Sebuah artikel panjang tentang pengalaman di Fes el Bali sudah Emak tulis dan alhamdulillah di Jawapos beberapa pekan lalu. Kunjungan ke bagian tertua di kota Fes ini Emak anggap paling mengesankan.
Di Place Boujeloud, kami berisitirahat. Duduk-duduk di undakan seberang Moulay Idriss College serta mengirim sms ke seorang adik mahasiswa. Seorang pemuda mendekati kami saat asyik memotret. Berbicara dalam bahasa Perancis dan Arab. Kami sama sekali tak mengerti maksudnya. Tapi mendengar kata-kata dirham, kami simpulkan dia minta uang. Badannya terlihat sehat. Bahkan gemuk. Emak dan Bapak kompak memberi kode lewat mata. Menggeleng sambil tersenyum kepada si pemuda.
Masuk lewat Bab Chorfa, gerbang tua, coklat, buram namun masih terlihat gagah, seorang bapak mendekati. Kawasan tersebut mau tutup untuk persiapan jumatan. Dia menawarkan kami menjadi pemandu di dalam medina, agar tak kesasar. Punya peta dan peringatan berhati-hati menghadapi pemandu liar, kami tolak secara halus. Gantinya, kami lewat pasar tradisional. Aneka hasil dijual di kios-kios sederhana. Sebagian penjual menggelar di terpal-terpal plastik saja. Suasananya mirip pasar tradisonal di tanah air. Meski aneka pedagang campur aduk, semua terlihat relatif bersih.
Di dalam medina, pemandangan semakin bervariasi. Dari pedagang kain, tas, sepatu, kerajinan tangan, cinderamata, barang-barang dari kulit, warung tradisional, hingga aneka pengrajin. Semakin masuk ke perut medina, akan kita temukan pedagang bumbu, zaitun, madu, kosmetik, dan masih banyak lagi. Semakin ke dalam, jumlah pengemis tua pun semakin banyak.
Sasaran utama hari itu adalah Zawiya Moulay Idriss II dan Masjid Qarawiyyin. Letaknya berdekatan. Setelah adik-adik mahasiswa menemukan kami, langkah kami makin cepat. Tak perlu berpikir mencari jalan sambil melihat peta yang tak jelas. Tak ada peta bagus untuk medina, kata mereka. Memang sangat membingungkan bagi yang awam akan suasana kota tua ini.
Tak lama juga kami berada di kedua masjid tersebut. Keduanya tertutup untuk non muslim. Gerombolan turis Jepang dan kulit putih sesekali mengintip-intip isi masjid dari luar. Sebagai muslim, kami bersyukur mendapat privileg memasukinya dengan mudah serta menikmati keindahan bagian dalamnya.
Sebelum para lelaki Jumatan, kami minta diantar menuju pusat penyamakan kulit terbuka di Fes el Bali.Di satu ketinggian. Sebuah gedung berisi toko-toko barang kulit. Kota Fes memang sangat terkenal akan komoditi kulitnya. Kualitas prima dengan harga miring, kata adik-adik. Bapak membeli jaket kulit bagus di satu toko. Karena panas, campuran basa dan kulit yang disamak menimbulkan bau teramat sangat. Tak tahan berlama-lama, kami turun. Membayar upeti ke seorang penjaga.
Hari terakhir sebelum kembali terbang ke Jerman, sekali lagi kami kemari. Memperbanyak pemandangan Fes el Bali. Membeli cinderamata sambil berusaha menanamnya dalam-dalam dalam ingatan kami. Kami tahu, akan segera merindukannya setelah kembali ke rumah.
[…] dengan kunjungan ke kota Meknes. Meknes adalah salah satu dari empat kota kesultanan di Maroko : Fes, Meknes, Rabat dan Marrackech. Raja yang berkuasa saat ini juga bertahta di kota […]
[…] kami. Menawarkan diri sebagai pemandu. Adik-adik mahasiswa menolak. Seperti pemuda arab di Fes el Bali, si Bapak 40-an tahun ini pun keras kepala. berkeras menjadi pemandu kami ke makam Moulay Idriss. […]
[…] Fes, ternyata adalah sentra penghasil kerajinan kulit di Maroko. Tas, jaket, sepatu, dan aneka pernak-pernik kulit dijual dengan harga relatif murah. Bapak tertarik membeli jaket kulit. Adik-adik mahasiswa alhamdulillah punya kenalan seorang pedagang jaket kulit. Sehingga Bapak pun mendapatkan jaket idaman dengan harga miring. Menurut seorang adik yang mengerti tentang seluk beluk kulit, kerajinan kulit di negeri ini memiliki kualitas prima. Bisa dibilang nomor satu-lah, katanya. Kami percaya. Sebab menurut informasi, kerajinan kulit di sini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. […]