Emak bayangkan suasana perbatasan yang seram. Polisi-polisi imigrasi berwajah mirip inteligen KGB. Polisi Siprus selatan hanya menanyai kewarganegaraan kami, melirik satu per satu paspor, sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Walau ramai orang, sebab loket imigrasi banyak, layanan di Siprus Turki juga cepat. Tinggal mengisi formulir berisi nama, nomor paspor dan kewarganegaraan. Stempel dibubuhkan di secarik formulir berukuran kira-kira seperempat ukuran A4.
Kami sangat bersemangat. Berbangga diri. Merasa sangat berprestasi dalam sehari bisa mengunjungi dua negara sekaligus. Apalagi Dede. Yang sesampai di Jerman nanti bertekad melaminating formulir Siprus Turki dan memajangnya di dalam apartemen.
“Pemanasan sebelum ke Turki sebenarnya, ya,” komentar Emak.
Beda sangat suasana di Nikosia utara. Bahasa beda, rumah-rumah terlihat kumuh, jalanan tak terawat. Sekilas tampak lebih terbelakang. Bahkan sekali kami mesti berjalan memutar akibat jalanan tertutup air.
Di lain pihak, tak jarang pula kami melihat mobil-mobil Mercedes keluaran terbaru melenggang di jalanan. Juga wanita-wanita berbusana sangat terbuka. Tak kalah dengan belahan lain Eropa.
Sampai di pasar ramai, kami istirahat sebentar. Hari panas dan entah telah berapa km kaki kami melangkah menyurutkan tenaga. Kami berniat melihat obyek wisata utama saja.
Büyuk Han memang sebagus cerita-cerita dalam buku panduan dan informasi internet. Lebih luas dari perkiraan Emak. Emak lebih banyak duduk, sementara Bapak dan Adik naik ke lantai atas dan memotret sekeliling. Tak minat pula Emak membeli cinderamata. Untunglah. Kata Dede, harganya jauh lebih mahal dibanding di selatan. Dia sempat pula kena marah seorang penjual perempuan ketika mencoba menawar barang.
Suasana turisme lebih kental terasa di bagian utara ini. Meski berbagai informasi mengatakan bahwa harga barang di sini lebih murah, kenyataannya tak demikian. Makanan dipatok harga turis. Kami tak berniat beli apa-apa. Sampai keluar dari Büyük Han melihat seorang bapak tua penjual jus delima. Penasaran melihat warung ramai ini, kami ikut mengantri.
Jus delima alami. Dua setengah euro per gelas plastik besar. Segelas berisi sekitar 5 delima besar. Delima dibelah dua, dipres secara manual. Sang Bapak benar-benar mengisi gelas pesanan hingga penuh. Karena dipres bersama kulitnya, terasa manis berkelat.
“Enak banget. Aku suka,” kata Mbak Erna.
Highlight hari itu adalah Masjid Selimiye. Bekas sebuah katedral. Kami hanya masuk sebentar karena sudah salat di Masjid Omeriye di selatan. Masjid satu ini lebih megah dan sangat bersih di dalamnya. Sempat terasa aneh di perasaan. Biasanya masuk sebuah katedral asli dalamnya berkesan temaram, berisi bangku-bangku dan ornamen-ornamen hingga lukisan-lukisan dinding, ini masuk ke ruang luas, lapang, terang.
Perpustakaan Sultan Mahmud di belakangnya sedang tutup, demikian pula Gedung Lusignan dan masjid kecil di belakang Selimiye. Kami kembali lagi ke arah pasar, mencari Jalan Ledra untuk menyeberang kembali ke selatan.
[…] (bersambung) […]