Dua bagian Nikosia

Nikosia Selatan

Seperti sebagian besar turis ke Siprus, kami memulai perjalanan dari bagian selatan. Mendarat di bandara internasional Larnaka, menginap di kota tersebut. Dari Larnaka, ada bus ke kota-kota lain seperti Nikosia, Ayia Napa, dan Limassol. Transportasi umum di Siprus tak sebagus kota-kota di Eropa barat. Jika tak mengetahui jadwal, calon penumpang bisa menunggu sejam lebih. Kadang, bus berjalan tak sesuai jadwal.

Kota Nikosia Selatan
Laiki Geitonia, Nikosia Selatan

Bus tumpangan berhenti di sebuah halte ramai di dalam cincin kota tua. Pak sopir menunjukkan arah pusat kota dan pusat informasi turis. Kantor turis ini susah sekali ditemukan. Berada di dalam gang sempit berpenunjuk arah tak jelas. Diantara kafe, dan toko-toko cinderamata. Berkali kami kesasar dan harus bertanya-tanya ke para pedagang.

Ibu di kantor informasi turis menunjukkan beberapa atraksi wisata yang bisa kami datangi. Sebagian museum tutup hari itu. Kami sudah punya agenda kunjungan sendiri.

Area Laiki Geitonia di sekitar informasi turis, adalah perkampungan tradisional. Asyik buat dijelajahi. Penggila belanja dan cuci mata pasti kerasan di sini. Tempat tepat untuk membeli oleh-oleh khas Siprus. Sebagian adalah area khusus pejalan kaki. Toko-toko cinderamata memajang aneka barang kerajianan dan makanan hingga jauh di luar toko. Rajutan asli Siprus, lokum (manisan rasa buah dan kacang-kacangan) adalah buah tangan favorit banyak orang.

Dari bastion D’Avila ke Caraffa, kami susuri sekira seperempat panjang tembok kota tua. Suhu udara panas dan lembab, pepohonan minim di dalam kota, lalu lintas padat. Tak banyak atraksi wisata di sepanjang jalan. Kami lebih memperhatikan suasana kehidupan penduduk lokal. Di taman, banyak sekali orang tua bermain catur. Anak-anak sekolah 9-10 tahunan sedang berjalan dengan para guru, sembari menenteng tas kresek. Bastion Caraffa menjadi museum sederhana. Kepanasan, kami masuk sebentar memperhatikan isinya. Tembok, atapnya semuanya terbuat dari batu. Gerbangnya kayunya gigantis, terlihat sangat berat dan kokoh.

Berjalan terus sambil kepanasan, kami serap lebih banyak pemandangan. Gereja-gereja tua, sebuah bangunan gymnasium (sekolah) dengan pilar-pilar mirip Parthenon di Yunani, masjid tak terpakai, hingga sampai di sebuah masjid lain, Omeriye. Azan memanggil kencang dari arah utara. Di Omeriye, adzan berkumandang di dalam masjid saja. Imamnya berkulit hitam. Sayangnya, sebagian dalam Omeriye terlihat kurang terawat dan kotor.

Dalam perjalanan menuju Nikosia Utara, muncul ide Emak untuk menengok perbatasan. Lewat daerah kumuh, grafiti dimana-mana, dan tembok tinggi dan gulungan pagar kawat berduri. Satu gang ditutup tumpukan drum warna putih biru. Beberapa langkah ke depan, adalah kota dan negara berbeda. Konon, keduanya tak benar-benar terpisah. Kabel-kabel listrik bawah tanah, saluran air bersih dan air limbah yang dibangun sebelum tahun 1964 masih menghubungkan keduanya.

Kami memotret sambil bercanda. Terdiam sekejap saat empat tentara berkata dengan marah, bahwa kami tak boleh memotret perbatasan.

 Nikosia Utara

Di antara kedua bagian Nikosia, ada satu buffer zone. Di sini tentara Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiam. Sepi. Satu dua mobil lalu. Di satu gerbang, bendera Republik Siprus berkibar. Di seberangnya, tiang berbendera Republik Turki Siprus Utara berdiri tak mau kalah.

Peninggalan Islam Siprus
Gedung Buyuk Han, Nikosia Utara

Tak makan waktu lama di crosspoint. Petugasnya berpakaian seragam. Tak pasang muka senyum, Namun juga tak tampak garang. Girang kami pandang stempel Republik Turki Siprus Utara di formulir. Seorang teman bahkan bertekad melaminasi dan memajangnya. Menganggap ini saat sangat bersejarah dalam hidupnya.

Masuk Nikosia utara, terasa masuk dunia berbeda. Bahasa baru, tulisan-tulisan berbahasa Turki di sisi jalan. Dibanding belahannya di selatan, sini terlihat tua, kumuh, bobrok. Gedung-gedung tua, cuil sana-sini, berjendela patah masih berpenghuni. Banyak wanita berpakaian sangat terbuka melenggang.

Lelah akibat panasnya cuaca dan perjalanan kaki berkilo-kilo meter, tak terlalu banyak atraksi wisata utama kami lalui. Dengan berat hati kami lewatkan Atatürk Meydani bundaran berdimensi luas dengan sebuah monumen didedikasikan untuk pendiri Republik Turki. Juga Mevlevi Tekke, pesantren para darwis sufi pengikut Jalaludin Rumi, kini sebuah museum.

Jantung Nikosia utara lebih ramai turisnya dibanding di selatan. Bahasa jerman terdengar di mana-mana. Orang bisa berbelanja dengan euro, tak perlu menukar lira. Harga makanan dan cinderamata melambung tinggi, jauh lebih mahal dibanding selatan. Kami melintasi pasar. Penuh barang-barang buatan China. Baju, sepatu, tas, kaca mata merek ternama.  Entah KW berapa.

Büyük Han dan Masjid Selimiye adalah highlight kunjungan kami di Nikosia utara.  Büyük Han sebuah kompleks konstruksi dari batu. Dulunya tempat peristirahatan para musafir. Terdiri dari dua lantai, bangunan ini punya ruangan, mirip penginapan jaman sekarang. Dari luar, koridornya berbentuk busur panah, ditahan oleh pilar-pilar tinggi. Di tengahnya berdiri sebuah masjid kecil. Masjid Selimiye dulunya katedral. Adzan ashar baru saja berkumandang. Rupanya dari sini suara azan sebelumnya. Bagian luarnya bebatuan kecokalatan. Dalamnya dicat putih. Tempat salat wanita tak dipisah tabir. Tak jarang turis-turis asing masuk untuk menikmati kemegahannya. Seperti kami.

3 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: