Hostel Generator Dublin

Mencari penginapan liburan, bisa jadi seni tersendiri bagi pelancong. Karena kami sekeluarga perginya dengan bujet terbatas, pastinya cari penginapan termurah yang bisa kami temukan. Termurah sekali, nggak. mengingat kami liburan berempat. Anak-anak masih kecil. Tak memungkinan jika menginap di dormitory yang isinya bersepuluh, berduabelas atau bahkan berduapuluh dalam satu kamar. Walau pernah kecolongan sekali akibat tak teliti membaca, biasanya kami pilih sekamar sendiri.

Kondisi hotel atau hostel di tiap tujuan berbeda. Harganya pun bervariasi. Tergantung jumlah penginapan dan ramai tidaknya tempat tersebut. Sampai saat ini, yang termahal masih daerah Skandinavia. Disusul Spanyol, Belgia. Italia, Turki (Istanbul) dan Andorra (musim panas) masuk kategori sedang. Negara-negara Eropa Timur, Irlandia (Dublin) Kroasia, Malta, Siprus, Malaysia, Maroko, Baltik, Yunani, kami masukkan dalam kategori murah.

Pengalaman selama menginap banyak pula warnanya. Terutama jika menginap di hostel. Biasanya banyak ketemu anak-anak muda dari berbagai belahan dunia. Sesekali ada pula keluarga dan orang-orang tua yang tak menemukan masalah bergaul dengan orang muda. Emak bisa praktik berbahasa inggris. Bapak juga demikian, mau tak mau ngobrol dalam bahasa internasional.

Kami pesan hostel di Dublin segera setelah membeli tiket. Untuk pengurusan visa, butuh akomodasi. Emak pesan dari hostelbookers. Lokasinya di Smiethfield, sekitar setengah km dari Temple Bar, terkanal akan dunia malamnya di Dublin. Dengan 40 euro per malam buat berempat, ya itu paling murah yang kami temukan saat itu.

Hostel ini ternyata adalah sebuah jaringan. Punya beberapa cabang di kota-kota besar dunia. Seperti Berlin, Paris, Roma, dan Hamburg.

Baru masuk, lobby sudah terlihat hippies dan funky. Khas anak muda. Ramai sekali di dalam. Sebagian bertattoo dan berdandan punk. Mereka duduk di bangu panjang yang disangga pilar dari buku-buku bekas. Ternyata adalah tamu menunggu check in jam 2 siang. Untung kami tak perlu lama menunggu.

Ia terdiri dari 4 lantai. Kami pesan kamar dengan kamar mandi dan toilet di luar. Sebab banyaknya kamar dan tamu, anak-anak tak boleh ke kamar mandi dan toilet sendirian. Bisa kami mengerti. Kamarnya mirip isi jugendherberge. Terdiri dari dua tempat tidur susun. Tak ada lemari. Sebagai gantinya adalah tempat penyimpanan barang di bawah tempat tidur. Eh, ternyata gak dapat handuk. Kudu minjam 2 euro per handuk. Kamar mandi dan toilet selalu bersih dan wangi. Koridor juga. lampunya otomatis menyala jika ada yang masuk koridor. Untungnya ada wastafel di dalam. Kalau wudu, gak perlu keluar kamar.

Kami menempati sebuah kamar di lantai 1. Tak enaknya, hostel ini punya pub sendiri di lantai dasar. Ada live music-nya pula hampir setiap hari. Ribut sekali. Anak-anak syukurnya tak terganggu. Pulas seperti di rumah sendiri. Hanya Emaknya kesulitan menutup mata meski sudah sangat capek berjalan seharian setiap hari.

Buat menghemat pengeluaran makan, kadang kami bawa rice cooker atau setidaknya water heater saat berlibur. Katanya ada dapur, kamu cuma bawa alat masak buat kemping. Eh, pas baru nyampe, cari-cari dapur ke tiap lantai gak ketemu. Lemes, deh. Mana gak bawa water heater. Kalau bawa kan lumayan bisa bikin teh atau kopi hangat di pagi hari. Sorenya, Bapak nanya. Eh, ada. Di ruang bawah tanah. Hanya dibuka pukul 5 sore – 10 malem. Lumayan, makan malam bisa merebus air buat mie instan dan bikin minuman hangat.

Ada satu terlupa dibawa kemarin. Sisir. hehehhehhehe. Empat hari nggak sisiran. Not a big problem, though. 🙂

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: