Sampai di Plovdiv, sebenarnya keluarga pelancong sudah kehilangan gairah untuk mengeksplor kota. Kami baru sampai di kota ini pukul dua siang. Telat empat jam dari jadwal kami sebelumnya. Dan rencana kami semula, sebelum pukul lima sudah bakal naik kereta menuju Sofia.
Yap, mogoknya kereta api yang kami tumpangi dari Sofia menuju Polvdiv menjadikan jadwal kami berantakan seketika. Sehingga kami putuskan memundurkan jadwal kepulangan. Tiket kereta api balik kami ke Sofia, bebas jamnya. Tapi kami kudu verifikasi dulu di stasiun sebelum menggunakan tiket tersebut.
Sebagai tambahan kehebohan hari itu, kami tidak punya peta kota Plovdiv yang bagus. Hanya berbekal peta di buku panduan yang tidak terlalu jelas. Tapi lumayanlah buat pedoman.
Daaannnn, pusat kota Plovdiv, pusat budaya sekaligus lokasi situs wisata utamanya ternyata agak juah dari stasiun kereta api pusat. Jalan kaki agak cepat, kami butuh 15 – 20 menit.
Dari depan stasiun kereta, kami menyusuri Jalan Avksentiy Veleshki. Menembus sebuah taman dengan Singing Fountain, sebelum sampai di sebuah lapangan luas. Hari sedang terik, tapi tidak panas. Sebuah monumen kotak dengan uliran baja di tengahnya berdiri di lapangan tesebut. Anak-anak muda duduk-duduk. Karena luas, tempat ini kelihatan sepi.
Kami pun melanjutkan perjalanan kaki ke pusat kota. Berjalan agak cepat. Paling nggak, bisa mengunjungi satu dua landmark kota, rasanya sudah beruntung.
Kota Plovdiv, kota terbesar kedua di #Bulgaria, surprisingly cakep. Emak tak memiliki harapan berlebih akan kota. Paling-paling mirip Sofia yang crowded, gede. Plovdiv lebih berkarakter. Cantik. Ada dua bagian kota: kota tua, dan kota baru.
Kota Baru Plovdiv
Di kota baru, kami menyusuri Jalan Knyaz Alexander I. Sebuah jalan #chic. Di ujungnya artis-artis jalan menjual lukisan. Pedagang buku bekas berderet-deret. Jalan ini, sebuah #shopping street cantik. Gedungnya berarsitektur gaya barock. Warna-warna pastel nan lembut. Seperti gedung-gedung di kota #Karlovy Vary atau Carlsbad di Republik Ceko.
Walau beberapa bagian tampak tidak terurus atau kondisinya agak rusak, berjalan di sini tidak membosankan. Emak tak henti-hentinya berhenti untuk memotret dalam merekam suasananya dalam video. Pemusik jalanan, kios penjual bunga, karya-karya seni patung yang unik, membuatnya lebih hidup. Di sebuah taman kecil, orang beserta anak-anak duduk, bercengkrama sembari melihat air muncrat. Aneka bentuk usaha: toko, penginapan, kantor, tempat makan, bisa kita temukan di jalan ini.
Di bagian Pusat kota Plovdiv berbukit-bukit. Tak jauh dari jalan Knyaz Alexander I ini Emak lihat terdapat beberapa undakan, tanjakan, serta bangunan di tempat yang lebih tinggi.
Tak lama, kami temukan salah satu tempat yang ingin keluarga pelancong kunjungi di Plovdiv, masjid Dzhumaya. Baru mau masuk ke masjid, eh di dekatnya terdapat sisa-sisa stadion dari zaman Romawi kuno. Stadionnya di bawah tanah. Samping masjid, ada undakan menuju ke sana. Tidak semua digali. Atau memang sisanya tinggal sedikit. Jadi tidak terlalu leluasa memotret stadion antik tersebut.
Masjid Dzhumaya
Masjid ini merupakan kejutan kedua kami. Ia jauh lebih besar dibanding masjid Banya Bashi di kota Sofia. Lebih cantik, lebih terawat, lebih ramai turis. Dari luar, arsitekturnya khas masjid Turki Usmani. Menaranya tidak polos, namun memiliki motif seperti batik. Temboknya dari batu bata merah diselang-seling dengan batu alam. Di satu sudut luar terpasang sebuah jam kuno.
Nama #MasjidDzhumaya berasal dari nama hari Jumat. Sebab masjid ini digunakan untuk Jumatan. Emak masuk bersama tiga orang turis. Karena pakaian dua wanitanya agak terbuka, mereka mengenakan jubah dan menutup rambut mereka dengan syal. Lalu mencopot sepatu. mereka foto-foto di dalam masjid. Ada batas yang tak boleh dilewati oleh turis.
Kami masuk dan memotret interiornya. Cantik, like usual. Terutama lukisan dinding di dinding bagian dalam dan di bawah kubah. Bermotif bunga-bunga bernada merah. Di bagian belakang, tempat sembahyang para wanita berbuntuk mirip balkon kayu bertingkat. Menarik. karena waktu zuhur sudah berlalu, masjid sepi. Hanya satu lelaki muda sedang sembahyang.
Di lantai dasar masjid, terdapat sebuah kafe ramai sekali. Bangku-bangku di luar banyak terisi. Lapar dan penasaran, kami masuk. Membeli tiramisu dan baklava, makanan manis khas Turki kesukaan kami. Duh, ngiler banget melihat deretan #baklava isi pistachios warna ijo. Hebatnya, kafe ini sudah ada semenjak tahun 1364. Udah tuwir banget, yak. Kami pilih masuk aja. Lebih sepi dan cozy. Di dinding terpajang kaligrafi dan bermacam dekorasi.
Cangkir-cangkir mini beserta tatakannya dipajang di rak terbuka dan rak kaca. Manisan turkish delight menunggu pembeli. Manisan khas dari Turki dengan rasa macam-macam. Ada rasa jahe hingga rasa bunga mawar. Emak paling suka yang isi kacang. Buku-buku tentang Turki bertumpuk rapi di rak belakang kami. Sekali lagi sayang, waktu kami sangat terbatas.
Eksplor Sedikit Kota Tua
Dari belakang masjid, kami masuk Jalan Saborna. Tak lama, kami mulai melihat tembok kota tua. Kami masuk melalui sebuah gereja tua. Mendaki menuju Amphiteater Romawi kuno.
Sebenarnya banyak sekali objek menarik di kota tua #Plovdiv. Sebuah kompleks luas yang relatif terjaga. Amphiteater Plovdiv berada di sebuah punggung bukit. Dari sini kita bisa melihat bagian kota di bawahnya.
Gak masuk, cuma potrak potrek bentar, kami pun melanjutkan keliling jalan-jalan batu alam kota tua. Jalannya gak rata dan agak licin. Di daerah ini terdapat beberapa rumah tua berarsitektur Turki Usmani. Rumah besar berbahan kayu yang lantai atasnya lebih lebar dibanding lantai dasar. Warna-warna temboknya agak gelap. Sebagian sudha jadi museum dan bisa dimasuki.
Kami mencari satu situs tus lainnya. Gak ketemu jalannya. Buru-buru pula. Ya sudahlah, kudu setengah lari kembali menuju stasiun kereta api. Pas baca-baca panduan nemu beberapa tempat menarik, seperti sebuah apotik tua yang jadi museum. Duhhhh, sebel sebel sebel. Emang enak buru-buru?
Cantik tenn kota iki. Nek India batu bata merah tok mbak nggak pakai diselang seling batu alam.
Btw, Bhalava kok bedo yo warna e bedo mabk. iki muanisssss poll. koyok manisan e India
@Zulfa: ketersediaan material bangunan membuat corak arsitektur juga beda. Kayak di jerman, aja. DI selatan, banyak pakai batu2 alam gede. Sebab ada tambangnya. Kalau di utara, cuma pakai batu bata.
[…] Ia satu-satunya gerbang yang tersisa. Sebab di abad pertengahan sebagain besar tembok kota tua Romawi kuno […]