Kafe Masjid Agung Paris

Alhamdulillah, saat ke Paris kemarin, Emak sempat mengunjungi Masjid Agung Paris lagi. Kunjungan pertama buat Bapak dan anak-anak. Bapak-bapak anak lelaki ingin Jumatan di sana.

Masjid Agung Paris ukurannya lumayan luas. Ada tamannya pula. Bentuknya mirip masjid-masjid di Maroko. Di luar ada polisi menjaga. Bahkan sejak peristiwa penembakan di Charlie Hebdo belum terjadi, polisi selalu jaga-jaga setiap Jumat.

Rumah ibadah muslim satu ini berada di tengah-tengah permukiman padat penduduk. Ya, Paris emang rata-rata padat penduduk, yaks. Susah banget nyari tempat parkir mobil. Hari itu hari libur. Mungkin karena itu juga jamaah lebih banyak dari biasanya. Bapak-bapak menurunkan kami di samping masjid. Mereka mencari tempat parkir entah di mana.

Ada sedikit miskom saat itu. Sebelumnya kami sudah janjian, kalau bapak-bapak dah sampai masjid, jemput anak-anak. Bapak-bapak dah masuk masjid duluan. Setelah agak lama, baru anak-anak dijemput. Kami ibu-ibu menunggu di luar. Sebenarnya ada tempat salat khusus bagi muslimah. Melihat berjubelnya manusia hari itu, kami keder. Pilih menunggu di luar saja.

Menyaksikan suasana salat Jumat di masjid agung Paris, wuih, serasa bukan di Eropa, euy. Istimewanya, muslim Paris datang dari berbagai belahan bola dunia. Ada wajah-wajah muslim Asia. Tiap jarak beberapa meter ada pengemis. Kakek tua di atas kursi roda, lelaki buta di depan di dekat pintu gerbang, wanita tua, dan lelaki relatif muda dengan anaknya.

Wanitanya bersari dan berkerudung, pun yang bergamis hitam, lelaki dengan baju terusan lebar. Muslim dengan warna kulit berbeda. Mashaa Allah. Beda dengan masjid di Jerman yang biasanya didominasi oleh muslim dari negara tertentu.

Di Kafe Masjid

Menunggu di luar sambil berdiri dan kena angin, lama-lama kami menggigil. Emak mengajak ke kafe masjid. Letaknya masih satu kompleks dengan masjid. Kalau keluar masjid dari pintu gerbang utama, langsung belok kiri. Di pengkolan, belok kiri lagi. Pintu masuk kafe ada di sudut.

Dari luar kita tak bakal menyangka kalau kafe ini luas banget. Dan sangat ramai. Kami hanya berniat minum teh hangat. Seorang bapak menjaga mengkode kami agar masuk ke ruangan di sebelah kanan. Lewat penjual kue-kue manis. Untung langsung dapat meja.

Sup khas Maroko
Sup Harira enakSup Harira

Pengunjung kafe sebagian besar adalah warga Perancis yang mau makan siang. Kami masuk ke ruangan semi terbuka. Beratap namun sisinya dari plastik tebal transparan. Sebagian terbuka lebar. Meski begitu, kami merasa lebih hanya di sini.

Meski awalnya kami berniat cuma pesan minuman, Emak tergoda juga menghirup bau-bau harum makanan. Apalagi melihat daging dibakar menggoda selera. Kafe ini menjual bermacam makanan hangat dan berat dari daging. Mengingat kami sudah bawa bekal piknik dari rumah, Emak pilih makan sup yang ringan saja. Sup Harira Maroko yang kabarnya endang gulindang dan belum pernah Emak coba sebelumnya.

Meja kafe di tengah tempat duduk kami bagian atasnya mirip sebuah nampan lebar. Terbuat dari metal. Tak lama, pesanan teh manis hangat dan sup segera datang. Bau bakso menyebar.

“Kok kayak bakso baunya? Bikin tambah laper aja,” komentar Emak.

“Iya, ya Ra,” jawab Mbak Ita.

Semangkok besar sup Harira datang dengan potongan roti baguette. Serta sepotong jeruk sitrun. Huaaaaaa…. rotinya keras banget. Inget mama suka bilang gini kalau ada roti keras, “Iki gawe mbalang asu, kaing-kaing.” hehe

Roti keras itu bakal merontokkan gigi jika maksa nggigit. Jadi kudu dicelupin agak lama ke sup. Supnya sendiri, huenakkkkk. Rasa asam perasan air jeruk membuatnya terasa segar. Gurihnya pas. Ada potongan daging di dalamnya.

Menurut Wikipedia, sup Harira terkenal di Afrika utara. Utamanya Maroko. Ia dimakan sebagai takjil buka puasa. Bahan utamanya adalah kacang-kacangan seperti lentil dan chickpeas. Emak makan semangkok berdua dengan Embak. Dia juga suka banget. Cukup lah buat mengganjal perut dan menghangatkan badan kami.

Sebelum pulang, kami numpang pipis. Karena toilet di dekat konter manisan sedang ramai, seorang penjaga menyarankan kami ke toilet satu lagi di bawah. Lewat banyak sekali bangku-bangku kafe dan banyak orang. Di sini Emak baru sadar, bahwa kafe ini luas sekali. Bisa muat ratusan pelanggan. Pramusaji lelaki mondar-mandir membawa nampan makanan atau piring gelas kotor. Turun, Emak lewati dapur dan koridor keramik motif Maroko.

Sayangnya kafe seluas ini minim fasilitas toilet. Antrian panjang kembali terjadi. Toilet wanita ada dua. Di atas dan satu di bawah sini. Emak bercerita pada Bapak tentang makanan lezat yang kami nikmati.

“In shaa Allah kapan-kapan kita balik dna makan di sini, yah,” kata beliau.

***

 Masjid Agung Paris

2bis Place du Puits de l’Ermite, 75005 Paris, France

8 Comments

  • Jadi ngecess pengen nyobain sup harira… *kapan sih gak ngecess kalo denger tentang makanan 😀

    Pengen banget bisa ngerasain sholat di masjid di negara yang penduduknya bukan mayoritas beragam Islam. Pengeeeeen banget!

  • ira

    @Mbak Dee An: Menurutku supnya emang enakkk banget, Mbak. Mungkin karena waktu itu udara sedang dingin dna perut kami lapar berat. Jadinya perpaduan yang pas. hehe.

  • Aku seneng baca cerita ini. Terutama bagian masjidnya. Selalu merasa takjub kalau ada masjid di negeri yang Islamnya minoritas tapi jamaahnya ramai. Nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata rasanya.

    Roti supnya keras ya. Berapa lama sampai rotinya jadi lembut mbak?

  • ira

    @Mbak Katerina: memang yang kayak gini ini bikin bahagia, Mbak Rien. Apalagi kalau sudah merasakannya di tanah suci, yah. Pasti lebih dasyat rasanya. 🙂 Roti kerasnya dicelup agak lama. Setengah menitan kali, Mbak. Sebelum ia bisa nyaman digigit. 🙂

  • ira

    @Zulfa: Alhamdulillah… moga2 wae aman nang endhi2, ya… Yup, sup Harira wajib coba, tuh.. enyakkkk.. 🙂

Leave a Reply

%d bloggers like this: