Tepat pukul setengah satu, dua orang lelaki, satu sekitar 20 tahunan, satu lagi diatas lima puluhan, datang sambil membawa dua pasang lampu petromaks. Saatnya bergerak menuju terowongan. Mereka membawa kami melalui jalanan berbatu di tepi bukit, kira-kira seratus meter dari restauran.
Gerbang terowongan menjorok turun, seakan masuk ke perut bukit. Kedua pemandu meminta kami memakai jaket masing-masing. Suhu dalam terowongan berkisar 9 -10 °C. Informasi ini sudah kami dapatkan sebelumnya lewat internet. Sehingga kami pun sudah bersiap membawa jaket tipis dari rumah. Kedua pemandu berbicara dalam bahasa Belanda. Kami hanya mengikuti orang lain yang mulai memasang jaket masing-masing.
Ketika masuk, rombongan dibagi menjadi dua bagian. Satu bersama pemandu tua. Kami ikut rombongan pemandu muda. Terowongan bawah tanah Maastricht ini panjangnya berkilo meter. Namun dengan waktu sekitar sejam, hanya melewati sedikit diantaranya.
Kami masuk melewati gerbang kayu, di beberapa puluh meter pertama, langit-langit terowongan sangat rendah. Seingga kami mesti berjalan sambil menunduk. Semakin lama langit-langit makin tinggi. Dua meter bahkan di titik tertentu langit-langit bisa mencapai lebih dari 6 meter. Emak berjalan sambil meraba sebagian permukaan terowongan. Dinding dan langit-langitnya seperti terbuat dari pasir halus yang dipadatkan. Demikian juga lantainya. Sebagian dibentuk menjadi batu-batu bata raksasa.
Di satu titik, pemandu berhenti. Dalam bahasa inggris, dia memperkenalkan namanya. Marek. Namun selanjutnya beliau berbahasa Belanda saja. Kami tangkap artinya sedikit-sedikit. Saat yang lain tertawa, kami bengong. Atau saat rombongan berhenti untuk mendengarkan penjelasan, kami sibukkan diri memotret isi terowongan.
Menurut informasi di internet, formasi labirin dalam terowongan dengan lebih dari 20 ribu saluran ini terbentuk sebagai hasil penambangan marl (kalsium karbonat) sejenis batu gamping. Beberapa seniman meninggalkan jejaknya di dalam sini. kami sempat menyaksikan berbagai macam lukisan di dinding-dinding terowongan.
Terowongan ini pun tak hanya berfungsi sebagai tempat penambangan, melainkan pula sebagai tempat persembunyaian saat perang, termasuk perang dunia kedua. Berbagai fasilitas untuk mereka yang bersembunyi pun masih ada bekasnya disini. Seperti ruangan-ruangan yang berfungsi sebagai tempat tidur, juga sebuah tungku besar untuk memasak. Sejak tahun 1974, St. Pietersberg menjadi cagar budaya dan alam yang dilindungi keberadaannya.
Di satu titik, Marek mengajak kami untuk sedikit bereksperimen. Dia akan mematikan kedua petromaks yang dibawanya. Kami semua akan merapat ke sisi kanan gua, tangan menempel di dinding gua. Lalu kami akan berjalan meraba-raba tanpa cahaya. Gelap sekali. Beberapa cekikikan. Kami harus berhati-hati agar tak menabrak orang di depan. Buat Bapak lebih susah lagi. Sebab beliau juga membawa kereta dorong Adik. Adik sendiri untunglah tidak menangis di kegelapan. Untung hal ini cuma berlangsung tak lebih dari lima menit.
Setelah kurang lebih sejam berada dalam labirin, kami kembali menuju ke gerabng tempat kami masuk. Tak lupa kami memberikan sedikit buat sang pemandu, meski sebagian besar keterangannya tak kami mengerti. Namun berada dalam labirin tersebut telah memberi sensasi baru.
[…] (Bersambung) […]