Rindu selalu datang setiap kali saya mengingat tanah kelahiran. Dulu, saat masih tinggal di sana rasanya biasa saja. Kini, setelah berjarak, ia begitu istimewa. Waktu mudik yang singkat selalu saya gunakan sebaiknya untuk menjelajahinya. Jember, tempat orang tua dan handai taulan bersisa.
Pembangunan fisik Jember sangat pesat. Setiap kali pulang kampung, selalu saya pangling menatapnya. Gedung-gedung baru bermunculan. Pilihan tempat belanja semakin banyak. Jalan raya penuh kuda besi. Kini ia sudah punya bandara. Memudahkan kami menuju Surabaya.
Teringat masa kecil dahulu. Kami tinggal di perumahan dikelilingi sawah. Yang juga menjadi tempat bermain kami, selain sungai belakang rumah. Jika mau mandi di sungai, saya dan teman-teman berjalan sekira satu kilometer ke Kali Bedadung. Sungainya warga Jember, yang di masa kecil dulu alirannya deras serta bening.
Rembangan salah satu tempat refreshing warga kota. Berlokasi di kaki Gunung Argopuro, 12 km ke arah utara kota. Dalam perjalanan menuju ke sana, kita akan disuguhi lahan hijau: sawah dan ladang penduduk. Buah Naga ramai ditanam orang saat ini. Malam hari di Rembangan, kita bisa menyaksikan kelap-kelip lampu Jember di bawah sana. Sejak kecil, saya suka diajak kemari. Berenang di kolam yang airnya langsung mengucur dari sebuah mata air. Segar.
Bagi saya, Jember sangat nyaman ditinggali. Hawanya sedang. Tak terlalu panas atau dingin. Mungkin karena ia tak jauh dari pantai, gunung ada dalam jarak pandangan mata. Gunung Argopuro dan Raung terlihat begitu dekat. Sehingga waktu kecil saya pernah mengajak para sepupu berjalan menuju Argopuro. Tanpa bekal. Setelah berjam-jam berjalan, kami ditemukan seorang wanita penduduk desa, yang mengantar kami pulang.
Kota tape, atau kota santri julukan kota kami. Tape, dari singkong, berwarna kuning selalu jadi buah tangan saya buat teman-teman kos di Surabaya. „Manis,“ komentar mereka. Julukan kota santri kami dapat karena banyaknya jumlah pondok pesantren Jember.
Wisata Pantai
Jember memiliki garis pantai sepanjang 170 km di pantai selatan Jawa. Membentang dari Bande Alit di timur hingga Paseban di barat. Menjadikannya sebagai destinasi wisata pantai penduduk lokal maupun manca. Bande Alit, Watu Ulo, Papuma, dan Pancer Puger (penduduk lokal menyebutnya Puger) sudah dikenal orang sejak lama.
Bande Alit berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Namanya suka disebut teman pecinta alam. Di sini selain berselancar, orang bisa mengunjungi penangkaran rusa dan aneka anggrek.
Sedangkan Puger lebih dikenal sebagai tempat pelelangan ikan. Ikan ingin beli ikan murah dan segar, mama mengajak ke Puger. Aktivitas nelayan melaut atau pulang dari laut, deretan perahu berwarna terang di tepian pantai, serta tawar menawar ikan segar jadi atraksi menarik bagi pengunjung. Dari Puger pula, orang menyewa perahu untuk bertandang ke Pulau Nusa Barong. Oh ya, selain ikan, jangan lupa beli terasi Puger yang terkenal enak!
Pantai Watu Ulo dan Papuma letaknya bersebelahan. Ia berada di Kecamatan Wuluhan, kira-kira 45 km arah selatan Jember. Kendaraan umum ada hingga kecamatan Ambulu. Disambung ojek menuju kedua pantai.
Kedua pantai tersebut ramai di akhir minggu atau hari libur nasional. Di hari biasa, kita bisa menikmati pantai sendirian. Saya juga datang ketika Papuma sedang lengang.
Suasana pedesaan semakin terasa ketika kami mendekati pantai. Pepohonan rimbun memagari tepian jalan. Seperti bulevar indah di Eropa. Petani bekerja di sawah. Tak jarang kami melalui ladang tembakau, komiditi andalan Jember. Sesekali mobil tumpangan menyalip motor bermuatan batang jagung atau sayuran segar. Si musim panas, daun jati kering dan meranggas.
Pantai Papuma bersembunyi di balik perbukitan, setelah melewati jalanan mendaki, sampailah kami di pantai panjang berpasir putih. Vihara Sri Wulan berdiri tepat di kiri jalan, saat kami baru masuk kompleks wisata Papuma. Menara merah delapan tingkat mencuri pandangan. Rindang sekali pepohonan di sekitarnya. Serut, gebang, kleben menaungi kami dari sengatan mentari. Kami langsung ke arah Siti Hinggil.
Siti Hinggil, bukit kecil di antara dua pantai: Pasir Putih dan Malikan. Papuma merupakan kependekan dari Pasir Putih Malikan. Dari atas tebing Siti Hinggil, Gunung Kajang, batu menyerupai gunung karang mini, ikon Papuma, terlihat jelas.
Saya mendaki ke Siti Hinggil melalui undakan. Di kanan kirinya daun-daun kering bertumpuk. Serasa musim gugur di Eropa minus dingin. Gunung Kajang digempur ombak dari segala penjuru. Deburan ombaknya terdengar setiap saat. Langit agak mendung.
Kami bermain pasir sebentar di Pantai Pasir Putih. Hanya satu dua pengunjung selain kami. Nelayan yang katanya melaut setiap sore pun tidak kelihatan. Saya hanya bertemu satu orang. Sedang menjahit jala di di bawah sebatang pohon. Deretan jukung warna-warni terombang-ambing, terseret ombak hingga berpuluh meter di permukaan laut.
Dari sana, kami ke Pantai Malikan. Ternyata di sini lebih ramai. Serombongan fotografer sedang berburu foto. Pantai ini berbatu berukuran besar. Ada yang semeja. Anak-anak senang berloncatan dari batu ke batu. Di pinggir batuan tumbuh pandan laut yang sedang berbuah. Daunnya mirip pandan, namun lebih lebar. Pohonnya bisa mencapai 3 meter. Di belakang deretan pandan, pepohonan makin rimbun. Kera-kera berloncatan riang.
Jember Fashion Carnaval
Saya tak menyangka, setelah tinggal jauh dari kampung halaman, Jember berkembang menjadi salah satu ikon fashion di tanah air. Kini, Jember Fashion Carnaval (JFC), ditonton tak hanya warga Jember. Namun juga dari kota-kota lain di Indonesia dan manca negara. Situs Indonesia.Travel bahkan menyebutnya sebagai salah satu karnaval terbesar dan termegah di Indonesia
Adalah Dynand Fariz, penggagas visioner JFC, yang sejak awal berjuang agar JFC diterima oleh masyarakat Jember sendiri. Beliau mendirikan Rumah Mode Dynand Fariz tahun 1998. Setelah dua tahun berturut-turut mengadakan pekan mode bagi karyawannya sendiri, Jember Fashion Carnaval resmi diselenggarakan pertama kali pada 1 Januari 2003, bertepatan dengan hari lahir kota Jember.
Kegigihan Dynand Fariz melakukan riset bersama tim kreatifnya semakin menampakkan hasil gemilang. Semakin lama, jumlah peserta dan penonton semakin bertambah. Ia diakui sebagai karnaval berstandar internasional. Tahun 2014, tujuh propinsi yang tergabung dalam Asosiasi Karnaval Indonesia ikut meramaikan acara.
Peserta JFC kids direkrut dari sekolah-sekolah. Peserta umum dari promosi dan audisi. Mereka belajar mendesain, membuat kostum dari bahan daur ulang, dan memperagakannya di depan khalayak. Tim kreatif JFC mendesain kostum berdasarkan hasil riset di seantero dunia fashion, mengambil unsur-unsur alam dan budaya Indonesia dan dunia.
Tak ada yang sederhana, baik dari riasan maupun kostum peserta JFC. Semua terlihat penuh warna, dramatis, dan spektakuler. Ornamen berupa mahkota mirip tanduk rusa, sayap raksasa, lengan berumbai, manik-manik di seluruh permukaan busana memukau penonton. Dalam acara Grand Carnaval, peserta dibagi menjadi beberapa defile. Setiap defile mengusung tema tertentu. Para peserta berjalan sambil menari di catwalk sepanjang 3,6 km. Dari Alun-Alun menuju Gedung Olah Raga. Di hadapan puluhan ribu pemirsa langsung.
Olahan Tape
Meskipun Jember bukan satu-satunya kota penghasil tape di Jawa Timur, ia punya keunikan. Tape singkong manis ini oleh warga Jember diolah menjadi bermacam penganan. Ada yang bernama suwar-suwir alias permen tape. Bentuknya persegi seukuran jempol berbungkus kertas minyak. Rasanya manis asam.
Satu lagi adalah Prol Tape. Kue basah berbentuk cake bertabur keju parut. Rasa asam manis dari tapenya terasa legit. Ia bisa dibeli di beberapa toko kue dan roti di Jember. Varian baru olahan tape adalah brownies tape.
Musik Patrol
Jauh sebelum JFC berlangsung, Jember sudah punya budaya musik tradisional patrol. Alat musiknya terbuat dari kayu berongga berbagai ukuran. Mirip kentongan. Alat musik ketuk yang asalnya untuk memanggil merpati, kemudian memiliki ritme sendiri.
Dulu di bulan ramadan, orang memainkan musik patrol untuk menandai waktu sahur. Malam takbiran, para pemusik patrol memainkannya di atas truk atau mobil dengan bak terbuka. Meski hampir punah, setiap tahun Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember menyelenggarakan Carnival Music Patrol.
Cokelat Buatan Jember
Di jalan raya menuju Pantai Papuma, tepatnya di daerah Jenggawah, ada belokan menuju Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Berdiri di antara kebun kakao dan karet, di sini juga berdiri pabrik cokelat. Pengunjung diajak menyaksikan langsung pembuatannya: mulai dari penghalusan biji kakao kering, pengayakan, pencampuran susu dan gula, pencetakan, dan pengemasan.
Wisata kriya yang tak memungut biaya masuk ini cocok buat anak-anak sekolah. Pengunjung bisa mencicipi cokelat yang baru diproses dan membeli beberapa produk jadi di koperasinya.
Iku pas nang Argopuro Nek nggak ketemu ibu, gimana nasibnya? Seneng yo mbak, Jember iku lengkap pantai sampai gunung.
Mbuhhh piye, Zulfa. Qadarullah isih ketemu wong apik nang ndalan.
Salam kenal,saya Dita dari Jember (juga) …. Saya baru tau kalau mbak orang Jember … Padahal saya sering membaca blog nya mbak awal gara gara cari literatur tentang wisata di bosnia
@Dita: aihhh senangnya ketemu sesama teman sekampung halaman. Terima kasih apresiasinya, yah.