Saat itu di musim panas tahun 2004, kedua orang tua Bapak sedang berkunjung ke Jerman. Setelah sempat berjalan-jalan ke beberapa kota di Jerman, kami ingin juga mengajak mereka berjalan-jalan ke negara tetangga. Pilihan jatuh ke Amsterdam. Pertimbangannya, dekat dengan tempat tinggal kami, dan bisa menggunakan bus murah Rainbow pulang pergi dari Bremen. Saat itu tarifnya 29 euro per orang.
Hari lumayan cerah. Perjalanan ini dipandu oleh seorang lelaki muda berumur 25 tahunan. Dia menyebutkan namanya, yang segera kami lupakan lagi. Tak lama setelah berangkat, sang pemandu menyampaikan sedikit informasi tentang perjalanan kami. Berapa lama perjalanan akan berlangsung, di mana bus akan berhenti istirahat, pukul berapa kami akan sampai di Amsterdam, dll. Kata-katanya sangat bersahabat. Dan tampaknya sebagian besar penumpang sedang bersuasana hati riang hari itu.
Setelah sempat berhenti setengah jam di wilayah Belanda, bus kembali bergerak ke arah timur. Pemandu mengulurkan kertas berisi pertanyaan kepada semua penumpang. Katanya, dua penumpang dengan nilai tertinggi bakal mendapat hadiah kejutan. Semuanya ada lima pertanyaan, antara lain tentang macam keju belanda, berapa prosentase luas daratan dibanding perairan di Amsterdam, nama-nama diskotek terkenal di sana, dll. Emak hanya bisa menjawab tiga di antaranya. Hadiah berupa masing-masing sebotol minuman anggur diraih oleh dua orang wanita Jerman.
Tengah hari, kami telah berada di kota terbesar di Belanda ini. Pemandu menyampaikan tempat-tempat tujuan wisata utama di sana, diskotik-diskotek termasyur kota ini, serta tur tambahan dari Rainbow berupa keliling kanal dengan boot, keliling „daerah merah Amsterdam“, dll. Kita akan kembali pukul setengah dua belas malam. Bertemu di depan stasiun pusat, tempat kami diturunkan.
Di Amsterdam, mendung menyambut kedatangan kami. Sempat pula hujan rintik-rintik turun sejenak. Kami berfoto di depan ratusan sepeda parker di depan stasiun. Sembari memikirkan langkah-langkah berikutnya. Perjalanan ini dilakukan tanpa persiapan. Kami tak sempat meminjam buku panduan tentang Amsterdam atau menggali informasi lebih banyak tentangnya. Bekal kami hanya selembar peta foto kopian warna kuning dari pemandu bus. Isinya tentang beberapa obyek wisata. Peta inilah teman setia kami sehari di Amsterdam.
Meneliti peta edisi lebih lengkap Amsterdam, saya menyadari bahwa kami hanya berputar-putar di sekitar Centrum. Kami bergerak melewati Damrak, tempat grachten (boat) mangkal. Tawaran keliling kota dengan bus cukup menggiurkan. Harganya bervariasi. Termurah saat itu 5 euro per orang. Cuma mertua agak khawatir akan keamanan kami. Jadi hari itu kami putuskan untuk berjalan kaki saja semampu kami.
Di Damrak, selain banyak kafe, disko dan tempat makan ada pula beberapa agen wisata. Mereka menawarkan tur keliling kota hingga keluar kota. Ada pula tawaran untuk berwisata menikmati taman tulip di Lisse. Atau ke Vollendam, koat kecil favorit turis dimana pengunjung bisa berpose dengan baju khas nelayan Belanda.
Emak hanya ingat kami sempat melewati museum nasional, istana ratu, museum Madame Tussaud, pasar loak serta pasar bunga dan buah, serta museum Rembrandt. Kami sempat pula piknik di sebuah taman serta membeli bunga dan lumpia di Nieuwmarkt. Juga melalui daerah pusat makan dan tempat mirip pecinan. Kami tak menemukan kompleks daerah merah Amsterdam yang sangat termasyur itu. Sesekali kami berdiri di sisi satu jembatan memperhatikan grachten lalu lalang di atas kanal-kanal Amsterdam. Tak hanya boat-boat kecil pengangkut turis, di kanal-kanal kota ini juga seringkali terlihat perahu yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Bahkan penginapan.
Cuaca hari itu berselang-seling antara mendung, gerimis, dan cerah-hangat. Kami berteduh di dalam gedung toko atau tempat teduh lain saat hujan. Dan meneruskan perjalanan saat gerimis berhenti. Sorenya. Kami duduk-duduk lagi di bangku pinggir jalan di Damrak. Memperhatikan turis dan warga kota lalu lalang atau sedang ngetem di kafe-kafe. Mertua sangat terkesan akan warga kota yang suka sekali bersepeda. Meski dandanan mereka keren-keren. Beda dengan tanah air, komentar mereka. Di mana sepeda identik dengan masyarakat golongan menengah ke bawah.
Semakin gelap, kota ini terlihat semakin ramai. Di atas pukul sembilan malam, bukannya makin sepi. Malah makin ramai oleh kedatangan anak-anak muda. Mereka keluar dari stasiun kereta dan kendaraan umum. Menuju kafe dan disko-disko terkenal di sana. Tak mengherankan karena malam itu adalah malam Minggu.
Pukul sepuluh malam, kami sudah kehabisan energi untuk berjalan-jalan. Kami menunggu bus kembali di stasiun kereta. Terlalu dingin jika menunggu di luar ruangan. Mengelilingi stasiun dan melihat-lihat rute perjalanan kereta. Sebagian stasiun sedang direnovasi sehingga tertutup papan-papan dan bahan bangunan.
Tak lama kami berada di dalam stasiun. Selain bosan, stasiun sentral ternyata tak buka 24 jam. Mereka tutup menjelang tengah malam. Kami pun keluar gedung dan duduk-duduk di bangku di luar. Memperhatikan para sopir taksi datang dann pergi. Taksi-taksi Amsterdam tak seragam. Jenis dan mobilnya pun berbeda-beda. Mirip mobil pribadi ynag berfungsi sebagai taksi. Malam semakin dingin. Untunglah bus Rainbow tumpangan kami datang tak lama kemudian. Membawa kami kembali menuju Bremen.
[…] tipis. Harganya berbeda di tiap negara. Di Jerman, biasanya dijual antara 2 hingga 5 euro. Di Amsterdam, Zurich dan Kopenhagen harga minimalnya adalah 5 hingga 6 euro. Di Venezia, Strasburg dan […]
[…] selama tinggal di Jerman. Saat tinggal di Bremerhaven dulu, kami pernah naik bus ke Paris dan ke Amsterdam. Namun bus antar kota di dalam Jerman, hanya pernah mencoba angkutan bandara dari Frankfurt Hahn ke […]
[…] salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Dibandingkan dengan Berlin, Paris, Hamburg, Amsterdam dan Bruessel, kota terbesar di Swiss berpenduduk sekitar 365 ribu jiwa ini tak terlalu besar, namun […]