Ah, sudah banyak penulis kisah perjalanan di luar sana. Jika ingin membaca tentang satu tempat tinggal beli buku. Beres. Jika belum ada penulis berbahasa indonesia, bisa juga membaca tulisan penulis kisah perjalanan berbahasa inggris. Hampir tak ada tempat di bumi ini yang belum ditulis oleh manusia. Jadi mengapa kita harus menulis juga untuk konsumsi umum?
Opini saya terwakili oleh tulisan berikut. Dalam pengantar The Best American Travel Writing tahun 2000, Jason Wilson, editor tetap seri ini mengutip pendapat Paul Theroux. Pengantar itu berjudul “Why Travel Stories Matters”.
“The misperception is that the travel book is about a country,” Paul Theroux once told me. “It’s really about the person who’s traveling.” Travel stories are necessarily told in the first person. This point of view is one of their strengths, and where the importance always lies. Great travel writing is guided by a strong voice that is not afraid to take a stand. The writer’s biases and misperceptions are also paraded before the reader, for they create a context for the writer’s hard won insights about a place. There’s a little attemp at a supposed objectivity. One of the important messages of a good travel piece is, This is my trip and no one else’s.
Travel writing is always about a specific moment in time. The writer imbues that moment with everything that he or she has experienced, observed, read, lived, bringing all of his or her talent to bear on it. When focused on that one moment, great travel writing can teach us something about the world that no other genre can. Perhaps travel writing’s foremost lesson is this : we may never walk this way again, and even if we do, we will never be the same people as we are right now. Most important, the world we move through will never be the same place again. This is why travel writing matters today.
Jika memperhatikan perkembangan media massa di tanah air saat ini, banyak sekali kesempatan terbuka untuk penulis kisah perjalanan. Puluhan majalah gaya hidup bermunculan. Majalah wisata dan perjalanan mulai punya tempat tersendiri di hati pembaca. Dan koran-koran minggu menyediakan rubrik khusus perjalanan dengan berbagai nama : pelesir, wisata, backpacking, perjalanan, jalan-jalan. Menanti penulis untuk mengisi ruang tersebut.
Kami sebagai keluarga muslim punya kebutuhan dan ketertarikan khusus ketika melakukan perjalanan. Selain mengunjungi berbagai atraksi wisata, kami ingin pula mengunjungi masjid setempat. Makanan, sebisa mungkin kami dapatkan yang jelas status halalnya. Informasi seperti ini, jika tersedia di media massa, mungkin bisa berguna bagi pelancong lain.
Menulis, adalah bekerja untuk keabadian. Demikian ujar Pramoedya Ananta Toer. Saya pun ingin mengabadikan berbagai pengalaman bepergian dengan orang lain. Jika tak memungkinkan untuk dimuat di media massa pun, menyimpannya di blog sudah memuaskan hati. Tentu saja saya lebih bahagia bila pembaca tulisan saya menganggapnya berguna.
Satu kutipan lagi dari Laurie Gough dalam pengantar bukunya, Kite Strings of the Southern Cross, sangat saya sepakati. Mengenai mengapa menulis kisah perjalanan itu perlu dilakukan.
Writing, like traveling, deepens my life, and writing about my travels gives them new meaning. Sometimes, it even allows me to live those journeys over again, minus the mosquitos and sunstroke.
I wanted to set down on paper all that I had seen out there, all my encounters with the world and its people. I didn’t want my travels to evaporate.
Yah, seperti Laurie, saya tak ingin kenangan selama perjalanan menguap di telan udara begitu saja.
Terima kasih untuk menuliskan ini ya, Ira. Ini menjadi penyemangat untuk kami. Salam hangat 🙂
@The Dusty Sneakers: terima kasih apresiasinya, ya… Nama blognya keren banget.