Menggunakan tiket karnaval, Emak menunjungi Köln dan Bonn. Menyaksikan aneka tingkah polah manusia di saat pesta rakyat. Ya, karnaval di Jerman Emak anggap seperti pesta rakyat. Semua orang berpesta. Di rumah, di kantor, di institusi-insitusi, di sekolah, di dalam tenda-tenda yang didirikan khusus, di jalan raya, di lapanga terbuka. Orang berekspresi lewat kostum yang dikenakannya.
Saat itu kondisi Emak tak terlalu fit. Batuk, demam, dan flu sedang melanda. Banyak orang sakit. Anggota keluarga pelancong bergantian kena. Namun tiket sudah terbeli, niat sudah Emak pancangkan. Emak ingin belajar sesuatu dari sini.
Selama ini bagi Emak, menulis belum jadi profesi utama. Baru dalam tahap mengisi kesenangan. Ada target, namun menurut Emak masih belum banyak. Nulisnya pun sambil santai. Disambi macam-macam. Dari disambi masak sampai disambi berhaha-hihi di media sosial. Seringnya DL ditentukan sendiri. Mau selesai satu artikel sehari bisa. Mau satu artikel kelar tiga bulan juga ndak ada yang melarang.
Emak lalu membayangkan bagaimana mereka yang profesinya memang travel writer. Yang meliput atau jalan-jalan karena memang harus. Padahal ia sendiri sedang sakit. Setelah jalan, lanjut nulis. Jalan, nulis. Sambil agak-agak keliyengan di dalam kereta api serta batuk-batuk Emak memikirkan hal ini.
Lho, sampai di sini kok ndak ada hubungan antara isi dan judul, tho? Baiklah sekarang mbalik ke wacana awal. Waktu hari Sabtu Emak ke Köln, kota ini terasa sangat, ramainya. Dari arah Aachen, sudah banyak penumpang. Di depan stasiun seperti mau ada konser musik gratisan.
Ada grup drum tampil. Main beberapa waktu. Baru jedar jeder sebentar, orang sudah berkerumun di sekelilingnya. Apalagi di hari-hari karnaval itu cuaca Düren, Köln dan sekitarnya relatif hanget. Sekitar 10°C. Matahari menyapa ramah. Wajar saja orang keluar rumah. Ditambah ada penawaran tiket karnaval dari beberapa perusahaan transportasi umum.
Orang Jerman, dan para turis turis juga tampaknya, kalau ada acara pesta-pesta, ramai-ramai, kumpul-kumpul seperti ini sukanya minum-minum. Sebelum jadi suporter sepak bola tim kesayangan, mereka minum. Saat ada pasar malam, minum. Pasar natal, minum. Barbekuan, minum. Tak selalu minuman beralkohol. Sebab banyak orang suka minuman ringan.
Minuman berupa air putih, beragai minuman ringan biasanya dikemas dalam botol plastik, botol gelas, dan kaleng. Nah banyak botol-botol ini memiliki pfand atau jaminan. Jadi gini. Kalau kita beli minuman di supermarket atau di mesin otomatis atau di kios-kios, harganya terdiri dari harga air dan harga kemasan. Kalau dirumuskan:
Harga kita beli = Harga air + Harga kemasan (Pfand)
Pfand ini diberlakukan karena dulu orang suka buang botol sembarangan. Padahal ongkos pengelolaan lingkungannya cukup tinggi. Pfand ini digunakan sebagai ongkos pengelolaan lingkungan.
Nilai jaminan botol bervariasi. Yang botol beling bir 8 sen (Rp.1.100,-). Botol minuman ringan yang agak tebal 15 sen (Rp.2.100,-). Paling mahal botol plastik tipis, 25 sen (Rp.3.600,-). Kalau kaleng, Emak belum tahu berapa pfand-nya. Tidak semua botol dikenakan ongkos lingkungan. Entah mengapa.
Saat membayar di kasir, harga minuman kita bayar langsung dengan jaminannya. Jika botolnya kita kembalikan, maka kita akan mendapatkan kembali duit pfand ini. Di supermarket, biasanya ada tempat khusus pengembalian pfand. Sebuah mesin otomatis tinggi. Tinggal masukkan pantat botol ke dalamnya terlebih dahulu, akan terlihat jumlah pfand yang kita dapatkan. Seteleh setelah, kita pencet tombol hijau. Nanti keluar nota sesuai dengan jumlah dan jenis botol yang kita masukkan. Notanya bisa ditukar duit di kasir.
Setelah sistem ini mulai berlaku beberapa tahun lalu, muncul profesi baru di Jerman: pemungut botol bekas. Tak semua orang punya waktu dan keinginan untuk mengembalikan botol bekas ke supermarket. Kalau beli minuman cuma satu botol, ya males juga kali. Dan tidak semua orang tahu tentang aturan jaminan ini. Turis-turis yang berkeunjung ke Jerman, misalnya. Yang tidak tahu, ya botolnya dibuang begitu saja di tempat sampah.
Sesekali saya temui para pemungut botol. Kebanyakan lelaki. Mereka membawa kantong plastik besar, dan rajin meneliti setiap isi tempat sampah. Kadang ada yang bersepeda. Di kota-kota besar lebih banyak lagi. Ada ibu-ibu juga. Kadang mereka masuk gerbong kereta api. Tak sungkan mereka menanyai para penumpang apa botolnya mau dibuang? Atau apakah mereka punya botol yang mau dibuang? Ini yang membuat pihak kereta api eneg. Mereka menumpang kereta yang berjalan, tanpa memiliki tiket.
Kalau sedang ada keramaian seperti pertandingan sepak bola bundesliga, makin banyak pemungut botol berkeliaran. Sebelum menonton bola, para fans sering kali memborong aneka minuman. Teler dulu sebelum menonton bola.
Paling banyak, ya pas kemarin di Köln menjelang karnaval itu. Entah berapa puluh pemungut botol bekas membawa kantong kuning atau biru di sekitar Dome dan stasiun kereta api saja. Ada ibu-ibu sampai membawa dorongan belanjaan yang penuh dengan botol beling. Sama dua kantong plastik besar di sampingnya. Hari ramai seperti ini, jadi berkah bagi mereka.
Wahh..keren ya, coba di Indonesia seperti itu tapi mahal juga jadinya