Tak tertarik untuk menjelajah tanpa peta, setelah membeli makanan sekedarnya, kami pilih ikut tur pakai feri. Grachtenfahrt bahasa jermannya. Tujuh tahun lalu tur semacam ini paling murah 5 euro per orang. Anak-anak separuhnya. Sekarang tarif termurah adalah 8 euro. Dua puluh empat euro berempat. Apa boleh buat. Dulu ingin sekali ikut, tapi orang tua tak mau ikut tur semacam ini. Baru keturutan sekarang. Sebuah papan informasi menjelaskan, lamanya tur sekitar satu jam.
Kami ikut tur di satu perusahaan di Damrak. Entah apa namanya Emak tak mencatatnya. Ada dua atau tiga perusahaan tur di daerah situ. Ini paling murah. Makanya paling diminati. Tak sampai sejam, feri sudah penuh oleh peserta tur.
Grachtenfahrt berasal dari kata gracht. Berarti kanal atau saluran. Kami memang menyusuri sebagian kecil dari kanal-kanal Amsterdam kesohor itu. Mulai dikembangkan tahun 1612, kanal-kanal ini merupakan saluran transportasi penting di kota ini. Juga sebagai tempat pengendali banjir, wisata dan olah raga air. Walau turnya sendiri agak membosankan bagi Emak, berbagai wawasan baru mengenai Amsterdam masuk ke kepala kami.
Jika memperhatikan di peta google, unik sekali bentuk kanal-kanal Amsterdam ini. Membentuk beberapa cincin sekaligus. Cincin-cincin tersambung satu dengan lainnya.
Pak Kapten feri segera masuk setelah feri terlihat penuh. Beliau menyetel sebuah kaset berisi panduan dalam bahasa belanda, inggris, perancis dan jerman. Jika ada obyek yang disebut dalam panduan, beliau mengangkat tangan, menunjukkan tempat yang dimaksud.
Dari Damrak kami keluar lewat sebuah saluran tertutup ke arah stasiun Amsterdam centraal. Lewat belakang Koffie Huis. Masuk ke sebuah saluran lebih besar lalu ke Herrengracht. Pemandu bercerita tentang rumah-rumah megah di tepi kanal. Dibangun sekitar abad 18. Uniknya, rumah.rumah tersebut punya pintu-pintu berukuran jauh lebih kecil dibanding jendela-jendelanya. Ada sebuah kerekan di tingkat paling atas. Untuk transportasi barang ke atas. Mereka memasukkan lewat jendela-jendela lebar itu.
Kanal-kanal berfungsi juga sebagai tempat tinggal. Sebab lahan mahal dan terbatas, salah satu alternatif adalah tinggal di rumah perahu. Ada rumah perahu terlihat biasa, ada yang terlihat mewah. Penasaran juga ingin mencoba masuk ke salah satunya. Ingin merasakan bagaimana rasanya tinggal di sebuah rumah perahu.
Selain gedung, jembatan, saluran, kami juga disuguhi pemandangan cantik arsitektur unik Amsterdam ketika lewat di bagian modern kota. Yeah, walau bukan cara paling mengasyikkan untuk menghabiskan 24 euro dalam satu jam, kami lumayan terhibur melihat sebagian isi kota dari atas air. Menawarkan perspektif berbeda dibanding melihatnya dari daratan.
Tak mau membayar sepuluh euro lebih untuk ongkos tram menuju perkemahan, kami putuskan jalan kaki saja. Satu setengah jam, kata GPS kami. Langait hanya sedikit berawan. Lumayan untuk berhemat sambil membakar lemak.
[…] Di kantor informasi turis seberang stasiun Amsterdam Centraal, satu peta kota berharga 4,30 euro. Jauh lebih mahal dibanding peta di tempat kemah. Bersungut-sungut kami berjalan menuju pusat kota. Tanpa peta. Biarlah. Toh kami tak berniat menjelajah isi kota. Hari itu hari tim nasional Belanda akan bertarung melawan Denmark. Damrak dihiasi asesoris serba oranye. Warna kebangsaan Belanda. Ratusan suporter memakai bermacam asesoris berwarna sama. Sebuah toko menjual asesoris sangat murah. Sempat hati kami tertarik untuk membeli sebuah topi badut berwarna oranye. Ujungnya, kami beli bibit tulip buat ditanam di rumah. (bersambung) […]