Memotret Keramaian Barcelona

25travelAndorra adalah tujuan utama liburan musim panas lalu. Bandara penerbangan murah terdekat dengannya adalah Girona. Sering disebut sebagai Barcelona (Girona). Punya waktu seminggu, sekalian kami kunjungi Barcelona.

Saat pertama ke Barcelona di akhir tahun 2007, satu jempol tangan si Embak baru retak. Harus di-gips. Yang membuat kami tergopoh-gopoh mampir ke dokter di bandara Cologne. Alhamdulillah dia tak rewel selama perjalanan. Kala itu kami sempat ke Valencia.

Barcelona terlihat sangat-sangat ramai. Mirip seperti Paris. Di La Rambla, di dalam metro, di tempat-tempat wisata, di pantai, semua penuh orang. Terutama turis.  Terasa kurang nyaman dan aman. Mungkin karena musim liburan. Cuaca sangat panas. Orang berlomba keluar rumah.

Penginapan kami di daerah Poble Sec. Sekali kami jalan kaki dari penginapan ke La Rambla. Lewat daerah Raval. Wow, ini pusat imigran Barcelona. Ramai, agak kumuh. Toko-toko kecil milik orang India, Pakistan, Maroko, banyak terlihat di sini. Di antara gedung-gedung apartemen tua tak terawat.  Wajah-wajah asia pun bukan hal eksotis.

Kami berniat mampir ke Masjid Tariq ibn Ziyad di Raval.  Kesasar, seorang muslim Pakistan menunjukkan jalan. Letaknya dekat dengan wanita-wanita PSK yang sedang mangkal di pagi hari. Sayang pintu masjid sedang terkunci.

Eh, baru ingat, ini sebenarnya mau cerita tentang artikel Emak yang dimuat di Majalah CitaCinta edisi 25. Cerita tentang tempat-tempat wisata di ibukota Katalonia. Tiga hari kok rasanya kurang. Kalau saja harga penginapan di sana murah, inginnya lebih lama menjelajah Barcelona.

Tak hanya ramai, kota ini terasa makin mahal saja. Biar hemat kami lebih banyak makan roti. Belinya di supermarket. Emak ingin masuk museum, tapi lagi-lagi mahal. Apalagi museum-museum Gaudi. Sudah mahal, harus mengantri panjang pula. Di mal Camp Nou, orang berbelanja seperti tak ada hari esok. Padahal harga merchandise sepak bola ini di atas rata-rata. DiAndorra, trikot, syal, dll dijual dengan harga separuhnya. tetap gak pengen beli.

Lha kok balik lagi. Kembali cerita naskah. Majalah ini belum ada versi digitalnya di Scoop atau Wayang Force, tempat Emak beli majalah dan koran digital. Penasaran banget bisa nembus artikel ke sana. Tapi gimana caranya agar kenal karakter artikel travelingnya? Emak lalu belajar dari tulisannya Pak Teguh Sudarisman di situs beliau, tgifmag. Beliau juga memberikan beberapa petunjuk soal penulisan artikel di majalah ini.

Di direktori majalah, Emak menemukan alamat email redaksinya. Emak langsung kirim artikel plus foto-foto. Berkali kirim selalu gagal. Padahal data foto sudah Emak kecilin. Akhirnya Emak kirim naskahnya aja dah. Pesimis bakal dilirik. Dua bulan kemudian dapat balasan, diminta mengirimkan foto-foto pendukung. Dan ada pemberitahuan kapan artikel bakal dimuat. Alhamdulillah…. 🙂

Leave a Reply

%d bloggers like this: