Negara-negara Baltik memang bukan tujuan wisata utama di Eropa. Termasuk pula kota Tallinn, Estonia. Walau demikian bukan berarti tak ada hal menarik di kota ini. Suasana abad pertengahan masih kental di kota ini. Hingga kini.
Perjalanan kami sekeluarga di Tallinn, diawali dengan kunjungan ke masjid setempat. Lokasinya tak sampai setengah kilometer dari bandara. Berjalan kaki di suatu hari berangin, sampailah kami di gedung bertuliskan Turath Islamic Cultural Center, masjid setempat. Gedung berwarna biru ini sekilas lebih mirip gedung perkantoran atau apartemen dibanding sebuah masjid.
Alhamdulillah kami sempat bertemu dan berbincang dengan dua saudara seiman, Imran dan Muhammad. Kami jadi tahu bahwa pemeluk Islam berkembang pesat di Estonia. Bisa dilihat dari jumlah jamaah saat sholat Jumat. Bertahun sebelumnya, jumlah jamaahnya dua tiga orang saja. Terakhir bisa mencapai seratus orang lebih, kata mereka berdua. Muslim Estonia terdiri dari orang Tatar, penduduk asli Estonia dan pendatang dari Timur Tengah. Gedung tersebut sudah menjadi hak milik. Selain tempat sholat isinya berupa tempat tinggal imam, ruang komputer ruang belajar hingga toko daging halal.
Mulai terbentuk sekitar abad 11, Estonia, termasuk Tallinn sempat dikuasai Kerajaan Denmark berabad lamanya. Para pedagang asal Jerman, disebut Orden Jerman, menanamkan pengaruhnya di sini sangat lama. Hingga tahun 1889, bahasa resmi Tallinn adalah bahasa Jerman. Orden Jerman adalah sebuah kongsi perdagangan besar, dan menguasai perairan Baltik serta Laut Utara sekitar Skandinavia. Tahun 1561, Tallinn jatuh ke tangan Swedia. Sebelum akhirnya dikuasai Rusia antara tahun 1710 dan 1918. Rusia kembali menjajah Estonia saat perang dunia kedua tahun 1944 sampai 1991. Tahun 2004, Estonia bergabung dengan Uni Eropa.
Dua Bagian Kota Tua
Biasanya kota tua Eropa terdiri satu bagian inti. Kota tua Tallinn punya dua. Kota Atas (Domberg/Toompea) dan Kota Bawah. Kedua punya otonomi masing-masing. Domberg berada 48 meter di atas Kota Bawah. Dulunya dihuni oleh uskup, perwakilan penguasa, Orden Jerman, dan para ksatria. Kini masih menjadi lokasi kantor pusat pemerintahan Estonia. Di Kota Bawah hidup sebagian besar rakyat, pengrajin dan para pedagang biasa. Beruntung ibu kota Estonia ini relatif utuh setelah perang dunia II. Kedua bagian kota tua masuk dalam warisan budaya Unesco sejak tahun 1997.

Kami menginap di dalam kota tua. Tepatnya di Kota Bawah, tak jauh juga dari Domberg. Hingga hampir semua bagiannya bisa kami jelajahi dengan leluasa. Tapi temperatur di Tallinn di bulan April bagai musim dingin di Jerman. Angin laut sedingin es masih kerap menerpa. Dengan dua anak kecil, kami tak bisa berlama-lama berada di luar rungan. Sesekali mencari kehangatan di dalam supermarket atau pusat perbelanjaan.
Pusat Kota Bawah adalah Raekoja plats atau lapangan balai kota. Dulunya merupakan tempat pertemuan dan perdagangan. Sekarang masih menjadi deretan pertokoan dan kafe. Ketika kami sedang menikmati suasana, seorang pemuda pengemis berkeliling meminta uang sambil menunjukkan selembar kertas. Katanya, dia butuh uang karena kecanduan alkohol. Memprihatinkan.
Gedung balai kota bergaya gotik di Raekoja plats sudah mulai berdiri di abad 13. Uniknya di sini berdiri pula salah satu apotik tertua di Eropa yang masih berfungsi, Raeapteek. Keluarga Johann Burchart asal Hungaria menyewa gedung apotik itu sejak abad 16 dan menggunakannya turun temurun selama sekitar 300 tahun lamanya.
Atraksi wisata utama di kota bawah adalah tembok kota tua beserta menara-menaranya. Mulai abad pertengahan, Tallinn merupakan salah satu kota dengan pertahanan terbaik di Laut Timur Eropa. Tembok kota tua dulunya punya panjang 2,35 km, tinggi 13-16 m, setebal 2-3 m serta punya lebih dari 40 menara. Terbuat dari bebatuan alam. Saat ini tersisa 1,85 km dan 26 menara. Menara terbesar dijuluki “Si Gendut Margarethe”. Ketika baru dibangun, ia berdiri dekat sekali dengan pantai, sehingga menara batu ini seringkali dihantam ombak saat badai.
Gerbang bermenara terkenal lainnya adalah Viru dan Kiek in de Kök. Viru adalah tempat masuk kota dari daerah modern Tallinn. Masuk kesini bagai memasuki masa silam tanpa mesin waktu. Di satu sisi adalah gedung-gedung penuh kaca nan modern. Sisi lainnya bagian kota dengan bangunan berabad usianya.
Viru adalah obyek foto favorit para turis. Setiap kali lewat sana, kami lihat kerumunanan orang. Sedang memotret ataupun dipotret. Dari gerbang Viru, jangan lewatkan untuk masuk Müürivahe, menyusuri tembok besar dan berbelok ke Katariina käik, jalan kecil tempat para pengrajin menjual aneka pernik seperti kerajianan dari kaca, keramik, perhiasan, hingga sutera. Tempat ini bagai studio terbuka. Pengunjung bisa melihat beberapa pengrajin bekerja di toko masing-masing.
Kiek in de Kök adalah sebutan menara lain dalam bahasa jerman. Berarti melihat dari dapur. Bangunan setinggi 38 meter ini bisa di dilihat di dapur penduduk di jaman dahulu. Di dibangun di abad 15, berdiameter 17 m.

Butuh stamina prima untuk naik ke Kota Atas. Seperti istana benteng jaman kuno Eropa lainnya, para pengunjung jalan kaki seperti kami mesti melalui tanjakan yang membuat napas tersengal-sengal. Jalannya terbuat dari batu alam. Berkali kami berhenti untuk menarik napas panjang. Para turis sudah mulai ramai di pukul sepuluh pagi. Penjual lukisan mulai memajang dagangannya.
Tepat di ujung tanjakan, berdiri megah highlight Kota Atas. Yakni Katedral Alexander-Nevsky. Gereja Ortodoks Rusia ini sekilas akan mirip sebuah masjid agung. Dengan kubah-kubah berwarna hitam. Dibangun tahun 1900 saat Kekaisaran Tsar masih berkuasa di Rusia. Sebagai lambang dominasi keagamaan dan politik Rusia di Baltik.
Di bagian atas Tallinn ini ada beberapa titik di mana orang bisa menyaksikan keindahan Kota Bawah hingga ke pelabuhan. Sungguh menawan. Yang terlihat paling tinggi di Kota Bawah adalah menara gereja St. Olav. Berwarna hijau. Di abad 14 masehi, gereja bergaya gotik bermenara setinggi 159 meter ini merupakan bangunan tertinggi di dunia.
Suasana Abad Pertengahan
Suasana abad pertengahan di kota ini terasa ketika kami memasuki gerbang kota tua, Gerbang Viru. Mulai terlihat gedung-gedung tua di dalam kota tua yang dikelilingi tembok batu tebal, sebuah ciri kota abad pertengahan di Eropa. Di bagian depan pintu toko atau rumah banyak orang memasang obor atau lampu berbahan bakar minyak. Membuat sebagian temboknya hitam oleh jelaga. Jalannya terbuat dari batu alam. Konon, semua gedung pemerintahan dan gereja-gereja masih berada dalam bentuk orisinil dari abad 11 hingga 15 masehi. Juga banyak gudang serta perumahan tua milik penduduknya.
Tak hanya bangunan yang membuat suasana masa lampau terasa, beberapa aktivitas membuatnya suasana masa silam makin kental. Beberapa orang lalu lalang dengan menggunakan baju kuno misalnya. Mereka mempromosikan kegiatan budaya, membagi-bagikan selebaran, atau menjadi penjaga sebuah rumah makan bernuansa abad pertengahan. Di depan gedung-gedung tua banyak kami temui lampu-lampu minyak atau obor. Tulisannya terlihat sangat kuno. Hiasannnya pun demikian. Di beberapa sudut kami temukan orang-orang menjual penganan dengan bumbu spesial. Di satu tempat ada seorang anak muda mendemonstrasikan pembuatan koin kuno.
Yang paling menonjol adalah sebuah rumah makan tua bernama Olde Hansa. Selain menempati gedung tua serta aksesoris kuno, menunya pun berasal dari jaman beheula. Sungguh kagum saya akan kemampuan mereka mempertahankan ciri khas masa lampau hingga jaman modern seperti sekarang ini. Sayang sekali sebab terbatasnya waktu serta dinginnya cuaca, membuat kami tak bisa merekam suasananya lebih banyak lagi. Namun semuanya memberikan pelajaran, bahwa jika mau, kita masih bisa mempertahankan tradisi di tengah perubahan jaman yang sangat cepat di masa kini.
Memang jarang turis ke Estonia. Padahal bagus juga dengan bangunan peradaban kayak gini cuman kalah pamor aja ama negara tetangga 🙂
Bangunan Rusia dimanapun mirip mirip mbak ya, Katedral itu mirip ikon kota moscow. Dengan menara kuba kayak kuncup bawang
@Zulfa: he-eh… akeh daerah apik, karena kurang promo dadi sepi. Nanging aku seneng seh nang nggen2 koyok ngene. Gak perlu uyel2an, trus rego2 isih cenderung murah. 🙂
La iku mbak sing digolek i, Mlaku mlaku luweh leluasa :))
@Zulfa: yoii..
Usia apotik Raeapteek sudah tua sekali ya mbak. Masih berfungsi sebagai apotik?
@Mbak Katerina: Masih, Mbak..