Dahulu ketika masih tinggal di rumah orang, kopi dan teh selalu tersedia di dapur. Sebelum air mineral dan minuman instan menyerbu rumah-rumah, kedua jenis minuman tersebut yang jadi andalan untuk menyuguhi tamu. Atau untuk konsumsi sendiri di rumah. Pagi-pagi usai salat Subuh, keluarga kami menyempatkan diri mengobrol sebentar. Papa mama menyeruput kopi hitam sambil makanan aneka jajan pasar.
Waktu itu kopi instan pun belum marak. Hanya satu dua merek kopi Emak kenal. Namun mama Emak lebih suka beli kopi bubuk dalam kemasan plastik tanpa merek. Yang biasa dijual di pasar tradisional. Kopi kampung murah meriah.
Cara membuatnya pun sederhana saja. Tinggal rebus air. Sementara itu, campur beberapa sendok teh bubuk kopi plus beberapa sendok teh gula di dalam gelas. Setelah air mendidih, tuang ke dalam gelas. Hingga nyaris penuh. Gelasnya pakai gelas belimbing. Jika mau susu, tambahkan susu kental manis. Tunggu sebentar, jangan langsung minum. Tunggu sampai ampas kopinya agak mengendap.
Setelah kuliah, baru Emak kenal dan coba-coba kopi instan. Walau sampai sekarang, Emak bukan penghobi minum kopi. Emak minum kalau sedang kepengen atau pas jalan-jalan dan ada yang ngajak ngafe. Atau buat doping biar bisa melek.
Merantau ke negeri pecinta kopi, Emak baru menyadari dan mengetahui bahwa ada lebih banyak cara complicated sekaligus mudah dalam membuat secangkir kopi. Yup, Jerman adalah negerinya pecinta kopi. Mau tahu berapa rata-rata per kapita orang Jerman minum kopi? Seratus lima puluh liter per tahun. Kalau 1 cangkir isinya rata-rata 0,25 liter, maka mereka minum 600 cangkir setahun. Atau hampir dua cangkir setiap hari. Luar biasa buat sebuah negeri yang kopinya impor.
Di kantor-kantor Jerman biasanya tersedia dapur. Alat dapur paling utama, adalah alat pembuat kopi. Jika tak tersedia dapur pun, mesin pembuat kopi sering kita lihat di meja pekerja. Mereka menggunakan mesin untuk membuat kopi sendiri atau menjamu tamu kantor. Di rumah-rumah pun mesin pembuat kopi seolah menjadi penghuni tetap dapur. Jarang sekali ada dapur tanpa mesin kopi.
Baru di sini Emak kenalan dengan bermacam mesin pembuat kopi dari berbagai merek. Kalau ke toko elektronik besar, ada satu rak panjang khusus mereka dedikasikan untuk mesin kopi. Mesin-mesin ini berbeda bentuk kopi yang dipakainya. Ada ynag pakai biji kopi, kopi bubuk, kopi dalam pad, yang paling baru kopi dalam kapsul.
Mesin kopi paling mahal biasanya pakai biji kopi. Biji kopi yang dibeli di supermarket atau tempat persangraian kopi biasanya sudah matang. Tinggal dimasukkan ke dalam mesin. Sekali memencet tombol, biji kopi akan digiling, dimasak bersama air, dan menjadi kopi. Hasilnya akan ditampung dalam sebuah teko. Mesin yang lebih canggih, yang biasa kita temui di hotel bisa mengeluarkan berjenis kopi: cappucino, cafe au lait, espresso, kopi kental, dsb.
Yang banyak ditemukan di rumah atau kantor adalah alat pembuat kopi lebih sederhana. Ia pakai teko juga. Kopinya pakai kopi bubuk. Jangan khawatir, kopi bubuk beraroma wangi bisa dibeli di banyak toko. Sampai di pom bensin pun tersedia. Selain kopi bubuk, kudu pakai saringan khusus juga. Terbuat dari kertas.
Proses pembuatannya, air yang dididihkan di mesin, akan mengalir ke bubuk kopi. Hasil saringannya masuk ke dalam teko. Kami punya mesin kopi jenis ini. Sayangnya volume tekonya relatif besar. Sekitar setengah liter. Dulu Bapak sekali minum bisa habis seteko itu. Sekarang sudah tak pernah dipakai lagi. Oh ya, kami pernah gagal ngopi gegeara kehabisan saringannya. Pas nonton salah satu episode Sex and the City, ada adegan teman lelaki Carrie Bradshaw menggunakan potongan tissue kamar mandi untuk saringan. hehehe. Mungkin bisa dicoba kapan-kapan.
Mesin kopi yang sering dipakai di rumah sekarang, pernah booming juga. Senseo dari Phillip. Kopi bubuknya berada dalam wadah kertas yang disebut pad. Aromanya punya banyak pilihan. Mesin kami sederhana saja. Gak ada wadah khusus susu. Senseo terbaru ada wadah susu dan bisa dipakai membuat macam-macam kopi juga. Mesin ini awet juga. Satu pad bisa menghasilkan 1-2 cangkir. Prosesnya gak sampai 5 menit.
Apakah kami tidak pernah bikin kopi tubruk atau kopi instan biasa? Masih dong! Selalu ada persediaan kopi bubuk mauun instan di lemari dapur. Sesekali ingin juga Bapak atau Emak menikmati kopi a la orang tua kami dulu.
Lalu, pakai mesin-mesin kopi itu ada perbedaan aroma, gak? Entahlah. Yang jelas proses bikin kopi jadi lebih mudah dna cepat saja. Masalah aroma, setiap merek kopi pun beda-beda. Apakah mesin mempengaruhi? Itu kudu ditanyakan ke ahlinya. hehe.
Aku jaraaang banget minum kopi. Kalaupun minum maunya kopi hitam bukan kopi sachet. Temen kantorku dulu ada yang addict sama kopi padahal dia cewek hihi, kalo pusing dan ngopi langsung sehat haha
Aku pertama kali pake alat pembuat kopi kayak gitu waktu ngantor di Singapur dulu, mbak.. Cuma saya agak kurang suka ama rasa kopi yang dibikin pake alat itu. Saya rasa ini bukan karena alatnya, tapi lebih pada jenis kopi yang mereka pakai. Jadi saya tetep sangu kopi dari Indonesia, dan bikin sendiri pake cara manual 🙂
jantungku langsung berdetak kencang kalau minum Kopi mbak. Trus mual mual. aku Addict sama Teh Hijau. Cerita Papa Mama sampeyan, jadi inget Ayah.sama, tiap pagi nyruput Kopi pakai gelas belimbing trus ditaruh di lepek. trus disruput… hmmmmm
Cek Yan: Aku minum kopi sachet kalau sedang pergi. Lumayan, irit nggak perlu ngafe… hehehhehe. Kalau addict kopi, biasa di sini. Terutama di kantor2. Suamiku dulu sempat kecanduan juga. Di kantor dia minum sekitar enam cangkir. Trus pagi pas sarapan di rumah, masih minum. Apalagi orang sini, udah kopinya suka pekat, gak pakai gula lagi. Paitttt..
@Mbak Dee An: Aku juga baru tahu, Mbak. Cara menyangrai, lamanya, suhu yang digunakan, smeuanya berpengaruh pada aroma kopi, Mbak Dee An. Jadi jadi biji kopi yang sama, aromanya bisa beda-beda. Di Jerman dulu banyak banget penyangraian kopi kecil. Sekarang banyaknya di pabrik2 gede.
@Zulfa: aku kadang2 iyo. Ndredeg. Yen aku mungkin karena kopine terlalu pekat. Trus ngombene kakehan. Yen cumak sithik, alhamdulillah rapopo. Teh hijau yo enak, iku. Jare teh hijau plus jeruk nipis/lemon iso melangsingkan, Zulfa. 🙂
Wah ternyata budaya kopi di jerman tinggi ya mba sampai tiap rumah pasti ada alat pembuat kopi. Kalau disana jualan kopi bubuk gak laku kali ya 😀
Mungkin tiap mesin pembuat kopi itu berbeda pada cara ‘mengaduknya’ mbak, makanya aromanya bisa beda 😀
buat saya so far gak ada yg seenak kopi kapal api special..diseduh di cangkir di minum dikit 2 enjoy…kemana 2 kalo lg kerja oversea selalu bawa bekal kopi kapal api.
Saya nggak berani minum kopi setiap hari sebab dasarnya saya susah tidur, kalau minum kopi bisa tahan melek mpe subuh.
Minum kopi kalau pas pusing atau ngantuk di perjalanan saja.
Langsung Nggolek Jeruk Nipis 🙂
@Zahra: yup… pada seneng ngopi di sini, Zahra. Kadang orang sedia buat tamu juga. Eh, kopi bubuk masih laku banget, lho. Kan banyak mesin kopi yang pakai kopi bubuk. 🙂
@Agung: sipppp… cinta produk Indonesia, yo Pak. Yen mudik nyetok akeh dong? Opo nang Singapura didol pisan, Pak kopimu iku?
@Mbak Rien: mengaduknya pakai tekanan tertentu, Mbak Rien. Sepertinya tiap alat memang punya tekanan kerja tertentu, jadi, berpengaruh pada bereaksinya air dengan kopi. Wuihhh… ngomong apa aku ini? hehe
@Mas Ihwan: wuihhh gitu ya, Mas? Kalau saya gak berani minum setelaj jam 3 sore. Kalau nekad bakal begadangan. hehehe
@Zulfa: Ayo ndang praktik.. 😀
setiap kali nyoba ngopi ujung-ujungnya pasti nggak bisa tidur.. kalau yg pake coffe maker biasanya kepekatannya maksimal dan lebih enak sampai se ampas2nya ya.. ^_^
Eh, kadang aku merindukan minum kopi pakai ampas, Ma. Pas di Bosnia kami nyoba kopi khas sana. Cangkirnya ini banget. Kopinya pekat. Ampasnya setengah cangkir sendiri. hehehehe