Keliling Kota Bertuah
Saat sedang berada di Pekanbaru, alangkah baiknya jika mencoba berkelana keliling kota. Waktu berada di sana Agustus bertahun lalu, saya tak menyiakan kesempatan untuk berkenalan dengan ibukota Propinsi Riau ini. Bu Ninik, seorang dosen senior di Universitas Islam Riau berkenan menemani seharian. Menjadi pemandu sehingga gambaran mengenai kota ini jadi lebih jelas.Β
Kota ini cukup aman dijelajahi seorang diri dengan kendaraan umum. Trans Metro Pekanbaru merupakan transportasi umum relatif murah, aman dan nyaman. Info mengenai trayek sudah tersedia di internet. Jika masih bingung soal tujuan, bisa bertanya langsung ke sopir bus tersebut.
Pekanbaru mengalami perkembangan fisik hebat setelah diadakan PON beberapa tahun lalu. Gedung-gedung olah raga baru dibangun, jalanan diperbaiki, kondisi kota dipercantik, bandara diperbesar. Emak sampai pangling melihat bandara Sultan Syarif Kasim II yang mulanya kecil dan sesak itu menjelma menjadi apik, lapang dan nyaman.
Venue Pekan Olah Raga Nasional paling spektakuler di Riau adalah stadion utama. Terletak di kampus pusat Universitas Negeri Riau. Stadion ini terbesar kedua di tanah air, setelah Gelora Bung Karno.Β Berkapasitas sekitar 40 ribu penonton.
Wisata Budaya Melayu
Kota ini dulunya bernama Senapelan. Ketika Kerajaan Siak Sri Indrapura berkembang, Senapalen ikut berkembang. Salah satu sultan bernama Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah atau Sultan Alam (Sultan Siak ke-4) menetap di Senapelan. Membangun istana di Kampung Bukit, dekat perkampungan Senapelan. Beliau berinisiatif untuk membuat Pekan di Senapelan, tapi tak berkembang. Putranya, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Sultan Siak ke-5) merintisnya di tempat baru, di sekitar pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Selanjutnya pada hari Selasa tanggal 21 Rajah 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), nama Senapelan diganti namanya menjadi “Pekan Baharu” selanjutnya diperingati sebagai hari lahir Kota Pekanbaru. Mulai saat itu sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer sebutan “Pekan Baharu”, yang dalam bahasa sehari-hari disebut Pekanbaru. Sejak 20 Januari 1959, Pekanbaru menggantikan Tanjung Pinang sebagai ibukota Propinsi Riau.
Sebelum menjelajah kota tua Pekanbaru di Senapelan lama, kami salat Ashar di Masjid Raya. Masjid tertua di Pekanbaru. Dibangun pada sekitar abad 18 masehi, saat Sultan Siak Sri Indrapura 4 dan 5 memegang tahta. Masjid ini sempat berkali berganti nama dari Masjid Alam, Masjid Alam, dan Masjid Sultan. Setelah dibangun kembali,Β tahun 1935 masjid ini resmi disebut sebagai Masjid Raya.
Masjid Raya sedang dipugar ketika kami kemari. Bangunan dua lantai ini belum dicat. Pintunya kayu berukirnya masih terbungkus plastik. Bentuknya konon tidak sama dengan aslinya. Gerbangnya yang berwarna biru tua dari keramik berhiaskan kaligrafi masih utuh.
Persis di sebelah masjid, adalah kompleks makam Marhum Pekan atau kompleks Kuburan Raja. Adalah situs bersejarah, dimana kedua sultan Siak Sri Indrapura, sultan ke 4 dan 5 dimakamkan. Di dalam sebuah bangunan beralas marmer. Juga anak menantu dan keluarga sultan. Seperti makam Sayid Osman Sahabuddin, menantu Sultan Alam. Pembawa darah arab bagi keturunan Kerajaan Siak. Istrinya, Tengku Embong Badariah juga dimakamkan di kompleks. Bersama ibundanya, Sultana Khodijah atau Daeng Tijah, keturunan opu-opu Bugis penguasa Kerajaan Riau Lingga. Di bagian luar terdapat banyak makam lainnya, milik syahbandar serta kerabat sultan lainnya.
Wisata Belanja
Di kecamatan Senapelan sekitar kompleks Masjid Raya dan Kuburan Raja, ada kios-kios ban dan mebel beratap seng. Tak serapi dan sebersih pusat kota. Tujuan kami berikutnya adalah Pasar Bawah alias Pasar Turis. Pasar ini didominasi warna hijau-kebiruan, tanaman palem tumbuh di sisinya. Daerah ramai penuh dengan kendaraan bermotor dan ribuan manusia. Di sekitrrnya adalah toko-toko karpet, barang elektronik dan lain-lain, tak kalah ramai oleh pelanggan.
Konon pasar bawah ini terkenal di antara pengunjung kota Pekanbaru. Mengunjunginya menjadi semi wajib. Dia adalah salah satu pasar tertua. Dulunya berbentuk pasar tradisional. Setelah terbakar diperbesar dan dipercantik.
Di lantai dua kami disambut para pedagang kain, songket, taplak meja, kain, aneka asesoris dan masih banyak lagi. Jalanan pasar agak sempit. Apalagi banyak pengunjungnya. Selain itu, di sini jual aneka keramik yang banyak didatangkan dari luar negeri. Kami mengantri untuk membeli penganan ringan dari negeri jiran. Aneka biskuit, puding buah, keripi, roti, dijual dengan harga relatif miring.
Bagi mereka yang ingin membeli cinderamata Pekanbaru seperti gantungan kunci misalnya, di sini lebih murah. Saya lihat barang yang mirip di bandara, harganya berlipat. Sebelum meninggalkan pasar, kami sempat lewat sebentar di lantai paling dasar. Lewat penjual ikan-ikan kering dan makanan ringan. Baunya sedap sekali di sini. Beberapa penjual berusaha menawari kami ikan-ikan selais kering. Ikan ini termasuk makanan khas orang Melayu.
Berkendara di daerah Pecinan, kami teruskan menjelajah sebagian kota tua. Menurut Mbak Ninik, inilah daerah tertua di Pekanbaru. Beliau menunjukkan satu bangunan losmen tua unik. Catnya berwarna-warni dengan spanduk-spanduk merah menyala. Masuk ke dalam, kami temukan deretan ruko, namun unik. Bentuknya mirip, bangunan lantai atas dicat warna-warni dengan spanduk dan deretan lentera warna merah menyala pula. Kami berdiskusi tentang kota-kota tua Eropa. Yang biasanya dipelihara dan dijadikan obyek wisata. Berkhayal, seandainya ada yang peduli dan dipercantik, bukan tak mungkin jika kota tua Pekanbaru bisa jadi atraksi wisata menawan.
Agar dapat melihat sebagian Sungai Siak, kami teruskan berkendara di atas Jalan Ring Road. Si Mbak meneruskan cerita tentang sungai terdalam di Indonesia ini. Menceritakan bagaimana kehidupan warga di rumah-rumah panggung berbahan kayu yang sering terkena banjir jika Sungai Siak meluap. Perhatikan garis pekat di depan rumah kayu tersebut, ujar beliau. Itu adalah bekas banjir. Menuju Rumbai, banyak kami temukan pengrajin rotan. Rumbai sendiri adalah kawasan eksklusif, tak bisa kami masukin tanpa ijin.
Sehari di Pekanbaru sungguh mengesankan. Tak saya sangka kota ini menyimpan potensi wisata budaya besar. Tak sia-sia memanfaatkan waktu untuk menjelajahinya.
*Pikiran Rakyat*
Belum menginjakkan kaki di Pekanbaru. Menarik, ternyata Pekanbaru pernah berada dibawah kesultanan. Baru tahu π
@Zulfa: Yup, kotanya menarik. Banyak masjid2 cakep dan bisa kenalan sama budaya melayu.
Desain masjidnya unik ya, mba Ira. Bener kata mba, ada temen juga yang bilang kalo budaya melayunya masih kental karena bekas kesultanan. Aku penasaran ikan selais kayak apa. π
Masih menyimpan mimpi menginjakkan kaki di sana. Sumatra pokoke kudu π Aamiin
@Ila Rizky: Ikan selais itu ikan diasap, La. Rasanya khas. Aku suka yang digoreng garing.
@Lestari: Iyo harus kuwi, Tar. Aku yo nembe tutuk Riau karo Sumbar. Semoga propinsi lain ndnag nyusul. aamiin..
Padahal sama-sama Riau ya, meski yang satunya Riau daratan yang satunya lagi Kepulauan Riau, tapi aku belum sempat mampir di Pekanbaru….
@Mbak Dee An: Sama2 Rau tapi saling jauhan, yaks…. Aku juga pengen ke Kepri belom kesampean.. π
Ikan selais. Jadi ingat masakan favorit mamaku. Biasanya digulai asam pakai belimbing wuluh dipotong potong. Dagingnya yang tadinya keras jadi empuuuuk dan gurih π
@Mbak Rien: cuma bisa mbayangin sambil ngeces…. π
Kota ini ibaratnya selemparan batu aja dari Palembang, tapi belom berkesempatan ke sini nih >.< InsyaAllah bakalan ke sana, karena udah kepalang punya target setiap tahun mengunjungi 1 kota baru di Indonesia π
@Cek Yan: semoga targetnya tercapai, ya… Btw, dah ada penerbangan langsung dari Palembang ke Pekanbaru?