai berjalan ke beberapa tempat. Benar juga, meski sebagian kota terlihat kumuh tak terawat, Lisbon masih menampakkan kecantikannya di banyak tempat. Rupanya kota ini mengalami penurunan jumlah penduduk cukup parah. Pantas saja banyak apartemen tak berpenghuni.

Waktu efektif penjelajahan kami di Lisbon adalah sekitar dua setengah hari. Kami manfaatkan sebaik mungkin. Kami membeli tiket harian di hari terakhir. Sedangkan dua hari pertama lebih memilih jalan-jalan naik turun perbukitan di kota ini. Dengan berjalan kaki, pesona suatu tempat bakal lebih banyak diserap dibanding kita memanfaatkan kendaraan. Namun karena medan lumayan berat, tentu saja di dua hari pertama kami menjelajahi daerah kota yang dekat dengan penginapan saja.

Kami berbekal satu peta kota pemberian ibu pemilik penginapan, seorang muslim India asal Mozambique. Sasaran pertama adalah Praca do Comercio, hanya berpuluh meter dari penginapan. Sebuah tempat terbuka di tepi Rio Tejo. Sebagian sedang ditutup karena renovasi. Kami berfoto di tepi sungai. Udara panas berbaur dengan hembusan angin sungai.

Dari sana, perjalanan berlanjut ke arah pusat kota Baixa. Baixa ini adalah daerah pertokoan, perkantoran sekaligus pemukiman. Lokasinya di pusat Lissabon bagian bawah. Jika dilihat dari perbukitan atau daerah tinggi atau peta, terlihat bahwa bentuk Baixa sangat unik. Gedung-gedungnya berjajar rapi menyerupai barisan. Trotoarnya terbuat dari keramik. Licin sebab sering dilewati pejalan kaki. Di sini selain pedagang kaki lima, bermukim butik, galeri, pertokoan serta restauran. Ada restauran khusus menjual makanan laut mahal seperti lobster dan kepiting raksasa. Binatang laut tersebut dipajang dalam keadaan hidup dalam akuarium. Pembeli bisa memilih dan membelinya dengan harga 65 euro per kilogram. Waks… Mana mampu kami membeli makanan semahal itu?

Dari Baixa kami mendaki menuju Castelo de Sao Jorge di daerah perbukitan timur Baixa. Tanjakannya terjal. Kami lewat jalanan berbatu dan gang-gang berundak. Di bekas benteng yang pernah dikuasai kaum muslim ini hari mulai gelap dan angin malam makin kencang berhembus. Tak lama kami di daerah ini sebab tak bersiap dengan kostum lebih tebal.

Besoknya, petualangan dilanjtkan ke tempat lebih jauh. Agak pagi kami sudah bersiap keluar penginapan. Rute hari itu adalah kembali melewati Baixa ke Rossio, Marques de Pombal, lalu mendaki lagi hingga ujung Parque Eduardo VII.

Rossio adalah tempat terbuka lebar di jantung Lisbon. Hampir setiap kendaraan umum seperti bus, tram, dan metro melewati tempat ini. Sekelilingnya adalah gedung-gedung pertokoan, restauran, dan bank. Di tengahnya sebuah air muncrat besar dan cantik. Alasanya diplester dengan motif gelombang. Melambangkan air sebagai elemen penting bagi kota Lisbon dan Portugal pada umumnya. Plester pertama dipasang sejak 1849 oleh para narapidana di sana. Sebuah patung Raja Pedro IV berdiri gagah di depan satu gedung tinggi.

Kami sempat membeli roti sebagai tambahan bekal di sebuah toko roti, sebelum lanjut ke Eustacio do Rossio, sebuah stasiun dengan pintu sangat besar dan unik. Bentuknya mirip setengah lingkaran dan berukir.  Dari sini perjalanan panjang dan menanjak sepanjang Avenida da Liberdade dimulai. Jalanan ini punya trotoar diantara pepohonan tinggi. Bangku-bangku taman berjajar. Sebagai tempat istirahat para pejalan kaki atau tempat tidur beberapa gelandangan. Kami sempat duduk dan berfoto beberapa kali. Adik mulai rewel di kereta bayinya. Ingin bebas berjalan kaki. Kami pun menggandengnya sambil terus mendaki.

Jalanan makin menanjak saja sesampai di bundaran Marques de Pombal dimana sebuah monumen tinggi berdiri. Di belakangnya, adalah sebuah taman, Parque Eduardo VII, diambil dari nama Eduard VII dari Inggris yang mengunjungi Portugal tahun 1903. Selain jalanan makin menanjak di taman ini, pepohonannya pun jarang hanya di sampin jalan saja. Kami kepanasan dan berkali istirahat di bangku di tepi jalan. Namun pemandangan di bagian tertinggi taman sungguh mengagumkan. Puas foto, kami kembali turun untuk melanjutkan ke obyek wisata lain.

Kembali ke stasiun Rossio, memanfaatkan lift mereka, kami mendaki lagi menuju Chiado. Obyek tertangkap mata pertama di sini adalah Convento do Carmo, reruntuhan sebuah gereja yang rusak akibat gempa bumi besar di Lisbon tahun 1755. Tiang-tiang reruntuhan terlihat masih kokoh, sedangkan atapnya sudah ambruk.

Dari sini kami lanjut ke daerah Bairro Alto, katanya ada tempat dimana kita bisa membeli makanan serba ikan murah. Namun karena tak tahu persis tempatnya, setelah berkali mengelilingi jalanan dan gang-gang kecil dan kumuh, tetap saja tak bertemu. Jadi kami putuskan masuk ke sebuah pusat perbelanjaan untuk istirahat sekaligus makan sore. Sisa hari itu kami habiskan beristirahat di penginapan.

Keesokan harinya kami berniat menjelajahi kota dengan kendraan umum. Makanya pagi-pagi kami sudah ke loket penjual tiket. Pertama, kami ingin mencicipi naik tram legendaris nomor 28. Selain melewati banyak obyek wisata, tram tua berumur seabad lebih ini juga malalui daerah-daerah paling tua di kota ini. Cocok sekali bagi kami yang ingin melihat kehidupan warga kota secara lebih dekat.

Puas naik tram pp, kami lalu turun di Basilica da Estrela, berfoto sebentar di tamannya, lalu ke daerah wisata terkenal, Belem. Titik pertama adalah Torre de Belem, yang letaknya cukup jauh dari halte pemberhentian tram. Kami mesti berjalan ke arah tepi sungai bersama rombongan turis lainnya. Torre de Belem adalah obyek pertama yang dilihat setiap kapal sebelum masuk pelabuhan Lisbon. Karena memang itu tujuan dibangunnya menara ini. Sebagai penyambut setiap kapal yang masuk pelabuhan pada tahun 1521, sebab pelaut Portugal dulunya merupakan pelaut-pelaut termasyur diseluruh dunia. Bangunan elegan ini merupakan monumen nasional sejak 1902 dan bersama biara Jeronimos ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dunia oleh Unesco.

Sempat berfoto keluarga dan membeli beberapa cinderamata, kami terus berjalan ke monumen raksasa, Padrao dos Descobrimentos. Menjulang setinggi 52 meter, di kedua sisi monumen berdiri 30 patung orang-orang penting Portugis. Terdepan dan terbesar adalah Heinrich Sang Pelaut, memegang sebuah kapal di tangannya, dan memandang ke arah Sungai. Di belakangnya antara lain Vasco da Gama, Pedro Alvares Cabral, Ferdinand Magellan, Diogo Cao, Bartolomeu Dias, Raja Manuel I, dll. Tak ada peneduh, panas sekali disini. Tak lama setelah mengabadikan peta jelajahan Portugis di masa lampau, kami pun langsung menuju kompleks bangunan bersejarah Jeronimos tak jauh dari monumen.

Kompleks biara sekaligus gereja ini termasuk salah satu yang bertahan dari terpaan gempa besar tahun 1755 masehi. Ornamen berukir di sekelilingnya sangat indah. Sebenarnya orang bisa masuk gratis hingga ke halaman dalam. Namun cuaca panas dan capek, kami hanya mengabadikan dan menikmati dari luar saja.

Sorenya, kami sempatkan diri memotret saluran air raksasa bersejarah yang berfungsi mulai abad 18 hingga kini. Bersembahyang di satu-satunya mesjid di Lisbon, kami kembali dengan bus kota ke arah penginapan. Hari itu sangat banyak kami kunjungi dan sangat melelahkan. Besok pagi sekali, kami harus berkendara kembali menuju bandara. Indah sekali kota ini. Sehingga  hampir empat hari mengelilingi rasanya belum cukup juga untuk melihat semuanya.

9 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: