Makin siang hari makin panas. Padahal bulan Februari adalah musim dingin di Maroko. Kami membuka jaket sejak lama. Volubilis – Moulay Idriss Zerhoun hanya berjarak 2 kilometer-an. Kota kecil di atas bukit ini juga dikenal dengan sebutan Kota Moulay Idriss. Disinilah ulama pendiri Kerajaan Maroko tersebut dimakamkan.
Taksi sewaan hanya boleh parkir di daerah terminal. Tempat ramai, mirip terminal di tanah air. Bus-bus antar kota berbaur dengan taksi. Suara motor berderum-derum, asap kendaraan mengepul. Berbaur dnegan teriakan kenek bus memanggil-manggil calon penumpang. Sekitar terminal adalah pasar tradisional.
Barang dagangan menumpuk di mana-mana. Hasil bumi terutama. Kurma, zaitun, wortel, jeruk. Seorang bapak mendekati rombongan kami. Menawarkan diri sebagai pemandu. Adik-adik mahasiswa menolak. Seperti pemuda arab di Fes el Bali, si Bapak 40-an tahun ini pun keras kepala. berkeras menjadi pemandu kami ke makam Moulay Idriss. Beliau berjalan di depan, sesekali berhenti. Khawatir kehilangan rombongan kami. Kami berjalan di antara pedagang dna pengunjung pasar. Mendaki di jalanan sempit.Di bagian atas, banyak warung makan berdiri. Ssebagian besar sangat ramai oleh pelanggan. Kami datang tepat saat jam makan siang.
Pak sopir datang mengusir Bapak pemandu wisata tak resmi. Kami putuskan makan dulu di sebuah warung makan yang menjual sate khas Maroko, kiftah dan brochettes.
Kompleks makam Moulay Idriss I terletak sedikit di atas kompleks pasar dan warung. Di luarnya banyak kios penjual cinderamata. Hari itu tak terlalu ramai masuk ke kompleks makam. Bapak sempat dikira non muslim oleh petugas di pintu gerbang. Di dalam dan sekitar kompleks, pengemis tua datang silih berganti. Ada yang hanya duduk-duduk, ada pula ynag aktif mendatangi hampir setiap pengunjung. makam pendiri kerajaan Maroko ini adalah tempat ziarah yang sangat terkenal dan ramai dikunjungi. Mengingatkan Emak akan makam Bung Karno di Blitar. Bedanya, disekitar makam Moulay Idriss I dibangun masjid.
Bentuk kompleks masjidnya mirip dnegan masjid-masjid lain yang sempat kami singgahi. Sedikit bedanya, ada beberapa ruangan besar di sini. Salah satunya ada bangunan makam. Tak boleh memotret di dalam ruangan bermakam. Laki-laki dan perempuan boleh masuk, tapi terpisah di dalam. Sebagian besar makam tertutup kain hijau dan bertuliskan kalimat berbahasa Arab. Satu dua peziarah tampat serius mengelus-elus kain penutup makam.
Menurut satu artikel, baru-baru ini saja kota kecil di atas bukit ini terbuka untuk orang non muslim. Bertahun lalu, non muslim bahkan dilarang menginap di sini. Akan tetapi saat ini sudah mulai bermunculan hotel-hotel dan restoran untuk wisatawan. Akan tetapi, selama di sana, tak kami temui satu pun turis berkulit putih.
[…] Moulay Idriss Zerhoun, kami jatuh cinta pada buah zaitun setempat. Rasanya tak seasam zaitun kalengan yang biasa kami […]