Pegunungan Eifel dekat rumah, betapa sering kami jelajahi. Mendaki gunung, menuruni lembah, mendayung di danau Rur, ataupun sekadar mengunjungi kota tua cantik seperti Monschau sudah pernah kami lakukan. Masih banyak lagi aktivitas lain, dalam maupun luar ruangan bisa kita lakukan di salah satu daerah wisata di Jerman ini.
Semingguan terakhir, cuaca Jerman kelam. Angin berembus kencang. Hujan turun hampir tanpa jeda hari. Musim gugur mulai mengetuk pintu kami. Kami gelisah, ada tamu di rumah yang pastinya ingin menikmati keindahan sekitar rumah. Sayangnya cuaca dingin memaksa mereka untuk lebih banyak tinggal di rumah. Sehingga di akhir minggu, kami ajak mereka menuju Pegunungan Eifel.
Sebelum menikmati suasana asri pegunungan, kami ajak dulu mereka ke tempat tak biasa. Keluarga pelancong sendiri belum pernah menjejak sana. Kata ramalan, cuaca hari itu bakal mendung. Kemungkinan terjadi hujan, rendah. Bapak memacu mobil ke arah selatan. Lalu desa-desa dnegan beberapa rumah tua dan rumah petani berhalaman luas. Meliuk-liuk di jalanan pegunungan. Di sela-sela hutan, dan lahan pertanian luas.
“Ini mah, seperti jalanan di puncak Bogor, minus macet,” komentar Risyan.
Jalanan seperti ini mengundang kantuk. Apalagi di luar mendung dan dingin. Alat GPS menunjukkan belok kiri dari Gemuend. Emak merasa, pernah melewati daerah tersebut ketika hendak ke Hellenthal. petunjuk GPS sungguh jelas, alamatnya segera kami temukan. Sebuah bangunan bernuansa hijau menyolok di satu desa di Kall, Soetenich.
Samping bangunanya sedang direnovasi. Mobil kami sempat susah masuk tempat parkir luas di belakang bangunan. Seorang pria berbahasa jerman fasih menyambut di belakang.
Tak banyak mobil dan orang siang itu. Suami langsung mengucapkan salam ke dua lelaki ynag sedang berbincang di belakang. Bersalaman, sambil menjelaskan maksud silaturahmi. Anak-anak langsung lari ke tempat bermain berpasir dan punya dua ayunan kayu. Emak memindai isi kompleks. Mulai bangunan utama dengan masjid, tempat bermain, lapangan, tenda putih dan bangunan lain di bagian belakang. Kaligrafi menghiasi dindingnya.
“Di belakang, ada dapur di mana kalian bisa minum dan makan bebas,” kata seorang lelaki menjelaskan isi kompleks.
Azan zuhur berkumandang pelan dari dalam bangunan. Emak dan Ima dengan ragu membuka pintu bertulis ‘ladies only’. Di sebelah kiri pintu sebuah ruangan penuh tempat tidur bertingkat. Ada seorang wanita berkerudung, cuek mendengar pintu terbuka. Kami masuk perlahan, mencari tempat wudu. Memang ada di dalam sana. Si wanita bilang assalamualaikum tanpa menoleh, masuk ke sebuah ruangan dekat tempat wudu.
“Kayak penginapan gratis buat musafir ya, Mbak,” kata Ima.
Bagian dalam ruangan wudu mirip suasana pondok pesantren yang pernah Emak kunjungi. Versi lebih bersih dan rapi. Deretan toilet, tempat wudu dan kamar mandi. Saluran air buangannya terbuka, mengalir ke ruang sebelah. Mungkin toilet lelaki.
“Nih, handuk,” wanita berkerudung melungsurkan handuk kecil berwarna hijau.
(Bersambung)
tak sabar menunggu kelanjutan kisahnya. oh ya, yang maksudnya Emak di web ini adalah Mbak Ira ya?
kapan bisa seperti Mbak Ira, keliling-keliling dunia? hehehe (mimpi dulu, biar semesta mendukung, Then Allah yang ijinkan untuk terkabul). Ditunggu kelanjutannya Mbak Ir. Di tag dong akunya kalau udah di posting..
iya, betul Mbak Rebellina. Di banyak artikel di blog ini, saya membahasakan diri saya Emak… 🙂
tampat apaan?kok ada masjid?
markas tarikat Naqsabandiyah