Aktivitas vulkanisme membentuk kepulauan kecil di utara Lautan Atlantik, antara Islandia dan Britania Raya. Delapan belas pulau mini berpenduduk jarang ini bukan destinasi wisata yang ramai. Namun bukan berarti ia tak layak dikunjungi.
Saya dan keluarga mampir dua kali di Kepulauan Faroe ketika melakukan wisata kapal pesiar Oktober lalu. Kepulauan ini merupakan wilayah otonomi, di bawah Kerajaan Denmark. Sangat jarang maskapai penerbangan terbang kemari. Jalur laut satu-satunya berangkat dari pelabuhan Hirtshals di Denmark.
Dari 18 pulau mini, saya hanya sempat mengunjungi dua: Streymoy dan Eysturoy. Berkeliling beberapa jam menggunakan mobil. Beberapa pulau dihubungkan oleh jembatan dan terowongan bawah laut. Sedangkan pulau lainnya hanya bisa dicapai dengan kapal feri. Jalan raya di Faroe mulus dan sepi kendaraan. Jika digabungkan, luas keseluruhan pulaunya hampir sama dengan 3 kali luas Balikpapan. Dengan penduduk kurang dari setengah juta jiwa.
Turis yang datang ke Kepulauan Faroe biasanya memilih wisata alam. Dan sebagian besar datang di musim panas. Ketika cuaca lebih hangat dan bersahabat. Aktivitas yang mereka lakukan antara lain: hiking, lompat pulau dengan menggunakan boat, memancing, serta bird watching. Air dan udara Faroe bebas polusi. Air di sungainya bisa langsung diminum.
Baca juga: Cruising North Atlantic
Langit mendung dan angin kencang menerpa saat kapal tumpangan pertama kali berlabuh di Pelabuhan Torshavn, ibukota Kepulauan Faroe. Deru angin terdengar sampai ke dalam kendaraan. Kami menyusuri tepian timur Streymoy menuju desa kecil Gjogv di ujung utara Eysturoy. Satu sisi jalan laut, sisi lainnya perbukitan. Sangat kontras. Sesekali muncul air terjun kecil dari gletser. Sebagian puncak perbukitan tertutup salju.
Pulau-pulau Faroe terlihat hijau. Rumput tumbuh subur. Tapi pepohonan tinggi dan hutan tak kelihatan sama sekali. Kami melewati beberapa fjord, laut yang menjorok ke daratan. Mirip teluk tapi sangat panjang. Sesekali kami berhenti di tepi jalan untuk memotret.
Rasanya tak ada kota besar di sini. Hanya desa atau kampung terdiri dari beberapa rumah. Karena sebagian besar desa atau kota di tepi laut, selalu ada pelabuhan kecil. Rumah-rumah di Faroe unik. Catnya berwarna cerah seperti merah terang, hijau, atau biru. Sebagian menggunakan atap rumput. Ya, bagian atas rumahnya ditutup tanah dan ditanami rumput.
Dari kota kecil Eidi ke Gjogv, kami lalui jalan pegunungan mengular. Sempit, dan lewat peternakan penuh kambing. Konon jumlah kambing di Faroe lebih banyak dibanding jumlah manusianya. Kambing dibiarkan merumput sendiri bahkan mereka berkumpul di pinggir jalan. Pengendara mobil harus hati-hati. Jika menabrak kambing, dendanya sangat besar.
Gjogv tipikal sebuah desa di Faroe. Terdiri dari beberapa puluh rumah kayu bercat warna-warni. Satu sisi menghadap Atlantik. Latar belakangnya gunung. Sebuah sungai bening membelah desa. Kami berjalan sebentar hingga sampai di sebuah teluk sempit di antara dua tebing. Beberapa kayu kecil tertambat dekat undakan. Indah.
Kembali ke Torshavn, kami memarkir kendaraan di dekat pelabuhan. Yacht kecil dan perahu nelayan parkir berjajar. Kami berjalan kaki mengelilingi Tinganes. Ia adalah kota tua Torshavn, dimana gudang-gudang bersejarah berdiri. Lagi kami disapa oleh deretan gedung-gedung bertembok kayu dan beratap rumput.
Rumah-rumah di Tinganes didominasi warna merah. Beberapa turis tampak berkeliling menenteng kamera. Kami berjalan melewati gang-gang sempit yang jalannya terbuat dari potongan batu alam. Rumah tertua di sini berasal dari abad 13 dan 17. Bangunan-bangunan besar saat ini digunakan sebagai bank, perkantoran, atau gedung pemerintahan.
Berjalan hingga ke pusat kota Torshavn, ia terlihat sepi. Toko-toko sudah tutup sebagian. Tak banyak toko besar. Apalagi pusat perbelanjaan besar. Kami berjalan sampai ke sebuah taman sebelum memutuskan kembali ke kapal.
Kesempatan kedua datang ke Faroe, cuaca lebih bersahabat. Kali ini kami berkendara hingga Vestmanna. Kembali kami lewati jalan pegunungan di atas sebuah tebing di sisi barat Streymoy.
Vestmanna terlihat agak ramai. Kami berhenti di ketinggian, memotret rumah-rumah di bawahnya. Pelabuhannya sepi. Hanya satu dua kapal sedang berlayar. Vestmanna dan sebuah desa kecil yang kami kunjungi setelahnya, Leynar, adalah spot whaling. Daerah penangkapan ikan paus. Penduduk lokal menyebutnya Grindadrap. Tradisi yang telah berlangsung lebih seribu tahun lamanya.
Rata-rata seribu ikan paus digiring ke teluk-teluk untuk kemudian dijagal. Dagingnya dibagikan ke seluruh penduduk Faroe. Penangkapan mamalia ini berlangsung sepanjang tahun. Paling sering antara Juli – Agustus. Leynar punya pantai berpasir putih dan beberapa rumah. Di sebuah foto internet, pantai yang sama berwarna merah. Tertutup darah ikan-ikan paus.
***
Baca juga: Danau Nyamuk Islandia
Mak Ira, lihat fotonya bikin saya serasa berada di negeri dongeng. Alamnya indah dan rumah-rumahnya cantik. Mestinya tempat macam demikian membuat Mak Ira bisa menolis novel fantasi, he he.
Saya selalu bingung dengan arti fjord, pernah baca itu entah di mana. Dan setelah baca penjelasan Mak Ira dan fotonya saya jadi paham. Oke, fjord, kapan saya bisa lihat itu secara lngsung, ya? 🙂
@Rohyati Sofjan: hihihihi, udah lama saya pengen belajar nulis fiksi. Paling nggak cerpen. Cumak, belum bisa menyisihkan waktunya. Inshaa Allah Mbak bisa melihat fjord secara langsung.
Anda beruntung krn jarang org Indonesia yg bisa jln2 ke wilayah lautan antlantic utara.mirip negri dongeng.trims tlah berbagi info.
@Rhein Aishwarya: Terima kasih juga telah mampir…
Kemarin liat akun selebgram Singapura yang ketahuan pakai foto nyolong, salah satunya foto Faroe ini. Ya allah bagus banget. Semogalah nanti bisa sampe sana walaupun kayaknya mahal hehe
Wah daerah lautan atlantik ya, dingin banget ya tempatnya. Masih bingung aku, kok atap rumahnya dikasih rumput ya?
[…] Baca juga: Kepulauan Faroe, Di Kesunyian Atlantik Utara […]