Jangan Ceritakan Semua yang Kau Lakukan pada Pembaca!

Saya suka membaca kisah perjalanan. Bukan hanya karena keharusan. Buku-buku koleksi pribadi di rumah, isinya kumpulan kisah perjalanan orang. Mayoritas dalam Bahasa Inggris. Bekas, beli di Amazon. Sesekali saya membaca kisah perjalanan di blog orang lain. Selain ingin ikut merasakan sensasi perjalanan mereka, saya ingin belajar tentang berbagai gaya penulisan.

Hari ini ketika ada yang memasang tautan di sebuah grup, tentang sebuah perjalanan, saya langsung meluncur. Bagian awalnya agak muter-muter. Baru kemudian cerita masuk ke kisah perjalanan utama. Kisah utamanya sangat detail. Gak hanya cerita kronologis dari A-B-C-D-E, dst., tapi A1, A2, A3, B1, B2, B3, dst. Capek dan akhirnya saya bosan, nyerah sampai kira-kira di tengah.

Setelahnya, saya malah kepikiran. Artikel tersebut ditulis di blog pribadi. Tentunya suka-suka penulisnya mau menulis sepanjang yang ia suka. Saya harusnya berterima kasih, karena ada pelajaran saya ambil dari sana.

Saya teringat kisah Jason Wilson dalam sebuah pengantar di buku The Best American Travel Writing 2000. Wilson menceritakan tentang tetangganya yang membuat video bulan madu yang sangat panjang dan membosankan. Mengapa? Karena terlalu detail.

Dalam salah satu bab buku The Travel Writer’s Handbook, Louise Purwin Zobel menulis kira-kira demikian:

Ketika kita menulis sebuah kisah perjalanan, sepertinya kita bisa terus dan terus menulis tentang petualangan kita, tanpa kehilangan waktu untuk riset dan menghabiskan waktu untuk menciptakan plot atau fokus. Kadang, itu menjadi masalah – kita tak bisa menahan gejolak untuk menceritakan segalanya. Setiap kita, pastinya merasa bahwa semua yang kita alami luar biasa. Sehingga, yakin bahwa dunia akan terpukau, kita merasa perlu untuk bercerita kepada pembaca, lebih dari yang mereka perlu/mau baca.

Zobel menambahkan:

Pembaca tak ingin tahu setiap langkah dalam perjalanan kita. Apa yang mereka inginkan adalah melihat perjalanan kita dari mata mereka, menikmati highlight dan memposisikan diri mereka sebagai pemeran utama. Cerita tentang kronologis perjalanan mungkin OK buat untuk ditulis dalam diary perjalanan. Namun pembacanya bakal terbatas.

Daripada menulis kisah perjalanan jam demi jam, hari demi hari, lebih baik menampilkan highlight saja. Tunjukkan beberapa hal terbaik, beberapa hal terburuk dalam perjalanan. Tunjukkan beberapa tempat biasa, beberapa tempat luar biasa, bukan secara kronologis.

Kalau saya perhatikan, kisah-kisah perjalanan di media massa berbahasa Inggris sangat panjang. Kalau di buku, satu cerita bisa puluhan halaman. Kalau di majalah mungkin jatuhnya bisa belasan halaman, yah. Jumlah karakternya saya taksir puluhan ribu karakter. Semuanya kisah perjalanan terbaik yang saya baca ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Panjang, detail, namun tak membosankan. Apa kuncinya?

Kata Zobel lagi:

Salah satu perbedaan antara kisah perjalanan pribadi layak cetak di media massa dengan cerita sejenis yang tak diinginkan editor, adalah pemilihan detail. Kisah yang layak muat memajang banyak detail, namun semuanya relevan, semuanya terhubung dengan tema utama, dan semuanya menarik. Sedangkan kisah yang tak layak muat detailnya lebay, tidak relevan, dan tidak menarik bagi pembaca.

Di media massa tanah air, ruang muatnya terbatas. Antara 2.500 – 9.000 karakter. Hanya beberapa media seperti Femina, Republika, Majalah Pesona, Parenting Indonesia lumayan royal. Bisa memuat hingga 12.000 – 15.000 karakter. Dengan terbatasnya ruang muat ini, bisa mengerem kita agar lebih bijak memilih detail yang ingin kita tampilkan. Detail menarik bagi pembaca.

Seperti perkataan ayah Jason Wilson, „If you go somewhere and you feel you have to tell people about it, pick out a few interesting things and leave the rest alone. Don’t just tell people everything. Don’t ever do that to people.“

12 Comments

  • hehe, jadi inget pas aku konsul sama mba dulu. bingung pas mau bikin reportase asean blogger 😀 mungkin karena terlalu banyak detail sehingga ga tau mau nulis mulai dari mana dan apa yang kira2 disukai pembaca 😀

  • bener mbak, kalau kita membuat tulisan panjang lebar dan mendetail bisa-bisa pembaca bosan ya, lebih baik menulis highlightnya ya selain mudah dipahami pembacapun juga tak mudah bosan, bahkan bisa jadi pembaca diajak serta berpetualang mencari ending sebenarnya dari tulisan itu.

  • Wah pas di Amsterdam kemarin aku ngeliat buku itu, Mbak. The Best American Travel Writing. Lupa tahunnya tapi ada edisi dua tahun berurutan seingetku. Menimbang-nimbang jadinya beli buku yg lain. Masih penasaran juga. Jadi pengen ke sana lagi hehe..
    Thanks for sharing ya. Iya emang kalau blog suka-suka yang punya aja ya. Walaupun sering belajar juga buat memilah-milah mana yg menarik dan perlu diceritakan dan mana yg tidak.

  • ira

    Aku koleksi seri The Best American Travel Writing, Cha. Tapi baru edisi pertama, tahun 2000 – 2009. Beli bekas dari Amazon. Biasanya cuma 1 sen. Yang mahal ongkir, 3 euro. Aku suka banget. Kadang aku baca berulang-ulang.
    Kalau aku malah nulis di blog irit banget infonya. Soalnya info lainnya dipakai bahan nulis untuk dijual. Sayang kalau info2nya diobral. hehehe

  • ira

    Kalau kita tahu karakteristik pembaca sebenarnya jadi lebih mudah memilah-milah bahan tulisan, La. Kalau nulis terlalu detail, kesannya malah tidak fokus, yah..:)

  • ira

    iya, Mbak Yuni. Menurut Zobel juga, nulis kisah perjalanan itu mirip nulis fiksi, lah. Punya plot juga, agar penulis bisa fokus ke satu tema utama. 🙂

  • ira

    Kalau di Belanda ada amazon.nl gak, Cha? Aku pakai amazon.de jadi barang2 ynag dijual biasanya bisa dikirim langsung ke jerman.

Leave a Reply

%d bloggers like this: