Jajce dan Travnik

dsc_1150Usai dengan Banja Luka, hari itu kami rencanakan mengunjungi Jajce dan Travnik. Dua kota di antara Banja Luka – Sarajevo. Mulanya kami lewat desa-desa kecil. Mirip jalan antar propinsi di tanah air. Menyusuri Sungai Vrbas. Tepian sungai banyak digunakan sebagai lokasi kemping. Di musim panas, tampaknya orang banyak bermain kano atau rafting. Sungainya berwarna hijau, bening sekali jika dilihat dari dekat.

Semakin lama, pemandangan makin dramatis. Aliran Sungai Vrbas membentuk sebuah ngarai yang tingginya bisa mencapai puluhan kilometer. Ngarai tersebut membelah pegunungan batu berwarna putih. Sesekali, jalan raya dibuat dengan mengikis gunung. Di daerah ini juga banyak sekali jembatan dan terowongan. Malah ada terowongan batu biasa, tampak seperti lubang panjang alami. Sesekali jika ada spot menarik dan tempat parkir, Emak minta Bapak berhenti untuk berfoto. Sekali, kami temukan pemandangan indah sekali. Di tepi jurang. Vrbas sedang berkelok 180 derajat. Terlihat dari ketinggian tebing, entah beberapa puluh meter. Emak takut sekali. Melarang Bapak dan anak-datang terlalu dekat di bibir jurang. Kami mendapatkan foto keluarga sangat indah di sini.

Kota Jajce berada di pertemuan dua sungai : Pliva dan Vrbas. Pliva yang lebih tinggi, tumpah dan membentuk air terjun indah ke Vrbas. Tepat di dekat kota tua Jajce. Dari jalan tinggi, menara-menara masjid kurus menjulang. Emak cinta pada pandangan pertama pada kota ini. Di atas bukit sebuah kastil tua. Dikelilingi tembok batu tebal dan sebuah air terjun di bawahnya. Sebuah pelangi terbentuk tak  jauh dari air terjun.

Kami salat dan keliling kota sejenak. Naik ke kastil, masuknya harus bayar. Tak punya waktu, kami putuskan turun. Makan siang dan lanjut menuju Travnik.

Pukul 4 sore, hari mulai gelap. Kabut menyelimuti. Salah satu kabut paling tebal yang pernah Emak lihat. Jarak pandang sangat terbatas. Mungkin hanya 10 meteran. Kami sempat kesasar, tak melihat plang jalanan menuju Sarajevo. Tambah tegang lagi ketika mobil harus meliuk-liuk mengikuti jalanan pegunungan. Kami senang jika ada mobil di depan. Seperti punya pemandu. Di atas ketinggian, daerah Komar, sekira 1000 mdl, kabut malah lenyap. Baru muncul lagi, ketika jalanan mulai menurun.

Waktu Isya hampir tiba di Travnik. Atau hampir pukul enam sore. Kabut masih setebal sebelumnya. Kata bapak-bapak, ramai orang sembahyang di masjid. Seorang lelaki 50-an tiba-tiba mengucap salam, melihat plat mobil Jerman kami.

„Assalamualaikum. Deutschland? Muslim?“

Ketika dijawab iya, langsung beliau memeluk bapak-bapak.

Kami ke pusat Travnik sebentar. Dengan kabut setebal ini, Emak pesimis kami bisa menikmati isi kota penting zaman Turki Usmani ini. Kami hanya menyusuri jalan utama. Entah, sepertinya kami masuk daerah khusus tanpa mobil. Karena beberapa orang memandang tak suka. Belum memutuskan hendak bagaimana, Bapak berhenti. Seorang lelaki, mereka ketemu di masjid sebelumnya, menghampiri. Dia tak bisa bahasa inggris atau jerman. Bisanya bahasa lokal, arab, dan italia. Menanyakan kami mau parkir atau apa. Bilang mau muter, beliau langsung memberi kode kami untuk mengikuti. Mobil menyebernag jembatan kecil, berputar di antara deretan mobil lainnya. Si lelaki jadi juru parkir dadakan.

Beres, dia bertanya, kami mau kemana. Ketika bilang Sarajevo, dia lari, memberi kode kami untuk mengikutinya lagi. Dia berlari sampai ada plang kuning bertuliskan Sarajevo. Kami sampai tak tega dan tak enak hati melihatnya. Namun juga bahagia, mengingat hati-hati kami yang saling bersaudara. Walau sangat-sangat penasaran akan Travnik, kami belum beruntung untuk menikmati kemolekannya.

Leave a Reply

%d bloggers like this: