Kami susuri tembok kota tua Nikosia. Hari yang panas. Apalagi di jalanan yang kami lewati jarang pepohonan. Lebih banyak lewat pinggir pertokoan.
Senangnya, Emak perhatikan bagaimana penuduk lokal beraktifitas. Di satu taman misalnya. Jalanan di sisinya penuh taksi. Emak simpulkan orang-orang yang duduk di bangku taman adalah para sopir taksi. Sambil menunggu penumpang, mereka main catur. tak hanya satu dua orang. tapi semua bangku dan meja taman penuh pemain catur. Seperti sebuah kompetisi masal saja. Di dekat satu monumen, kami bertemu rombongan anak sekolah. Sepertinya masih SD usia mereka sekira 7-10 tahun. Uniknya, tiap anak menenteng tas kresek.
Di bekas bastion Caraffa, kami ngiyup, berteduh. Apalagi di dalamnya ada kipas angin besar sekali. Anak-anak langsung nongkrong di depannya.
Cincin kota tua Nikosia dilengkapi dengan 13 bastion. Mendatangi museum yang bekas bastion itu, kami bisa perkirakan berapa besar satu bastion. Tembok batunya sangat tebal dan terlihat kokoh. Sayangnya kekuatan temboknya tak bisa menahan gempuran tentara Turki Usmani tahun 1570. Istirahat sejenak di bawah pohon seberang bastion, kami lanjutkan perjalanan. Inginnya cepat-cepat. Lewat gymnasium tua, kompleks istana keuskupan, jalanan sepi, sebelum tiba di Masjid Omeriye.
Karena pas di waktu salat dhuhur, kami sembahyang sekaligus istirahat. Memakan nasi bekal sendiri. Kenyang dan irit. Tempat salat perempuannya jarang dikunjungi sepertinya. Debu lumayan tebal bersarang di karpet. Botol-botol minuman bekas tergeletak di meja. Sofanya lusuh. Untung toiletnya relatif bersih. Dibanding toilet di dekat tempat masuk utama masjid.
Sempat pula keluar ide Emak untuk menengok perbatasan. Ada bekas gang tertutup tumpukan drum dan kawat berduri. Tiga meter di depan kami adalah Siprus Turki. Rumah-rumah yang sebelumnya bertetangga dnegan bagian selatan Nikosia. Kami tak tahu kalau tak boleh memotret. Baru saja setelah jepret, datang empat polisi memarahi. Emak sudah balik kanan, tak sempat melihat polisi-polisi tersebut.
Kami jalan kaki menembus buffer zone. Trotoar di bawah. Kanan adalah dataran lebih tinggi. Dengan pagar berduru lebih tinggi lagi. Sekeluarga Turki rupanya sedang mengintip di sela-sela pagar. Melihat rombongan kami yang wanitanya berhijab, ibu-ibu 30 tahunan menyapa bahagia. “Merhaba”, katanya lantang. Kami melambaikan tangan sembari tersenyum.
Di buffer zone juga ada larangan memotret. Emak baru baca larangannya setelah puas membidik beberapa foto. Sesekali terlihat mobil tentara PBB sedang patroli. Walau suasana kedua belah Siprus sudah mereda, melihat tentara perdamaian di wilayah ini seperti merasai atmosfir perang saja. Apalagi dengan pagar tinggi berduri seperti ini. Agak-agak seram membayangkan jika tiba-tiba ada desingan suara senjata. Aih… Emak mulai lebay membayangkan diri jadi jurnalis perang.
[…] (bersambung) […]
[…] (sambungan dari sini) […]