Petra memang destinasi mainstream di Yordania. Destinasi wisata paling ramai di negeri. Andalan negara, masuk dalam daftar budaya Unesco. Tapi ini destinasi impian Emak sejak lama. Dan kami sekeluarga pun tidak menyesal sudah ke Petra.
How to get to Petra
Petra letaknya dekat dengan Wadi Musa. Kira-kira di tengah Yordania. Cuma bisa ditempuh dengan jalan darat bagi traveler biasa. Bandara terdekat adalah Aqaba dan Amman. Di Aqaba mau pun Amman, banyak sopir taksi menawarkan untuk mengantar ke Petra atau tempat-tempat wisata lainnya. Ya, taksi memang bisa disewa hingga keluar kota. Tarifnya tergantung kepintaran kita menawar.
Emak pernah nanya daytrip ke Petra k sopir taksi Aqaba. katanya tarifnya 100 JD pp. atau nyaris dua juta rupiah. Perjalanan dari Aqaba ke Petra sekitar 1,5 jam. Amman – Petra 4 jam-an. Mestinya kalau dari Amman jatuhnya lebih mahal. Kalau bisa share cost, bisa lebih murah jatuhnya.
Cara lebih murah adalah dengan naik bus umum. Ada bus setiap hari dari Amman, Aqaba, mau pun Wadi Rum. Jadwalnya bisa dicek sendiri di internet. Tarifnya di bawah 10 JD per orang dari Amman.
Keluarga pelancong menggunakan mobil sewaan. Biar waktu lebih fleksibel. Dan lebih murah karena kami berempat. Menginap di Wadi Musa. Atau sekitar situs Petra pun banyak hotel.
Waktu Terbaik Mengunjungi Petra
Waktu terbaik untuk berkunjung ke Petra, atau Yordania pada umumnya adalah di musim semi dan gugur. Sekitar bulan Maret – Mei. Dan September – November. Waktu-waktu ini matahari tidak begitu panas menyengat. Kami juga datang kemari di akhir Maret. Lumayan enak suhunya. Meski di Amman sering hujan.
Agar bisa puas mengeksplor Petra, kita butuh waktu setidaknya sehari. Pergi agak pagian. Apalagi kalau eksplor bagian dalam jalan kaki. Tiket yang tersedia, adalah tiket sehari, dua, dan tiga hari. Wow, ada yang eksplor hingga tiga hari. Apa gak bosen? Kompleks situs arkeologi Petra sangat-sangat luas. Banyak trail yang ditawarkan. Kalau dijalanin dan diliat satu-satu, kayaknya seminggu pun gak bakal kelar. Apalagi bagi yang suka sejarah. Pasti demen banget di sini.
Kami ambil sehari. Dan sayangnya gak bisa sampai malam dan menyaksikan kesyahduan Petra by Night. Sebab kudu melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya.
Di Dalam Situs Arkeologi Petra
Tarif masuk ke situs arkeologi Petra sebesar 50 JD per orang. Anak-anak kurang dari 12 tahun gratis. Lebih dari itu bayar penuh. Agak sakit perut Emak mbayarnya. Kalau dirupiahin dah ampir sejeti. Itu tarif buat turis asing. Residen Yordania kena charga 1 JD per orang. Duhhhh, 50 kali lipatnya. Tapi yah, mahal-mahal situs sekeren ini pantang lah di-skip.
Di bagian depan, dekat gedung penjualan tiket, terdapat spanduk imbauan buat pengunjung. Imbauan agar berpikir ulang sebelum menyewa binatang kendaraan. Di dalam kompleks memang banyak sekali penyewa kuda, unta, dan paling banyak adalah keledai. Biar gak capek jalan kaki, pengunjung isa menyewa mereka. Akan tetapi kadang ukuran penumpang ama keledainya gak sesuai. Kegedean penumpang. Jadi kasihan melihat keledainya. Apalagi di jalanan batu menanjak menuju Monastery.
Imbauan lainnya agar pengunjung membeli cinderamata di toko-toko yang ada di dalam kompleks. Bukan kepada anak-anak pengasong. Memang banyak sekali terlihat anak-anak usia sekolah berkeliaran pecahan batu serta bermacam cinderamata. Entah mengapa pemerintah Yordania mengimbaunya langsung ke traveler. Gak melarang mereka secara langsung.
Sampai ujung Monastery yang terletak di gunung itu, emang ada ajah yang jualan. Bahkan sepertinya sekalian tinggal di sono. Dalam tenda-tenda mungil bareng ama barang dagangannya. Ada ibu tinggal ama anak-anak kecilnya. Ngeliatnya bikin gak tega, sih. Tapi Emak pilih ikut imbauan pemerintah.
Oh ya, bawa air minum yang cukup buat di Petra. Di dalam ada, seh. Tapi jauh lebih mahal. Selain itu pakai topi dan sunblock.
KeluargaPelancong di Petra
Kami check out pukul 9 pagi dari hotel. Penjaga hotelnya masih tertidur di sofa. Lalu beli minuman botol dan camilan buat bekal di perjalanan. Emak sudah menyiapkan mie instan goreng. Buat makan siang.
Parkiran terdekat ada penjaganya dan kudu bayar 2 JD sehari. Kalau agak keluar gratis. Kami nyari tempat gratisan ajah. Lumayan lah 2 JD buat beli roti, kenyang. Semua lancar. Kami jalan kaki berjam-berjam. Menghabiskan total waktu sekitar 6 jam. Bolak balik dari pintu masuk hingga di atas, di depan Monastery. Kami pilih trail umum. Dari pintu masuk ke Treasury (Al-Khazneh), berakhir di Monastery (Ad Deir).
Di bagian konter tiket, kami mengambil peta berbahasa Inggris. Banyak trail bisa kita lalui. Untuk trail tertentu disarankan pakai guide, kata buku panduan. Trail ke Jabal Harun misalnya. Sekali jalan butuh waktu 6 jam. Mesti berangkat pagi-pagi. Oh ya, Jabal Harun dipercaya oleh warga sekitar sebagai tempat petilasan atau bahkan Makam Nabi Harun as. Kami pilih trail normal saja. Trail favorit turis. Sepanjang 6 km dari pintu masuk hingga Monastery.
Dari baru masuk, udah banyak orang nawarin naik kuda. Kayaknya tiap berapa meter nawarin. Ada yang bentuknya dokar atau kereta kuda. Ada yang kuda buat ditunggangi langsung. Kami terus berjalan. Selain #sayangduitnya kami ingin menyerap pemandangan Petra lebih banyak. memasukkan dalam memori indah kami.
Petra dibangun oleh penduduk yang sudah memiliki teknologi mutakhir di zamannya, Kaum Nabataean. Kaum yang sama yang membangun Madain Saleh, sekarang terletak di Saudi Arabia. Peninggalan kaum ini sebenarnya tak hanya ditemukan di Petra. Kami menemukan sebuah kuil Nabataean di Wadi Rum.
Situs bersejarah ini ‘ditemukan’ kembali oleh eksplorer asal Swiss, Johann Ludwig Burckhardt tahun 1812. Yang disebutnya sebagai kota merah mawar. Sebab banyak bebatuan berwarna merah di sini. Menurut Wikipedia, kemungkinan Petra sudah mulai menjadi sebuah kota pada tahun 312 sebelum masehi. Dan menjadi salah satu kota makmur dari jalur perdagangan di Timur Tengah kala it.
Kaum Nabataean dikenal sebagai arsitek andal. Mereka juga membangun saluran air di sepanjang Siq, celah panjang menuju Treasury. Saluran air tersbut bisa kita saksikan bekasnya hingga kini. Kota Petra mulai ditinggalkan penduduknya pada tahun 363. Saat sebuah gempa besar menghancurkan banyak konstruksi, termasuk saluran air. Bangsa Arab menaklukkan daerah tersebut pada 663. Di abad pertengahan, Petra sudah tinggal puing.
– As Siq
Sebagai appetizer perjalanan kami adalah Bab Al Siq atau pintu gerbang Siq. Sebuah kompleks batu-batu bolongan. Tanda di dalamnya pernah ditempati. bentuknya mirip jamur raksasa. Akan tetapi, konstruksi di sini tidak terlalu tinggi. Beberapa tampak ditempati penunggang kuda atau keledai beserta hewan milik mereka. Ada pula yang ditutup kain. Ndak enak jalan di daerah sini. Jalannya campur antara batu dan pasir. Bikin capek dan ndak bisa jalan cepat. Biar cepet bisa jalan di pinggiran track kuda yang berbeton.
Memasuki As Siq, petualangan tambah seru. Mulut tambah sering nganga. rasanya gak percaya. Duhhh indah banget. Sebuah celah di antara gunung. Celahnya cukup buat orang, kereta kuda, bahkan mobil lewat. Tapi mobil gak boleh lewat sini. Kami jadi sering berhenti buat motret dan berpose ria. Demikian pula ribuan traveler pengunjung Petra lainnya.
Keseluruhan kompleks Petra terlihat bersih. Setiap berapa puluh meter ada tukang sapu. Ada yang pas istirahat nyapu, mereka baca Quran. Adem ngeliatnya. Jalanan As Siq relatif datar. Celah ini terdiri dari beberapa bagian.
Awal-awal batuan di kanan kiri celah sepertinya tidak terlalu tinggi. Tapi tambah lama tambah tinggi. Dan ada beberapa bagian celah agak sempit. Sehingga terlihat gelap. Jalanan di celah tersebut ada yang dibeton mulus. Ada pula yang berbatu. Warna batuan di samping celah ini yang cakep banget. Ada yang kekuningan, kecoklatan, kemerahan, kehitaman. Ada yang semburat warna kesemuanya, berlapis-lapis. Sesekali tampak relief pahatan di dinding tebing.
Jika capek, pengunjung bisa duduk-duduk di bangku. Lumayan banyak tersedia di celah. Tapi semakin ke dalam, bangku makin jarang. Kami terus berjalan pelan. Disambi membacai papan informasi jika ketemu.
Jarak dari pintu masuk ke Al-Khazneh panjangnya sekitar 2,5 km. Jalannya berkelok-kelok. Highlight As Siq ada di ujungnya. Ketika tiba-tiba di antara celah, kita bisa menangkap bayangan AL Khazneh. Seperti ketika Indiana Jones menemukannya saat berkuda di film The Last Crusade.
– Antara Al Khazneh dan Qasr al Bint
Ratusan orang bergerombol di depan Treasury. Kebanyakan turis berusaha mendapatkan gambar terbaik. Foto terbaik. Selfie dan wefie terbaik. Ambil gambar sambil ndelosor pun dijalani. Kuda, keledai, dan unta ikut berkumpul. Tali kekang mereka dipegang sang pemilik. Kereta kuda hanya bisa berjalan sampai sini. Jika ingin meneruskan perjalanan, bisa naik kuda dan unta dan keledai. Unta tak boleh naik sampai Ad Deir.
Melihat Treasury, mau tak mau memang Emak merasakan ini sangat grandeur. Bukan bangsa sembarang yang bisa memahat tebing tinggi demi membuatnya. Ia disebut juga Khazneh al-Firaun atau ruang harta karun Firaun. Sebab dulunya warga lokal mengira ia adalah tempat penyimpanan harta. Treasury sejatinya adalah sebuah makam. Diperkirakan makam seorang Raja Kaum Nabataean, Aretas IV.
Tingginya 40 meter. Dengan lebar 25 meter. Bentuknya mirip gerbang dua tingkat. Fasadnya memiliki pilar-pilar penyangga dan ornamen relief figur. Emak melongok ruang dalamnya yang kosong. Ada pagar di bagian depan. Pengunjung biasa dilarang masuk. Di bagian bawah,, ada ruangan lagi.
Puas berfoto, kami pun lanjut jalan kaki. Jalanan hingga sampai tanjakan menuju Ad Deir, paling nggak nyaman dilewati. Kecuali mungkin kalau kita pakai walking shoe khusus. Emak pakai walking shoe murahan, rasanya masih gak enak. Apalagi Bapak yang make sepatu kantornya buat jalan-jalan keliling Yordania. Salahe dhewe. hehe.
Jalanan mulai terbuka. Nggak berupa celah lagi. Kita memasuki kawasan utama kota kuno Petra. Banyak sekali konstruksi menarik. Walau yang paling juara tetap Al Khazneh dan Ad Deir.
Hari mulai panas. kami duduk di ats batu, buka perbekalan. Ribuan orang dan hewan berlalu di depan kami. Di antara Al Khazneh dan Theatre terdapat kota gua. Seperti kota gua Uplistsikhe di Georgia. Tapi ini lebih luas. Dan dibangun bertingkat. Emak membayangkan, penduduknya naik turun gunung batu untuk menjelajah isi kota.
Ada jalan setapak untuk mencapai tempat tertentu. Sebagian sudah cuil-cuil dan jadi puing. Ukuran theater-nya relatif kecil dibanding teater-teater lain yang keluarga pelancong pernah kunjungi. Kami hanya boleh memotretnya dari luar. Karena kondisinya juga sudah tidak utuh lagi.
Kami berempat tidak naik ke arah kompleks Royal Tombs, Mendakinya lumayan tinggi. Sepertinya menarik dan banyak turis sedang mengerumuni tempat itu.
“Lima dirham saja buat naik ke sana,” seorang anak muda menggandengan keledai menawari Emak. Emak menggeleng.
Kami berjalan terus. Kaki mulai pegal. Langkah semakin berat. Gereja Byzantium dan Great Temple merupakan objek menarik lainnya. Tapi langah tetap lempeng. Tujuan utama menuju Ad Deir kudu tercapai. Di depan Colonnaded Street berdiri dua penjaga berpakaian Romawi. Entah petugas asli atau mereka yang memakai kostum untuk diajak foto bersama kayak di dekat Colosseo, Roma.
Kami sempat kebingungan mencari arah menuju Monastery. Mau nanya ke pemilik kuda atau keledai, males. Pasti ntar ditawari naik. hehehe. Benar saja, pas celingak celinguk, orang datang menawarkan keledainya untuk kami tumpangi ke Monastery. Dari sebuah kompleks kecil berupa restoran, di daerah Qasr al Bint, kami kudu belok kanan.
– Menuju Ad Deir
Babak baru pun dimulai. Jalan menuju Monastery, duh Gusti, kami tempuh dengan penuh perjuangan. Benar-benar perjuangan. Mungkin memang lebih enak naik keledai. Tapi tetep #sayangduitnya.
Sebelum mulai jalan tanjakan, kami melewati celah di antara pegunungan batu. Jalananna gak enak lagi. Pasir campur batu. Batunya ukurannya nanggung. Gak bisa dibuat tumpuan. Di bekas rumah rumah gua ditempati beberapa pedagang. Yang mengagetkan Emak, ada yang jual mie cup instan merek Indonesia yang beken itu. Aih aihh sampai juga di sini. Kata Adik mahasiswa, penduduk lokal banyak yang suka, loh.
Sampai di tanjakan, awalnya Emak bahwa tanjakannya gak terlalu terjal dan dekat.
“Butuh sejam buat naik ke atas,” kata seorang penarik keledai. Sejam nanjak? Emak menganggapnya lebay. Ah, paling-paling strategi dia ajah. Biar keledainya ditumpangi.
Emak menyesal dah berburuk sangka. Ternyata Emang jauh banget letak monasterinya. Undakannya dari batuan alam. Tingginya tidak rata. Bikin kaki tambah pegel. Track-nya ada di antara gunung-gunung batu. Kadang di sisi kita jurang tak berpengaman. Gak terlalu dalam. Tapi kalau gak ati-ati yah bisa fatal.
Akan tetapi perjalanan ini tak membosankan. Ratusan turis lainnya kami jumpai. Kadang disalip, kadang kami menyalip. Di kanan kiri track, tak sedikit pedagang suvenir. Mereka sangat gigih.
“Ayo lihat-lihat dulu. Liat-liat gratis.” Hampir semua orang lewat ditawari. Lagi ngos-ngosan seperti ini, rasanya Emak gak mikirin suvenir. Cuma mikir, kapan sampai di Ad Deir.
Yang bikin lama itu karena Emak banyak berhenti. Kata Bapak, berhenti sebentar aja, trus jalan lagi. Kalau terlalu lama, malah tambah capek. Aduhhh, mana bisa berhenti bentar. Napas dah mau copot gini. Meski gak hujan, ada beberapa bagian jalan agak licin. Ekstra hati-hati sangat diperlukan. Bahkan, udah tinggal beberapa meter lagi sampai, Emak kudu diem dulu. Duh, mbayangin es campur kayaknya seger banget, deh. Bair agak semangat nyeret betis buat mendaki, kadang Emak merapal mantra ajaib: Kurus! Kurus! Kurus!
Monastery atau Ad Deir, tujuan kami sudah di depan mata. Uooooo, meski capek, emang gak rugi sudah sampai di sini. Konstruksinya lebih besar dibanding Al-Khazneh.
Dibanding Al-Khazneh, turis di depannya memang tidak banyak. Tidak semua pengunjung Petra memutuskan untuk pergi kemari. Tempatnya tak ramah difabel. Dan buat orang-orang tua hampir tak memungkinkan. Kecuali masih bisa menunggal kuda atau keledai.
Seperti Al Khazneh, Ad Deir dipahat dari tebing batu. Berukuran tinggi 30 meter dan lebar sekira 50 m. Ia diperkirakan dibangun sekitar abad 1 masehi. Walaupun namanya monastery, fungsinya bukan sebagai biara. Juga bukan sebagai makam. Kemungkinan sebagai monumen peringatan seorang pemimpin Nabataean. Terdiri dari dua level, pilar bagian bawahnya mulai dimakan usia.
Di seberang lapangan di depan Ad Deir berdiri sebuah rumah makan. Bangku luarnya banyak. Hampir semuanya menghadap Monastery. Sehingga pelanggannya duduk-duduk sambil menikmati keindahan Ad Deir.
Kami makan bekal mie goreng instan. Pengen beli es lemon pakai mint, kok ya harganya 5 JD segelas. Alias ampir seratus ribu. Segelas buat berempat juga gak cukup. Yo wes lah minum air putih ajah. Sekarang tinggal mikir, bagaimana turun dengan kaki udah letoy kayak gini. hehe.
Panjang banget nih artikelnya. Tapi seru bacanya.
Itu biaya masuk bikin nangis bombay.
Eh, keluarg pelancong waktu didepan Al Kahzneh pakai gaya apa ? ndelosor juga ? hehehe.
Mbak Mbak, itu mas Bojo pakai sepatu kantor, baju juga kah ? *Ngbibritsebelumdilemparsepatukantor
@Zulfa: ndak sampai ndelosor, lah. *jaim*. hahahha, baju juga senengane hem-heman. Koyok cowok India wae…
Hehe apalagi kalau yang punya badan segede aku, kasihan sama kudanya kalau masih remaja #eh.
Menyimak dengan seksama tulisan mbak Ira. Mupeng banget. Semoga berkemampuan dan berkesempatan ke sana nanti. Amiiin
@Cek Yan: iyah… Cek Yan sebaiknya jalan kaki ajah, biar kurusan… *pisss* Aku amiinkan, yah. Moga dapat rezeki ke Petra. Asli cakep banget. Aku pengen ke YOrdania lagi kalau ada rezeki. Pengen nyumplung lama2 di Dead Sea… 😀
Mbak Ira, paspdi petra nginep di hotel apa?
@Mbak Rahma: Di Mussa Spring Hotel, Mbak. Murah, tapi gak terlalu nyaman menurut saya.