Dua malam di Bergen, perjalanan pun lanjut ke kota berikutnya, Stavanger. Kami berangkat pagi. Siang masih sempat menghabiskan waktu ke Stavanger selama beberapa jam. Sebelum akhirnya, cap cus kembali pulang. Bersiap menyetir gantian ke rumah sepanjang dua ribuan kilometer, yang kami tempuh sekitar 24 jam.
Jarak Bergen- Stavanger sebenarnya ‘hanya’ 200 kilometeran. Akan tetapi rutenya beberapa kali menyeberang laut. Ditempuh sekitar 5 jam-an. Ada yang lewat jembatan laut. Plus dua kali naik feri. Uniknya, sistem feri ini terhubung dengan jalan darat. Semacam tol laut, tapi yang makai banyakan mobil pribadi. Ferinya lumayan sering. Kalau gak salah 20 – 30 menit sekali. Proses masuk dan keluar feri pun sangat cepat. Cuma bayarnya saja yang agak bikin sesak dada. Kalau mau rute muter juga bisa, seh. Tapi ya tambah jauh, lama, dan harga bahan bakar mobil di Norwegia termasuk salah satu ynag termahal di dunia. Meski negara ini sendiri produsen minyak bumi.
Kami tiba di Stavanger ketika hari sudah siang, agak condong ke sore. Masalah klasik pertama yang kami hadapi adalah, parkir di mana. Maunya, masih dekat pusat kota tapi tarifnya murah meriah. Akhirnya, nemu dekat pelabuhan. Kami bisa parkir beberapa jam di sana. Gak bisa terlalu lama juga. Persediaan Norwegian Krone kami menipis. Sudah mau pulang, males lah mau narik di atm atau nuker lagi. Yang ada saja dimanfaatkan. Makan pun udah gak mau beli lagi. Makan sisa-sisa bekel saja. #traveleririt
Punya beberapa jam saja di kota tepi barat Norwegia ini, tentunya gak banyak tempat bisa kami jelajahi. Di pusat kota saja. Gak sempat lah melipir ke pinggiran kota ke Sverd i Fjell. Gapopo, di pusat kota saja sudah seneng, kok.
Sama seperti Bergen, Stavanger pernah menjadi ibukota budaya Eropa. Warga Norwegia, kalau Emak perhatikan, sangat melek budaya. Saat kami di Oslo, mengunjungi beberapa taman atau pun museum, selalu saja ketemu warga lokal mengunjungi tempat tersebut dengan anak-anak mereka. Mereka dengan antusias mengikuti event dalam museum. Kabarnya, mereka juga suka sekali menonton theater, opera, dan semacamnya.
Meski sebagian kota terlihat moderen, alam sekitaran Stavanger gak kalah elok. Salah satu yang beken adalah Preikestolen, tebing batu berbentuk meja setinggo 604 meter di atas Lysefjord. Akan tetapi, tempat ini banyak dikunjungi di musim hangat. Kalau ke sana, kudu siap-siap hiking juga. Jarak dari tempat parkir ke tebing tujuan sejauh 8 km. Ditempuh dengan berjalan kaki selama 4 jam-an. Rutenya agak terjal, katanya. Kudu nyiapin sehari sendiri buat ke sini.
***
Ditemukannya emas hitam alias minyak bumi di perairan Norwegia menjadikan negeri ini makmur sentosa. Sejak tahun 1960-an eksplorasi minyak meningkat di Norwegia. Gerbangnya adalah kota Stavanger. Sekolah dan rumah-rumah mulai dibangun di sini. Infrastruktur sudah siap ketika ladang minyak lepas pantai Ekofisk ditemukan di Laut Utara. Stavanger resmi menjadi ibukota minyak Norwegia pada tahun 1972 ketika pemerintah memutuskan kota ini menjadi pusat Statoil dan tempat Kementrian Perminyakan dan Energi berlabuh. Di kota ini pula kini berdiri sebuah museum megah. Museum Minyak Norwegia, museum teramai di Stavanger. Kami tidak masuk ke sana. Ndak ada waktu dan duit. he he he.
Geopark, Playground Bertema Pertambangan Minyak
Pertama kali melihatnya, kesan pertama kita mungkin, ini apaan sih, playground kok penuh grafiti. Tapi kok, luamayan banyak ya pengunjungnya. Dari anak kecil sampai para teenager. Eh pas tahu kalau mainannya terbuat dari bekas-bekas industri pertambangan minyak bumi, jadi ngeh, oooh, unik banget ternyata, yaks!
Si Adik pas kesini juga langsung demen. Gak lama, ia sudah berbaur dengan anak-anak lokal. Meski gak saling mengerti bahasanya. Tempat ini gratis dan bisa dikunjungi kapan saja. Tidak hanya bagi mereka yang punya anak kecil. Orang dewasa pun boleh main-main di sini, sekalian kenalan dengan alat-alat ynag mungkin hanya akan kita temui di tempat eksplorasi minyak bumi. Lokasinya persis di sebelah Norsk Oljemuseum atau Museum Minyak Norwegia di Stavanger. Geoparkmulai dibuka untuk umum sejak tahun 2008.
Alat-alat permainan Geopark berasal dari sisa-sisa elemen instalasi minyak bumi, dari sisa platform ladang minyak Frigg. Beberapa elemen dipinjam dari perusahaan minyak, sebagian didapat gratis, sebagian lagi dibeli murah. Pipa-pipa, tiang-tiang besi, bola-bola plastik besar, menjadi tempat anak berlari-larian, lompat-lompatan, panjat-panjatan, duduk-duduk. Seru sekali bermain di sana.
Pusat Kota Stavanger
Tidak punya banyak waktu, kami tak lama menjelajah pusat kota. Kami lewat sebuah katedral. Konon ia sudah dibangun sejak tahun 1100-an. Salah satu katedral dari abad pertengahan yang masih bertahan hingga kini. Tak banyak yang Emak ingat tentang pusat kota Stavanger. Hanya deretan toko-toko, beberapa bangunan tua sepertinya terbuat dari kayu, gambar atau patung troll. Kotanya bersih, teratur. Hari itu lumayan banyak pengunjungnya. Sesekali kami ketemu graffiti. Oh ya, kami lewat deretan toko yang warnanya eye catching.
Itu adalah Fargegaten, atau coloured street. Warna fasadnya warna-warna neon nan cerah. Meski pun dulunya banyak bangunan tua, kawasan sana terbakar habis tahun 1860. Dan warna-warna cerah bagai pelangi tersebut adalah ide Tom Kjørsvik di tahun 2005 untuk merevitalisasi area tersebut. Sebagian berfungsi sebagai kafe, galeri, atau toko cinderamata. Cakep banget buat latar belakang foto. Setelah beberapa kali mengabadikan, kami pun balik ke parkiran.
Gamle Stavanger
Sebelum capcus pulang, Emak masih penasaran pengen ngintip Old Stavanger. Atau Gamle Stavanger dalam bahasa lokal. Bagian tertua kota yang sempat terbakar pada abad 17. Lalu dibangun lagi rumah-rumahnya di abad 18 dan 19. Uniknya, sebagian besar bangunan di sini berwarna putih dan temboknya terbuat dari kayu.
Gamle Stavanger masih terletak di pusat kota. Dekat sekali dengan pelabuhan di mana kami parkir kendaraan. Ada tangga menuju ke sana. Gamle Stavanger memiliki bangunan sebanyak 173 rumah bercat putih. Konon, warna putih melambangkan kemakmuran. Emak berjalan-jalan di antara gang-gang Gamle Stavanger. Di daerah yang sempat mau diratakan dengan tanah pada tahun 1948. pemerintah setempat hendak membangun sebuah daerah industri di tempat ini. Akan tetapi, arsitek kota, Einar Heden, menyelamatkannya, menjadikan kawasan ini kawasan yang dilindungi.
Rumah-rumah putih ini tampak sangat terawat. Halamannya rata-rata gak terlalu luas. Akan tetapi pemilik rumah menanaminya dengan aneka bunga serta pepohonan. Sehingga terlihat sangat asri dan nyaman. Ada juga taman bermain kecil di dalam area tersebut. Kawasan ini sering mendapatkan penghargaan karena keunikan, keteraturannya. Tak hanya menjadi kawasan permukiman, Gamle Stavanger juga memiliki galeri seni, toko cinderamata, hingga museum.
Sebenarnya kepengen agak lamaan di sini. Emak sudah mulai kedinginan diterpa angin laut. Selain itu, perjalanan kami kembali ke rumah masih sepanjang 2 ribuan kilometer lagi. Mari kita akhiri jelajah Norwegia sampai di sini dulu.
***
Baca juga: Bergen, Kota Di Antara Tujuh Gunung
Baca juga: Menyetir di Norwegia
Baca juga: Penginapan Murah Norwegia
Rumah rumah di Gamle stavanger damai nian dikombinasi warna putih. Untung ya, nggak jadi diratakan kawasan ini. sayang banget. kota tua nan cantikl ini sangat emnarik untuk dijalajahi dengan jalan kaki.
Soge minyak norwegia. tapi tetep haga minyak mahal. hehehe
baru tahu tentang Gamle Stavanger ini mabk, cantik kota tuanya..
@Zulfa: iyo. Mereka juga pro terhadap energi alternatif. Mobil listrik banyak banget di Norwegia.