Awalnya tak ada niatan kami melawat ke Malmo kala kami bertandang ke Kopenhagen. Rencana awalnya, kami semua akan menghabiskan dua hari mengelilingi ibu kota Denmark.
Tiga hari sebelum berangkat, Emak melihat iklan tentang TT-Lines, satu perusahaan pelayaran pelayan rute pantai timur Jerman menuju pelabuhan-pelabuhan di Swedia. Salah satunya menawarkan rute pelayaran feri Travemuende – Trelleborg. Memikat. Sebab murah. Sempat Emak bookmark di komputer.
Ketika mempelajarinya lebih jauh, Emak ketahui bahwa kota besar terdekat dengan Trelleborg di Swedia selatan adalah Malmo. Dan Malmo – Kopenhagen hanya terpisah oleh Jembatan Oresund. Alias 35 menit perjalanan menggunakan kereta api.
Sekalian saja, kami putuskan. Sekali jalan, dua kota di dua negara didatangi. Karena kami memang turis borongan. Sekali melakukan perjalanan maunya langsung mendatangi banyak tempat. Mirip turis Jepang, kata teman kami Walter.
Jadilah kami ke Malmo Jumat sore. Hanya kami berlima. Kami sekeluarga, Mas JJ dan Wilda berkehendak ikut. Farid dan Sese lebih suka menjelajahi pusat kota Kopenhagen sore itu juga. Setelah beristirahat sejam setelah masuk penginapan. Untunglah tempat kami menginap hanya kira-kira tiga menit berjalan kaki dari stasiun kereta utama Kopenhagen.
Di kantor penjualan tiket, sang petugas menghitung di kalkulator miliknya dan menjawab cepat, „Delapan puluh enam euro.“ Kami mengeluarkan uang kertas krone sembari menanyakan jadwal keberangkatan kereta selanjutnya. ‘’Pukul lima lebih dua, lintasan 5’’, jawabnya.
Hah, sepuluh menit lagi. Bapak menyuruh Emak ke platform 5 sementara dia mencari teman perjalanan kami lainnya.
Sore itu, platform 5 kereta dipenuhi calon penumpang. Waktu yang kurang tepat untuk naik kereta. Apalagi kereta ini akan menyinggahi bandara Kopenhagen. Selain ramai, banyak penumpang membawa koper-koper besar. Pukul 5:05, kereta belum datang juga. Telat lima belas menit, demikian petunjuk di sebuah monitor di atas platform.
Sebagian besar tampang tenang atas keterlambatan kereta. Kami berempat termasuk calon penumpang gusar. Apalagi semakin lama, tempat tunggu ini makin ramai dijejali calon penumpang.
Kami segera berebut tempat dengan ratusan penumpang lain. Emak berlari ke pintu sambil menggandeng Embak ketika kereta datang 20 menit kemudian. Berjalan pelan diantara koper. Ketemu satu tempat duduk. Embak dipangku. Kedua tangan ini memegang tas dan dua tripod. Kami berpencar. Entah dimana kawan seperjalanan berada. Dalam kereta terasa pengap dan panas.
Di jalur antara bandara dan stasiun Malmo Syd Svaagertorp terbentang Oeresundbroen alias Jembatan Oresund. Lintasan ini sebenernya tak sepenuhnya berbentuk jembatan, melainkan terdiri dari dua bagian. Terowongan sepanjang sekira 4 kilometer (termasuk 3,51 kilometer terowongan di bawah laut) dan jembatan sepanjang 7,85 kilometer. Jembatan ini memiliki rentang kabel terpanjang di dunia, yaitu 490 meter. Tinggi pilar tertingginya 204 meter. Abi, Mas JJ, dan Wilda tak percaya ketika saya bilang kami telah melewati terowongan di dasar laut. Mereka merasa lewat terowongan biasa saja.
Karena hari menjelang senja, kami tak bisa menikmati pemandangan di atas jembatan dengan baik. Apalagi saat itu di luar berkabut. Tak sempat mengabadikan momen bersejarah ini.
Hampir pukul enam ketika kami sampai di Malmo Central. Aktivitas pertama kami, apalagi jika bukan berpotret di stasiun. Di bawah pelat bertuliskan : Malmo. Sebagai bukti kami pernah ke Swedia.
Aula stasiun pusat Malmo mirip dengan Kopenhagen dalam versi lebih kecil. Kerangka atapnya terbuat dari kayu berwarna merah. Cukup ramai.
Kami berfoto sekira 10 menit di depan stasiun. Dengan berbagai gaya. Dibanding dengan Kopenhagen, di sini lebih tenang dan teratur. Bangunannya mirip dengan kota-kota Eropa lain. Salah satu pencakar langet kebanggan warga Malmo, Turning Torso, terlihat di kejauhan. Sayang kami tak punya peta kota. Yang ada cuma potongan peta kecil dari peta Denmark yang kami ambil di hotel. Lumayan sebagai orientasi arah.
Kami menyusuri jalan di sisi kanan stasiun menuju pusat kota hingga ke Stortorget, sebuah ruang terbuka mirip alun-alun. Di kompleks ini berdiri balai kota, kantor, hotel, dan bank. Di tengah ada patung setinggi kira-kira 3 meter. Sepi sekali di sini. Tak terlihat tanda bahwa Malmo merupakan kota terbesar ketiga di Swedia. Kami berjalan sambil potret sana-sini.
Hari mulai terasa dingin bagi kami. Daerah pejalan kaki dan pertokoan juga tak terlalu ramai. Wajar saja, karena toko-toko telah tutup. Hanya kafe dan restauran tampak ramai dari luar. Berputar-putar di zona pejalan kaki, kami tak temukan hal istimewa di Malmo. Meski demikian, saya suka kota ini. Auranya beda. Tenang, rapi, teratur, kalem. Kota nyaman buat hidup.
Lilla Torg, tak jauh dari Stortorget, tampaknya adalah salah satu pusat makanan di Malmo. Sekelilingnya adalah restauran, kafe, dan toko roti serta kue. Ada restauran daging bakar, restauran india, serta resto makanan Eropa. Semua kafe di sana memiliki bangku-bangku di luar berpembatas pagar kayu. Tersedia selimut di setiap kursi. Hampir semua tempat makan dipenuhi pelanggan. Saat itu sekitar pukul setengah delapan. Jam makan malam. Jika kita berjalan dekat pagar pembatas, akan terasa hangat. Pemilik kafe memasang pemanas di sekeliling pagar.
Tak tahan dingin, kami memutuskan segera kembali ke stasiun pusat. Mengejar kereta ke Kopenhagen yang berangkat lima menit lagi.
[…] terkenal akan kemahalannya. Terasa ketika kami mengunjungi kota-kota di sana seperti Kopenhagen dan Malmo (Swedia). Susah mencari penginapan seharga dibawah seratus euro per […]