Tiga kota di dua negara, ada dalam paket kunjungan keluarga pelancong ke wilayah timur Jerman, menjelang musim gugur tahun 2006. Leipzig dan Dresden di Jerman, dan Praha di Republik Ceko. Merupakan paket wisata dadakan, setelah ada pemberitahuan, bahwa Ceko bisa dikunjungi tanpa visa, asal tak lebih dari lima hari kunjungan. Melihat jadwal kosong, mengecek tiket kereta api murah, dan penginapan, syukur semua tersedia dalam jangka pendek, maka tak berpikir lama, kami putuskan menyambar kesempatan ini. Ditemani seorang teman mahasiswi.
Ini kunjungan kedua keluarga pelancong ke arah timur republik. Setelah sebelumnya seharian di ibu kota. Memasuki daerah timur, akan segera terasa perbedaannya dengan wilayah barat. Beberapa kota yang kami lewati dari kereta api seperti Magdeburg, Halle (Saale) dan Koethen nampak suram karena banyaknya gedung-gedung kosong tak terawat. Warnanya pun didominasi oleh warna abu-abu dan coklat. Menambah kesan suram kota-kota ini. Daerah pertanian di sana pun tampak lebih gersang dibanding di wilayah barat.
Namun kesan ini segera memudar saat kami memasuki kota Leipzig. Dari atas kereta api pun kami mulai dapat merasakan denyut nadi sebuah kota besar modern dan penting.
Leipzig terletak di jalur perdagangan utama di Jerman. Kota ini memiliki beberapa peran penting dalam ekonomi Jerman. Sejak abad 17 dan 18, kota ini telah berkembang menjadi kota pameran berskala nasional maupun internasional. Selain itu, Leipzig juga merupakan pusat perbankan terbesar kedua di Jerman setelah Frankfurt am Main.
Kunjungan kami ke Leipzig sebenarnya dalam rangka transit kereta api. Kami sengaja memilih kereta lanjutan lima jam kemudian agar dapat menikmati keindahannya.
Setelah menyimpan koper di lemari penyimpan di stasiun, kami berempat pun segera menjelajahi kota berbekal sebuah buku panduan wisata. Kami ingin menggunakan waktu lima jam transit ini sebaik-baiknya.
Pusat kota terletak nyaris di depan stasiun kota Leipzig. Sebuah taman terbentang tepat di seberang stasiun. Di depan kantor informasi wisata, berjajar beberapa kendaraan wisata tua. Ada bus bertingkat warna merah asal London, ada kereta kuno dari Paris, dan beberapa kendaraan tua lainnya. Kesemuanya sedang ngetem, menunggu para turis yang ingin menumpang sekaligus menunggu jadwal keberangkatan masing-masing.
Berkeliling kota dengan kendaraan tua ini adalah pilihan menyenangkan bagi turis yang melakukan kunungan singkat di Leipzig. Namun harga tiketnya masih terasa mahal bagi mahasiswa seperti kami. Selain itu, pusat kota Leipzig masih memungkinkan untuk dijelajahi dengan berjalan kaki.
Ciri warga kota intelektual di jaman baru mendorong perkembangan seni dan ilmu pengetahuan. Yayasan dan kolektor pribadi mendirikan museum-museum penting. Di sini berdiri salah satu universitas tertua di Jerman, dengan mahasiswa berasal dari negara-negara di benua lainnya. Salah satu penyair kondang Jerman, Johann Wolfgang von Goethe pun pernah berkuliah jurusan hukum di Leipzig, dan menyebutnya sebagai ‚Paris Kecil’.
Sebenarnya, tanpa peta pun pengunjung bisa berkeliling di jantung kota dengan nyaman. Papan-papan penunjuk jalan memandu wisatawan menuju obyek-obyek wisata utama Leipzig di sudut-sudut jalan di kota tua.
Kami melewati banyak sekali passage, lorong-lorong petokoan di dalam gedung-gedung nan tinggi. Passage adalah salah satu kelebihan arsitektur kota Leipzig. Dibandingkan dengan London, Paris, atau Hamburg, pembangunan passage di Leipzig memang jauh lebih lambat. Namun mungkin hanya Leipzig yang memiliki sistem passage tertutup di dalam kota, dengan bentuk sejarah berbeda-beda. Melewatinya serasa menikmati sebuah pameran konstruksi.
Passage paling terkenal di sini adalah Maedlerpassage, tiruan galeri Vittorio Emanuele II di Milan. Lorong perbelanjaan ini terkenal karena tampak sangat mewah dan elegan. Gedung ini dirancang oleh arsitek Theodor Koesser atas perintah pengusaha Moritz Maedler di atas lahan bernama Auerbachs Hof. Di sini pula berdiri sebuah kafe bernama ‚Auerbachs Keller’ tempat Goethe terinspirasi untuk menulis ‚Faust’ semasa berkuliah. Auerbachs Keller terletak di bawah tanah, dengan jalan masuk ditandai oleh dua kumpulan patung perunggu saling berhadapan, menggambarkan salah satu adegan dalam cerita ‚Faust’.
Kami terus berjalan menuju bagian selatan pusat kota menuju balai kota baru Leipzig, melewati gedung setinggi tiga hingga empat lantai yang sangat cantik. Ada yang beratap mirip kubah, ada pula yang mirip menara. Warna-warna natural mendominasi bangunan-bangunan ini.
Semakin ke selatan, semakin banyak bangunan sedang direnovasi. Leipzig memang sedang giat mempercantik kotanya. Berbagai proyek pembangunan dan perbaikan sedang marak di dalam kota. Sebagian jalan dalam kota ditutup karena kesibukan ini. Kadang kami merasa sedikit terganggu karena tak bisa menikmati keindahan kota sepenuhnya.
Sebagian jalan menuju balai kota baru ditutup sehingga kami menemui kesulitan sampai kesana. Akhirnya kami berbelok menyusuri pusat-pusat belanja lainnya di dalam kota. Toko-toko pakaian dan aksesoris ternama membuka gerainya dalam ruang-ruang berukuran besar.
Semakin lama berada di jantung kota, Emak merasa kota ini sangat mirip dengan kota Zurich di Swiss. Stasiun pusat dengan mall di bawah tanah, juga bentuk gedung-gedungnya. Bedanya, Leipzig tak terletak di tepi danau.
Di Leipzig, hampir di setiap sudut jalan berdiri sebuah kafe. Sejak masuknya biji kopi di akhir abad 17 di wilayah ini, budaya minum kopi telah berkembang cepat di antara warga kota. Menurut ahli sejarah kopi asal Leipzig, Ulla Heise, pada abad 18 telah berdiri sekira 20 kafe di jantung kota. Pada abad 19, jumlahnya melonjak menjadi 40 kafe di pusat kota saja. Bahkan Johann Sebastian Bach mempertunjukkan karya musik berjudul ‚Coffee Cantata’ untuk pertama kalinya di sebuah kafe pada tahun 1832.
Kafe tertua kota ini, berdiri sejak tahun 1720 bernama ‚Zum Arabischen Coffe Baum’, salah satu kafe tertua Eropa yang masih dijalankan hingga masa kini. Selain sebagai kafe, gedung ini juga berfungsi sebagai restauran dan museum kopi. Kedai kopi lainnya, Riquet, sangat terkenal sebagai tiruan kafe di Wina. Ah, Andai saja, bisa lebih lama jalan-jalan di Leipzig. Mungkin kami bisa menyempatkan diri rehat di salah satu kafe. Sambil mendengarkan dan menyaksikan pemusik jalanan beraksi.