Menikmati Lembah Indah Kota Luxemburg

Orang tak mengenal Luxemburg sebagai kota atau negara tujuan wisata di Eropa. Orang lebih sering mengasosiasikannya dengan bank atau perusahaan baja.

Makanya banyak yang heran ketika kami sampaikan pada teman bahwa kami ingin jalan-jalan ke kota Luxemburg. „Luxemburg? Ada apa disana?“ Demikian komentar sebagian besar teman kami.

Meski demikian, jalan-jalan ke sana tetap kami lakoni. Toh tujuan keluarga pelancong adalah untuk mengenal negara lain. Orang-orang, suasana berbeda dengan negara tempat kami tinggal sekarang.

Seperti biasa, kami mencari alternatif semurah mungkin untuk bisa kesana. Karena menurut informasi seorang teman, ibukota negara ini termasuk kecil ukurannya, maka sehari saja cukup untuk jalan-jalan berkeliling. Tak perlu menginap. Apalagi semua serba mahal disana.

Kami menginap di rumah seorang teman di Koeln atau Cologne, baru melanjutkan perjalanan dengan tiket akhir pekan hingga perbatasan. Disambung dengan tiket kereta hingga ibu kota Luxemburg. Kami baru mengetahui ada alternatif tiket lebih murah ketika sampai Luxemburg. Yakni dengan membeli tiket kereta yang berlaku di seluruh negara kecil ini. Pengetahuan ini membuat saya menyesal telah membeli tiket lebih mahal dari Jerman.

Pukul enam pagi kami telah bertolak ke stasiun utama Koeln. Pagi sekali, karena ingin mampir ke kota tua Trier. Perjalanan kereta api antara Koeln  menuju kota Luxemburg dengan kereta api ekonomi adalah empat jam penuh warna. Kereta api seakan bergerak menyusuri Sungai Rhein. Sama sekali tak membosankan. Dua kali kami berpindah kereta api di kota Koblenz dan Trier.

Rute paling spektakuler adalah Bonn – Koblenz. Kereta tumpangan kami meluncur di sisi Sungai Rhein. Tepatnya di daerah bernama Eifel. Ini bukan nama menara terkenal di Paris. Melainkan sebuah wilayah perbukitan menawan di bagian barat Jerman. Posisinya berbatasan dengan negara tetangga seperti Belanda, Belgia, serta Luxemburg.

Hanya dengan berkereta melalui rute ini rasanya sudah seperti berekreasi tanpa perlu mengunjungi secara langsung. Kereta meliuk-liuk di sepanjang sisi sungai dan perbukitan. Melalui perkebunan anggur, loreley alias bukit batu miring dekat Sankt Goarshausen yang terkenal akan legenda wanita cantik bernama Loreley, tempat kemah di pinggir sungai, patung berkuda besar di atas sungai, puri-puri di puncak bukit serta desa-desa dan kota tua lengkap dengan bangunan-bangunan kuno di dalamnya.

Menurut sebuah buku panduan wisata ini, daerah ini merupakan salah satu obyek wisata wisata favorit di Jerman. Disana, orang bisa berlibur sambil melakukan berbagai aktivitas seperti bersepeda, melakukan perjalanan kaki naik turun perbukitan sembari menikmati keindahan puri-puri kuno, berkemah di tepi sungai, dan menikmati keindahan alam bekas wilayah gunung berapi berupa danau dan bebatuan karang pembentuk perbukitan, masih banyak lagi.

Dari Koblenz menuju Trier, kami sempat melewati tepi Sungai Mosel. Namun dari sini, pemandangannya tak sespektakuler sebelumnya.

Tak ada pemeriksaan visa saat kami memasuki perbatasan negara Luxemburg. Hanya pemeriksaan karcis oleh kondektur. Rute Trier – kota Luxemburg agak membosankan. Kami lebih banyak melalui daerah pertanian luas serta desa-desa supermini yang jumlah rumahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Jarang kami lewati kota ataupun desa lebih besar.

Waktu telah hampir menunjukkan angka sebelas ketika kami memasuki stasiun pusat ibukota Luxemburg yang bernama persis dengan nama negaranya. Di stasiun kota bisa seperti layaknya stasun kota-kota kecil di Jerman. Sama sekali tak terlihat megah dan modern. Bahkan lift pun tak tersedia di sini.

Kami berempat berdiam diri sebentar di aula stasiun. Mencari informasi mengenai tiket kendaraan di dalam kota Luxemburg. Akhirnya kami memutuskan membeli tiket harian seharga kurang lebih 5 euro per orang.

Luxemburg adalah negara kecil di uni eropa dengan penduduk nyaris setengah juta jiwa. Prosentase warga asing di negara mini ini merupakan rekor Eropa, 37 persen. Terdiri dari warga keturunan Perancis, Jerman, Belgia, Portugis, dll. Di ibukota jumlah warga asingnya bahkan mencapai  50 persen.

Hingga tahun 1890, Luxemburg berbentuk mirip kabupaten di bawah kerajaan Belanda. Dan sejak 1890 memiliki dinasti tersendiri dari dinasti Nassau-Weilburg , ketika adipati Adolf mengambil alih kekuasaan dan berkuasa hingga kini.

Bukan masalah mudah mempelajari jalur bus dan angkutan dalam ibu kota Luxemburg. Kira-kira dua puluh menit lamanya kami berdiri di halte depan stasiun, berusaha memahami jadwal keberangkatan dan rute bus ke pusat kota. Saya menjadi tidak sabar, banyak mengomel tak jelas, akibat kekuranginformatifan segala informasi di papan halte.

Akhirnya setelah melotot agak lama, dan membandingkan dengan peta kecil di buku panduan wisata pinjaman dari perpustakaan kota, kami mendapat sedikit pencerahan. Paling tidak kami tahu bagaimana caranya berkendara umum menuju jantung kota.

Kami naik bus. Melewati gedung-gedung tua megah pusat perusahaan baja berskala dunia, daerah perdagangan, dsb. Kota Luxemburg terlihat lebih bersih dan teratur dibanding sebagian besar kota-kota di Jerman.

Kemegahan ibukota Luxemburg terekam akibat letaknya di dataran tinggi berbatu di atas lembah-lembah Sungai Alzette dan Petrusse. Lembah-lembah ini seperti mengelilingi kota ynag terletak di atas bukit. Ibukota dengan penduduk hanya 80 ribu ini di beberapa dekade terakhir telah beralih peran menjadi salah satu pusat keuangan dunia serta sentra institusi-institusi Eropa, tanpa kehilangan keunikannya.

Salah satu yang membuatnya spesial adalah dibangunnya lebih dari 100 jembatan penghubung di atas lembah. Pont Grande-Duchesse Charlotte, 85 meter di atas Alzette, memiliki panjang 230 meter, adalah lambang Luxemburg dan menjadi salah satu kebanggaan Eropa. Jembatan ini terbentang antara kota tua dan Kirchberg, kota baru modern dengan boulevard-boulevard lebar, yang seak tahun 1966 menjadi pusat institusi-institusi Eropa. Seperti Sekretariat Parlemen Uni Eropa, Bank Investasi Eropa, Mahkamah Agung Uni Eropa, dll.

Kami sampai di pusat kota setelah sempat kesasar saat naik bus kota. Sekali lagi, informasi di dalam bus kurang jelas bagi kami. Tak ada pemberitahuan mengenai setiap halte pemberhentian melalui pengeras suara seperti kebanyakan transportasi umum di Jerman. Kami berjalan kaki kembali menuju daerah pertokoan. Toko-toko di ibu kota Luxemburg berdiri megah. Berada di dalam bangunan kuno khas Eropa. Semuanya terlihat bersih dan terawat. Tak banyak pengunjung di hari Sabtu itu. Para pejalan kaki di pusat kota berdandan sangat rapi dan tampak elegan. Mencerminkan kesejahteraan mereka di atas rata-rata warga Eropa lainnya.

Sekitar sejam berkeliling kota, kami sampai di sebuah pusat rumah makanan. Mulai kedai pizza, restauran mahal, makanan khas Amerika, China, hingga kedai makanan siap saji ada disana. Kursi-kursi tempat makan bertebaran di luar restauran. Sedang ada pasar loak juga di tengah-tengah. Saya menyempatkan diri menuju pusat informasi turis di dekat situ serta menyantap bekal perjalanan sebelum melihat-lihat suasana pasar loak. Sementara, teman wanita kami memilih makan di McDonald.

Puas menikmati suasana pasar loak kami turun ke lembah nan cantik setelah sempat berfoto ria berlatar belakang jembatan terkenal di sana, Pont Grande-Duchesse Charlotte. Sungai kecil, perbukitan, bunga-bunga, bangku-bangku taman, bebatuan alam membuat perjalanan ini tak terlupakan. Pohon-pohonnya rindang. Dengan warna daun dan bunga berwarna-warni. Kamera kami bekerja hampir tiada henti. Mengabadikan keindahan lembah. Cuaca hari itupun sangat mendukung. Tak terlalu panas maupun dingin. Sebuah reruntuhan benteng dibangun diatas sebuah bukit batu. Tak lama kami menyusuri lembah. Melihat sebuah bus kota, kami pun menaikinya untuk kembali ke pusat kota. Dan segera kembali ke Jerman.

8 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: