
Pengalaman untuk mencapai kota Famagusta itu sendiri sungguh berkesan. Kami, serombongan pelancong, dua anak kecil dan empat orang dewasa, berangkat pagi-pagi dari Larnaca di Republik Siprus. Sebutan bagi negara Siprus bagian selatan, yang diakui resmi oleh dunia internasional. Tak ada kendaraan umum langsung dari Larnaca menuju Republik Turki Siprus Utara di bagian utara. Artinya kami mesti naik bus ke Ayia Napa, terus naik bus ke perbatasan. Bus ke perbatasan menurunkan kami begitu saja di Deryneia. Berkilo-kilo meter dari perbatasan.
Di peta, crossing ke utara terlihat dekat. Anehnya, tak banyak warga lokal tahu dimana lokasi pastinya. Ada yang mengatakan dekat. Lainnya berkata sekitar 15 km lagi. Sepasang suami istri asal Turki awalnya mau membawa kami ke Famagusta. Tapi jumlah kami tak muat di mobil milik mereka. Hampir dua kilometer berjalan kaki di bawah terik matahari bersuhu sekitar 30°C, tak terlihat tanda-tanda perbatasan dua negara. Kami menghentikan sebuah taksi. Sehingga sepuluh menit kemudian kami dua berada di pos imigrasi Republik Siprus Turki.
Setelah kesulitan ada banyak kemudahan kami alami. Perjalanan selanjutnya di kota Famagusta dan sekitarnya berlalu tanpa ada hambatan berarti. Seorang polisi perbatasan menelpon taksi buat kami berenam.
Taksi panjang telah menunggu. Bapak tua menanyakan apakah kami menikmati isi Salamis. Beliau terus bercerita tentang Famagusta. Kami melewati kompleks luas salah satu universitas internasional di Siprus. Punya mahasiswa sekitar 14 ribu orang. Berasal dari 70 negara lebih. Saya perhatikan namanya Eastern Mediterranean University. Memang banyak wajah asing di daerah ini. terutama mereka yang berkulit hitam.
Sejak invasi Turki di Siprus tahun 1974, Famagusta disebut sebagai Magosa atau Gazimagusa. Mendekati kota tuanya, kami langsung mengenali tembok tebal dan kuno. Mengelilingi kota tua. Menurut Bapak tua, jika mengendarai mobil, hanya ada dua pintu masuk menuju kota tua.
Dibangun oleh bangsa Venezia 12 tahun sebelum diserang Turki, tembok kota tua ini merupakan salah satu contoh arsitektur pertahanan kuno ynag masih bertahan di Laut tengah. Cincin pertahanan dibangun sepanjang sekitar 3,5 km dengan 15 bastion, tembok setinggi maksimal 15 m dan setebal maksimal 8 m. Di dalam tembok terdapat gudang mesiu, bunker persembunyian, bahkan ruangan-rungan untuk tinggal.
Famagusta mulai berkembang tahun 1291, ketika bangsa Arab kembali menguasai Syria. Pelabuhannya menjadi pertemuan para pedagang Timur Tengah dan Eropa. Pedagang muslim mengirim barang lewat kapal-kapal besar. Bertemu dengan pembeli dari Venezia, Genua, Pisa, Katalonia dan negara barat lainnya. Famagusta menjadi kota makmur dengan jumlah gereja lebih banyak dibanding jumlah hari dalam setahun.
Turki, dibawah Lala Mustafa Pasha, menyerang Famagusta si tahun 1570 masehi. Merebutnya dari kekuasaan Venezia tahun 1571.
Keistimewaan Famagusta adalah tembok tebal di sekeliling kota tua. Atraksi-atraksi utama kota saling berdekatan lokasinya. Mudah dicapai dengan jalan kaki. Kami turun di sisi taman kota dekat jalan bernama Liman Yolu. Dari sana, situs wisata utama Masjid Lala Mustafa Pasha tak sampai setengah km. Kami naik di satu bagian tembok. Mengagumi kekokohannya. Memotret sebagian kota dari ketinggian. Tembok tebal ini masih terlihat kuat walau dibangun berabad lalu.
Masjid Lala Mustafa Pasha paling indah dibanding masjid lain di Siprus yang kami kunjungi. Dulunya adalah sebuah katedral bernama St. Nicholas. Saat Turki Usmani menguasai Siprus, mereka tak membangun masjid-masjid baru. Memanfaatkan bangunan yang sudah ada. Sebab kecantikannya, tak heran jika bangunan bersejarah ini masuk dalam warisan budaya Unesco. Kami bersembahyang di dalamnya sebelum merekam bagian dalamnya yang sangat tinggi dengan jendela-jendela lebar bermosaik.
Beberapa langkah di seberang masjid, kami temukan beberapa sisa bangunan bersejarah. Di antaranya adalah sisa istana Palazzo del Provveditore, pemandian, gereja Templar, sisa-sisa bangunan gothik dan abad pertengahan. Jika berjalan ke arah gerbang darat dekat kantor informasi turis, akan terlihat sebuah monumen kemenangan. menggambarkan Kemal Attaturk dan tentaranya. Kota ini sangat kental nuansa sejarahnya.
Lapar setelah beberapa jam keliling Salamis, kami mampir di sebuah rumah makan dekat masjid Lala Mustafa Pasha. Ingin mencoba meze, salah satu makanan khas setempat, Namun versi vegetarian. Kami pesan 3 meze dan 1 menu ikan. Oalah…. meze ynag datang sak hoha. Walau sedang lapar berat, tapi kalau disuruh makan semuanya yang sebagian besar sayur, ya nggak mampu. Yang muncul adalah seledri rebus, zaitun, keju, kacang-kacangan rebus. Disajikan dengan roti. Akhirnya kami malah mengincar ikan goreng ynag disajikan dengan nasi Turki punya Embak. Lezat banget ternyata. Yaaa… tahu gitu mesen ini.
Pulang kembali ke Siprus selatan, kami diantar sampai perbatasan. Di perbatasan, kami bingung mau menelpon tukang taksi tadi siang. Dibantu lagi oleh polisi perbatasan Siprus Selatan. Mereka berdua dengan bangga mengaku muslim. Emak melirik tato-tato besar di kedua lengan mereka sambil tersenyum. Inilah yang sering kami dapatkan dalam sebuah perjalanan. Kejutan demi kejutan. 🙂
Subhanallah. Kayak cerita di India ya mbak. Kalau di India, ketika Kekaisaran Mughal menaklukkan India. beberapa kuil diruntuhkan, tapi tidak seleuruhnya. hanya patung petung saja yang dirobohkan dan dijaikan Masjid.
Sama dengan Masjid ini, Dilihat dari depan namapak seperti Gereja yang memang dahulunya Gereja. Suka jelajahi peradaban Islam di seluruh belahan Bumi.
@Zulfa: He-eh Zulfa seneng banget menjelajah tempat2 seperti ini. Apalagi kalau baca sejarahnya. Menarik.
Dulu tembok tebal yang dibangun mengelilingi kota itu mungkin berfungsi sebagai pertahanan ya mbak.
@Mbak Rien: Benars ekali, mbak… kota2 zaman dulu biasanya dibuat seperti benteng luas…
[…] pulau. Bisa dicapai dengan kendaraan umum dari Nikosia atau menyeberang dari Deryneia. Kota tua Famagusta dikungkung tembok tebal hingga 8 m buatan orang Venezia di abad 16. Ia jatuh ke dalam kekuasaan […]