Mengenal Kuliner Maroko

Puas menjelajah tempat-tempat indah dan bersejarah di negeri Al-Maghrib, kurang lengkap rasanya jika tak mencicipi makanan khas setempat. Di Eropa, susah sekali berwisata kuliner saat berwisata. Apalagi untuk mencicipi makanan khas suatu negara. Selain mahal, sebagai muslim kami khawatir ada bahan-bahan tak halal di dalamnya jika kami tak tahu pasti tentang bahan makanan tersebut.

Perkenalan kami dengan masakan Maroko sudah terjadi jauh sebelum kami sekeluarga mengunjungi negara ini. Versi rumahan saja. Seorang ibu indonesia bersuami seorang Maroko membuat couscous (kuskus), butiran halus gandum (semolina) di campur dengan ayam, paprika dan bumbu lainnya. Gurih, sesuai dengan lidah kami. Seorang teman muslim Jerman pernah mengundang makan saat akikah anaknya. Hidangannya adalah masakan Maroko berbahan dasar daging kambing yang dibumbui aneka rupa, disajikan bersama buah zaitun banyak sekali. Tak tercium bau khas daging kambingnya sama sekali. Yang masak semuanya bapak-bapak, kata teman tersebut.

Tajine

Malam hari pertama tiba, kami mampir di satu warung dekat hotel. Entah apa namanya. Si Adik mahasiswa pemandu kami menyarankan untuk mencoba tajine (tagin). Makanan satu ini pernah saya dengar namanya, tapi belum tahu bentuknya. Tajine adalah kaserol ayam, daging atau ikan, dimasak dalam wadah tanah liat padat. Makanan manis juga ada yang dimasak dengan cara ini. Wadahnya bundar, berat, dengan tutupnya berbentuk kerucut. Tradisional, dimasak diatas bara arang. Suami pilih tajine daging, Emak pilih ayam.

Makanan datang dalam keadaan tertutup. Ada piring di bawahnya agar tak kepanasan saat dipegang. Emak buka tutup beratnya. Uap segera mengepul. Bapak pramusaji mengambil tutupnya. Tajine ayamnya menggunakan filet dada potongan jumbo. Warnanya kuning, dimasak dengan bumbu dedaunan warna hijau. Ada campuran potongan kentang dan buah zaitun hijau. Ditambah roti, makanan pokok orang Maroko. Saya colek sedikit dengan garpu. Empuk. Enak sekali. Susah dideskripsikan rasanya, tak tahu bumbu apa saja yang mereka gunakan. Adik-adik mahasiswa pun tak tahu.

Tajine daging pesanan suami ternyata terbuat dari daging cincang. Dibentuk bulat mirip bakso mini. Warnanya merah. Emak simpulkan ada campuran tomat. Rasanya pun asam. Kata Bapak, rasanya seperti bakso dengan saus tomat. Karena dihidangkan dengan roti porsi besar, tajine yang terlihat sedikit porsinya ini, jadi mengenyangkan. Emak sendiri, sungguh tak menyesal milih versi ayam.

Couscous

Hari kedua di Fes setelah bapak-bapak Jumatan, kami makan di tempat sama dengan kemarin (ketika mencicipi tajine). Hari Jumat ini, ada menu istimewa, yakni couscous. Menurut seorang adik mahasiswa, couscous istimewa karena disajikan di waktu tertentu. Misalnya untuk menjamu tamu, atau hari Jumat. Usai Jumatan, orang Maroko suka mengundang kerabat untuk makan-makan di rumah mereka.

Couscous Maroko
Couscous ayam

Couscous ini menjadi makanan pokok, tak hanya di Maroko, namun juga sebagian Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia dan Libya. Mulai dikenal abad 13 masehi. Di sebuah buku resep arab abad 13 tersebut, disebuatkan bahwa couscous sudah terkenal di seluruh dunia. Saat ini, makanan ini dikenal di Eropa berkat imigran Afrika Utara.

Couscous terbuat dari semolina yang dihancurkan hingga menjadi butiran halus. Sekilas mirip bulgur (menir gandum), tapi butirannya lebih halus. Cara memasaknya adalah dengan dikukus. Couscous instan bisa digunakan setelah direndam sebentar dengan air panas.

Nah, couscous ini kemudian disajikan dengan aneka macam sayuran tumis atau rebus dengan atau tanpa daging. Misalnya saja dengan paprika, zucchini, tomat dan wortel. Pertama kali makan, campurannya hanya bumbu entah dan paprika segar. Sudah terasa enak.

Saat makan di Maroko tersebut, hanya Bapak yang memesan couscous. Awalnya mau yang daging. Tapi tak ada, akhirnya milih ayam. Yang keluar adalah segunung couscous lengkap dengan aneka tumis sayuran : wortel, daun kol, zucchini, potongan mirip labu, dan kacang merah. Ayamnya nyaris tak kelihatan. Hidangan ini disajikan dengan kuah kaldu. Nikmat sekali tampaknya. Sebab tak lama gunungan couscous sudah berpindah ke perut pemesannya.

Brochettes dan Kiftah

Berziarah ke makam pendiri negara Maroko, Moulay Idriss I, kami makan siang di warung di dalam pasar. Di antara berderet-deret tempat makan lainnya. Hampir semua penuh oleh pelanggan, terutama kaum Adam. Wajah asing kami sempat menjadi perhatian banyak orang.

Hampir semua tempat makan menjual sate. Paha-paha sapi besar digantung dekat dengan tempat pembakaran. Kami masuk ke sebuah warung yang tak terlalu ramai. Ibu-ibu ternyata banyak juga duduk di bagian dalam. Tak ada menu di warung kecil ini. Emak pilih sate yang disebut brochettes. Yang lain memilih kiftah.

Wisata kuliner Maroko
Kuliner Maroko, brochettes

Kiftah yang dipesan Si Bapak dan adik-adik mahasiswa mirip dengan kofte kebab-nya orang Turki. Dari namanya, kiftah – kofte memang ada kemiripan. Terbuat dari daging cincang dibumbui, dibentuk lalu dibakar. Makannya dengan saus merah.

Sebelum makanan datang, minuman kami tiba terlebih dahulu. Putri kami yang memesan jus apel kecewa, sebab jus apelnya ternyata dicampur dengan susu banyak sekali. Tak terbiasa minum jus apel seperti ini, tentu saja aneh di lidah.  Jus jeruk pesanan saya langsung diperas dari jeruk segar. Nikmat sekali.

Nasi putih yang datang kemudian, bercampur dengan seledri. Rasanya jadi unik. Selain itu, kami mendapat bonus berupa buah zaitun super enak. Tak terlalu asam seperti zaitun kalengan yang kami beli di supermarket di Jerman. Baik kiftah maupun brochettes disajikan dengan potongan tomat dan bawang bombay bakar.

Brochettes, namanya baru Emak ketahui setelah sampai di Jerman, sejatinya adalah sate. Makanan yang disajikan dengan tusukan, lalu dibakar. Biasanya terdiri dari potongan daging atau potongan daging campur sayuran. Brochettes kami muncul di meja bersama dengan tusukan panjang dari metal. Awalnya, Emak kaget melihat benda sebesar ini dalam piring. Saat memindahkan dagingnya pun kesusahan. Sate daging ini sangat empuk. Kentara sekali jika terbuat dari daging sapi muda. Bumbunya meresap, namun rasanya tak terlalu kuat. Orang sini memakannya dengan roti.

Sarapan

Aktifitas di negeri Al-Maghrib ini dimulai agak siang. Warung-warung buka juga sekitar jam ini. Kami yang terbiasa sarapan pagi-pagi mesti menahan diri. Saat berjalan pagi di sekitar pasar, kami temukan dua kedai roti ramai dikunjungi pelanggan. Satu gerai kecil berjualan mirip roti goreng besar berbentuk cincin. Kami pilih mengantri di satu gerai kecil penjual beberapa macam roti. Mengamati bagaimana orang sebelum kami membelinya. Ternyata roti-roti besar dipotong sesuai keinginan pembeli. Lalu ditimbang. Dibungkus kertas dan kantong plastik. Kami membeli roti bernama msemen dan harsha. Masing-masing setengah potong roti. Anak-anak pilih croissant. Semuanya hanya 10 dirham Maroko. Atau sekitar Rp. 11.000,-. Lebih dari cukup buat kami berempat.

Tradisi Minum Teh

Ada satu hal tak terlupakan setiap kali makan di sebuah rumah makan Maroko. Yakni tata cara minum teh-nya.

Teh hijau Maroko
Tradisi minum teh, Maroko

Teh adalah minuman nasional di Maroko. Serta di beberapa negara Afrika Utara lainnya seperti Maroko, Sahara Barat, Mauritania, Aljazair dan Tunisia. Disajikan bersama pepermin, teh ini disebut sebagai the a la menthe atau whisky marocain. Gabungan antara teh hijau dengan daun mint segar dan banyak sekali gula. Minum teh bersama adalah salah satu cara komunikasi efektif di negeri ini. Apakah untuk menjamu tamu, menarik pelanggan di toko atau pasar, maupun sebagai permintaan maaf sesama kawan. Hampir setiap saat kami perhatikan kedai teh selalu dipenuhi pelanggan lelaki. Di pasar-pasar para lelaki menjajakan teh dalam baki-baki besar.

Setiap kali makan di warung atau restoran, kami selalu memesan minuman ini. Penyajiannya unik. Teh manis dan pepermint berada dalam ceret dan nampan berwarna perah. Gelas pun tersusun rapi di nampan. Adik-adik mahasiswa mengajari kami  bagaimana mereka menyajikan teh. Tak menggunakan sendok, cara mengaduknya unik.

Ceret diangkat tinggi-tinggi. Teh dituang kedalam gelas-gelas. Setelah isi ceret habis, teh dalam gelas dimasukkan lagi ke dalam ceret. Demikian berulang-ulang, hingga gula bercampur rata dengan teh. Daun mint segar ditambahkan dalam gelas. Daun mint kering bisa dimasak bersama daun teh kering dan air sebelum dicampur gula. Perpaduan teh, gula dan pepermint, menimbulkan cita rasa unik. Manis dan segar.

*Pernah dimuat di Majalah Oase*

15 Comments

  • Pingin coba Tajine mbak, soale dimasak dalam tanah liat. Ngomong Tajin poleh iling Tajin e indonesia,sisa banyu pas masak beras. iki sampeyan nulis artikel nang Jerman, tapi aku kok ambu kambing bakar nang kene. hehehe Lap iler :)) Orange merah jus Maroko iku akeh nang dalan yo mbak. segerrrrr

  • ira

    @Zulfa: hahahaha… ngomong enak pisah ki Zulfa maem kambing bakar. Nyam2… Dadi pengen barbekuan maneh… Yoii jus seger jeruk akeh sing dodolan. Jus pokat koyok nang Indonesia onok pisan. Enakkkk. okate kentel. 🙂

  • ira

    @Lia: hehehhehe…. karena terlalu heboh makannya ya, Li. Abis murah2 dan enak2, sih…

    @Mbak Katerina: Yang merah kalau gak salah, potongan labu, Mbak. 🙂

  • ira

    @Mbak Dee An: lek nang kene, ndik Perancis lumayan akeh resto Maroko. Opomaneh nang Paris.. Waaahh dadi eling sup Harira Maroko pas maem nang Paris wingi..

  • ira

    @Cek Yan: berarti bahan couscous mentahnya dah ada kali ya, di sana. Paling nggak mungkin di kota-kota besar.

  • Erni

    Mbak Ira,
    Bagus tulisannya. Bisa minta kontak buat guide di Fez krn mau kesana bulan Desember dan takut tersesat 🙂 Terima kasih.

  • ira

    @Mbak Erni,

    Teman saya itu dah gak di Fesz lagi. Mbak Erni bisa hubungi anak2 PPI maroko. Biar bisa dikasih tahu siapa mahasiswa di Fez. Biasanya mereka helpful, Mbak..

Leave a Reply

%d bloggers like this: