„Anda dan suami bisa masuk tanpa visa ke Georgia. Tapi anak-anak harus bayar, belum punya izin tinggal permanen,“ ibu petugas imigrasi memberitahu setelah meneliti dokumen kami. Bukti tiket pesawat kembali ke Jerman, booking penginapan, sampai mengetes Emak dengan bahasa Jerman sudah dilakukan beliau. Beliau mengulurkan dua formulir aplikasi, memberitahukan cara pembayaran visa on arrival buat anak-anak. Masing-masing 50 lari, mata uang Georgia.
Emak lega, yay, kami akhirnya bisa sampai di Kaukasus. Walau orang-orang lebih mirip orang kulit putih Eropa, secara geografis negara ini berada di Asia. Sebuah pergantian suasana setelah banyak berkutat di Eropa.
Banyak drama mengawali kunjungan kami ini. Pertama, ketika Emak salah beli tiket. Bukan salah beli sebenarnya, tapi salah melihat tanggal liburan. Saking senangnya melihat harga tiket miring, tapi salah melihat jadwal liburan. Mestinya jadwal tahun 2014 yang dilihat, Emak melihat jadwal tahun 2013. Padahal dah sempat konsultasi dnegan Bapak. Awalnya Bapak gak mengecek.
Baru ketika akan mengajukan cuti, Bapak sadar, kalau Emak salah lihat tanggal. Hiks… Pengajuan cuti Bapak tak ada masalah. Nah si Embak nih yang agak meragukan. Kami menanyakan ke guru wali kelas. Beliau bilang, karena cutinya empat hari, beliau tak bisa memberi keutusan. Harus diajukan langsung ke kepala sekolah.
Di sekolah, izin tak segera turun. Ynag kepala sekolah sakit, lah. Yang suratnya muter-muter dari sekretariat, guru wali kelas, kepala sekolah, ke sekretariat lagi lah. Tapi alhamdulillah, Embak mendapatkan izin untuk berlibur di luar waktu liburan resmi sekolah.
Sehari jelang terbang, Emak syok. Bapak menelfon siang-siang. Mengatakan bahwa kami harus siap-siap menghadapi hal buruk. Misalnya saja nanti di imigrasi Jerman, si Embak tak diperbolehkan keluar Jerman, dengan alasan bukan masa liburan. Ada yang bilang, surat izin dari sekolah tak menjamin kita bisa seenaknya pergi. Jika memaksa pergi pun, kita diharuskan membayar denda.
Ohhhhhhh, apa pula ini. Kepala Emak nyut-nyutan. Ya sudah, kita berusaha saja menyiapkan segala sesuatunya, putus kami berdua. Sore-sore muncul masalah berikutnya. Surat izin Mbak bersembiúnyi dan susah kami temukan. Embak mencari di kamarnya. Emak mencari di kamar lain. Bapak mencari di ruang tamu. Nihil. Kadang kami sering meletakkan surat di dekat jendela, sebelum menyimpan. Nah kertas-kertas di jendela itu sering bercampur dengan brosur-brosur iklan yang segera dibuang.
„Jangan-jangan ikut terbuang tak sengaja ketika beres-beres.“
Hiks lagi, nyut-nyut di kepala makin menjadi. Istighfar-istighfar. Kemungkinan terburuk tak jadi bernagkat kudu disiapkan. Kami akan usahakan untuk mendapatkan surat izin baru di sekretariat, jika memungkinkan, sebelum bernagkat besok pagi. Syukurlah keesokan paginya, surat izin itu muncul di sebuah laci. Di imigrasi bandara Köln, tak ada masalah berarti. Alhamdulillah….
Di Istanbul, antri buat ambil boarding pass baru ke Georgia. Emak tak menemukan boarding pass lama dari Köln. Di situ ada bukti bagasi. Dengan panik, langsung merogoh isi saku, celana, melihat ke kantong plastik isi paspor. Tak ada. Hah, kemana dia? Perasaan tadi Emak masukkan dalam sesuatu. Tapi apa, dan dimana? Astaghfirullahaladziim….. kenapa jadi sangat-sangat pelupa begini lah. Makin mendekati petugas, belum ketemu juga. Bapak mencari di tas-tas punggung. Ndilalh, kantong paspor jatih berserakan. Dann mencullah keempat boarding pas tipis itu.
Keluar imigrasi Georgia nyaris pukul empat pagi. Bus ke kota baru ada pukul tujuh. Kami istirahat, salat, menukar sejumlah uang. Jam tujuh pas, naik bus zaman beheula yang kemudian penuh sesak. Hari masih gelap. Bingung kami meneliti peta. Tak ada lampu dalam bus. Bapak di sebelah tak bisa bahasa Inggris atau Jerman. Untung ibu di depan Bapak memberitahu dimana kami harus turun.
Waktu check in penginapan jam dua siang. Jam 8 pagi kami sudah ada di depan pintu. Resepsionis baru buka jam 9. Gontai, kami mencari kafe buat sarapan. Alhamdulillah hari tak sedingin bayangan. Di ramalan, Tiblis bakal -10 derajat celcius. Suhu di titik beku terasa hangat.
Setengah sepuluh kami mengebel penginapan. Seorang wanita tua menyambut hangat. Kami sudah bertekad, jika belum dapat kunci kamar, mau numpang istirahat saja di lobi. Anak-anak tak kuasa menahan kantuk. Para orang tua juga. Mulai capek memanggul beban di pundak dan punggung. Kami segera dapat kunci dann tidur. Sekarang sudah lebih pukul tiga. Anggota keluarga pelancong lainnya pada tepar. Tiflis, Georgia, di wilayah Kaukasus adalah tempat tepat untuk pindah tidur. Hehehehehe….
thanks sharingnya, asyik banget nih jalan-jalannya