Lodaya

Emak nyaris tak tidur semalaman. Dini hari itu kesebelasan Belanda tanding lawan Argentina. Meski jarang nonton bola saat di Jerman, Emak mengikuti liveticker-nya di media massa.  Waktu itu juga demikian. Penasaran siapa yang menjadi lawan Jerman di final nantinya.

Emak mengikuti beritanya sampai babak kedua berakhir. Di perjalanan menuju stasiun Bandung, kami ketahui bahwa ada adu penalti. Argentina akan menjadi lawan Jerman.

Sahabat kami mengantar hingga gerbang tempat pengecekan kartu identitas. Kereta Lodaya sudah menunggu di satu peron di ujung. Peron 5 kalau Emak tak salah ingat. Emak turun sejenak membeli sebotol air mineral di warung. Pemiliknya sedang mengikuti quick count Pemilu.

„Siapa pemenangnya, Pak?“ tanya Emak berbasa-basi.

„Yang dicintai rakyat, Bu. Pak ****,“ jawab beliau.

Mau naik kembali ke kereta, Emak salah masuk gerbong. Kebingungan sebab kereta bergerak pelan.

Kereta api dulu menjadi moda transportasi favorit Emak. Dulu hampir tiap minggu Emak naik kereta Sri Tanjung mau pun Logawa. Pernah pula ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta naik kereta ekonomi. Kelas bisnis atau eksekutif satu kali saja.

Zaman dulu naik kereta ekonomi cukup datang sebelum kereta berangkat. Pengantar bisa ikut masuk ke peron. Pedagang kaki lima hilir mudik di dalam stasiun. Bahkan ikut naik dan berkendara dalam kereta. Kita bisa berwisata kuliner. Sate kerang di Bangil, Nasi Rawon pincuk di Probolinggo, nasi kuning di Klakah. Adalah bagian dari kenangan Emak akan kereta api ekonomi.

Saat ini stasiun tampak lebih tertib. Tak banyak orang dan pedagang. Namun tetap terasa ada yang hilang. Sepanjang perjalanan, petugas kebersihan mondar-mandir. Nama, foto, dan nomor telfon contact person petugas kereta api terpajang di ujung gerbong. Petuga pengecek tiket punya ajudan beberapa lelaki tegap petugas keamanan.

Awalnya gerbong kami sepi. Kami duduk di tempat duduk nomor 1 dan 2. Berhadapan.  Koper-koper bisa diletakkan di belakang bangku. Makin banyak stasiun dilewati, makin padat penumpangnya. Banyak pula penumpang asing. Mereka tak hanya naik dari Bandung. Namun juga dari stasiun-stasiun setelahnya. Seperti tasikmalaya dan Sidareja. Ransel-ransel jumbo menjadi aksesori punggung mereka. Tampaknya mulai banyak tempat lain dilirik para backpacker. Di daerah Jawa Barat pemandangan didominasi desa, sawah berlatar belakang pegunungan cantik nian. Waktu terasa melambat menyaksikan para petani menanam padi dengan tanam, membajak tanah dibantu sapi atau kerbau.

Di Sidareja, satu keluarga naik. Ayah, ibu mudah usia 30-an dan dua anak perempauan cantik. Pun seorang perempuan muda belasan tahun yang menempati salah satu kursi dekat kami. Rambutnya panjang sepunggung. Kulitnya putih bersih. Perawakannya kecil. Ia sedikit lebih tinggi dibanding Embak. Ternyata ia asisten keluarga tersebut.

Terkantuk-kantuk, Emak nyaris kaget ketika tiba-tiba perempuan muda tadi mengajak salaman.

„Mohon maaf lahir batin, Mbak,“ katanya.

„Ya, sama-sama,“ jawab Emak gagap.

„Saya tadi dari Sidareja.“

„Oh mau pergi ke mana?

„Solo.“

Pembicaraan kami terputus oleh kedatangan seorang anak. Perempuan muda bernama Erna tersebut mengambilkan kotak makanan. Menyuapi si gadis kecil dengan nasi, ayam, dan mie goreng. Sabar dan telaten sekali. Setelahnya dibuatnya sebotol susu. Erna sempat memangku hingga si gadis kecil mengantuk dan berpindah di pangkuan ayahnya.

Usia Erna enam belas tahun. Setelah tugasnya usai, ia merogoh tas kain di bawah kakinya. Mengambil telfon genggam. Menyibukkan diri dengannya beberapa lama.

Emak segera kembali tertidur. Anak-anak nggremeng karena AC kereta tak lagi terasa dingin. Entah beberapa stasiun kemudian, seorang petugas memberitahukan bahwa kami segera sampai di Yogyakarta.

One Comment

  • Arif Rahman Hakim

    Waaah tulisan tangannya emang bener2 mantaap 😀 mau kasih usulan mending pake anti copy paste mas biar gak banyak yang copast hehe

Leave a Reply

%d bloggers like this: