Perjalanan menuju Indonesia lancar saja. Mulai dari imigrasi Malaysia, cek keamanan, di dalam pesawat, lewat imigrasi bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, Riau. Kakak ipar menjemput kami kira-kira setengah jam setelah kedatangan. Bapak sempat kebingungan hendak membeli kartu perdana di bandara. Sedangkan wartel setempat sudah bubar.
Jalanan sepanjang Pekanbaru – Ujungbatu rasanya jauh lebih ramai dibanding 3 tahun lampau. Kanan kirinya makin meriah oleh ruko. Banyak sekali pemilik properti tepi jalan mengubahnya menjadi rumah toko ini. Bentuknya juga mirip. Ruko-ruko Pekanbaru lebih jangkung. Lebar jalan masih segitu-segitu saja. Tak sebanding dengan kendaraan roda empatnya. Kondisinya juga masih sama. Ada yang mulus. Ada yg rusak berat.
Kakak ipar mengajak kami semua mampir di warung sate Padang dulu. Langganan beliau ketika anak-anak bersekolah tak jauh dari daerah tersebut. Potongan satenya kecil-kecil. Ditusuk dengan lidi. Seporsi berisi empat sate daging ayam, lontong dan kuah kuning. Disajikan di piring beralas kertas makanan. Kuahnya pedas. Anak-anak belum terbiasa memakannya, tak doyan.
Di rumah Kakak ipar sekali lagi kami disambut sate. Kali ini Sate Padang Pariaman. Kata beliau, bumbunya lebih mantap. Beliau tak memasak sendiri. Pesan pada tukang sate langganan. Kuahnya lebih kental. Warna merah cabe pun lebih dominan. Kami makan bersama dengan krupuk ubi raksasa.
Krisis energi masih saja terjadi di kampung halaman Bapak. Listrik byar pet. Sehari nyala, semalaman padam. Tak jauh beda dengan kondisi tiga tahun lalu. Ketiadaan listrik jadi cobaan bagi kami. Terutama di malam hari. banyaknya nyamuk dan tanpa kipas angin, membuat mereka susah memejamkan mata.
Desa tempat tinggal mertua, sekitar 3 jam dari Pekanbaru, bisa dikategorikan kota besar di Eropa. Penduduknya mencapai 300 ribu jiwa. Akan tetapi pra sarana dan sarana jauh berbeda. Saluran air hampir tak berfungsi. Sampah dimana-mana. Belum ada pengolahan sampah terpadu. Yang ada setiap rumah tangga membakar sampah masing-masing. Mana sampah plastik merajalela. Untuk sementara, kami pilih tutup mata sejenak. menikmati silaturahmi keluarga dan makan sambal sepuasnya. hehe
Beda jauh dengan negar eropa ya Mak?begitulah potret negeri kita indonesia