Sejak pindah ke Bremerhaven, sempat setahunan lamanya keluarga pelancong tak melancong keluar Jerman. Melainkan menggilir kota-kota terdekat yang terjangkau oleh tiket semester kami, seperti Hamburg, Bremen, Cuxhaven dan Oldenburg.
Selain berbagai kesibukan, kondisi keuangan belum mengijinkan. Saat rejeki mulai longgar, kami memutuskan untuk mengunjungi kota terdekat di Belanda, Groningen. Dengan tiket semester, kami bisa naik kereta api ke Leer. Jadi kami hanya perlu membeli tiket Leer – Groningen pp. Dari Bremerhaven perjalanan ke Leer memakan waktu sekira 2,5 jam. Groningen hanya sejam dari Leer, namun harus pindah kereta di Weener.
Suasana Belanda mulai terasa di Weener. Rambu lalu lintas dan kereta api didominasi warna oranye, warna kebangsaan mereka. Interior kereta api ekonomi Belanda tumpangan kami tak senyaman kereta api Jerman. Tempat duduknya sempit bentuknya mirip tempat duduk kereta api di indonesia. Kami melewati desa-desa dan banyak lahan pertanian.
Cuaca Groningen hari itu kurang bersahabat. Gerimis menyambut kami di sana. Tapi semuanya tak menyurutkan keinginan kami untuk menjelajahi pusat kota.
Keluar dari stasiun Groningen, kami disuguhi pemandangan khas negeri Belanda lainnya, yakni ratusan sepeda parkir. Hampir tak ada tempat di setiap sudut kota dimana kita tak menemukan sepeda terparkir.
Jantung kota Groningan berjarak sekitar sekilometer dari stasiun utama. Kami tak kesulitan untuk mencari informasi selama di sini. Sebagian besar orang Belanda bisa berbahasa inggris aktif.
Groningen adalah kota berpenduduk sekitar 185 ribu jiwa. Ibu kota propinsi Groningan ini juga dikenal sebagai kota mahasiswa, dengan jumlah kira-kira 40 ribu orang. Ahli matematika Daniel Bernoulli lahir di sini pada tahun 1700 masehi.
Setelah berjalan kira-kira 15 menit, kami mulai memasuki gang pertokoan. Lebar gang sekitar 5 meter. Toko-toko di sini kecil-kecil. Di mulut gang, ada red district kecil. Meski kecil, toko-toko yang ada menjual berbagai macam pernak-pernaik. Dari toko kelontong, toko buku baru dan bekas, toko baju dan toko souvenir.
Tak lama berjalan, sampailah kami di Groete Markt alias pasar besar, tempat orang berdagang buah, sayur, dan bunga. Harga sayur dan buah di Grote Markt relatif lebih murah dibanding pasar serupa di Jerman. Apalagi menjelang bubar, aneka barang dagangan dibanting hingga setengah harga. Di sini juga kami bertemu dengan seorang mahasiswi Indonesia. Saat itu dia sedang memarkir sepeda. Kami menyapanya. Katanya ada 300-an mahasiswa Indonesia sedang menuntut ilmu di universitas Groningen. Sangat buanyak dibanding jumlah mahasiswa Indonesia di Bremerhaven yang bisa dihitung menggunakan jari tangan dan kaki.
Setelah mengobrol sebentar kami meneruskan acara jalan-jalan. Tanpa peta dan tujuan yang jelas, kami ngiter-ngiter jantung kota. Menejelajahi toko-toko, mencium harum pfannkoeken, dan membeli seikat tulip, mencicipi keju tersohor Belanda sambil merekam dan memotret diri sebagai tanda sudah ke Groningen, artinya sudah ke luar negeri. hehe…
Kami sempat juga berbelanja di toko Melati, toko penjual banyak barang-barang asal tanah air. Ada juga Warung Jawa milik orang Suriname. Bau rawon tercium saat kami lewat disana. Enaknya berada di Belanda, bisa mencicipi masakan tanah air dan tak kesulitan mencari bumbu-bumbu khas indonesia.
Kesan kami mengenai Groningen, kota ini rasanya seperti kampung besar, mirip Bremerhaven. Dibanding kota-kota di Jerman, kesan agak kumuh muncul di sini. Namun menurut informasi teman, kota ini banyak juga dikunjungi oleh orang Jerman yang ingin berbelanja, karena letaknya tak terlalu jauh dari perbatasan. Syukurlah, setelah sekian lama, akhirnya kami bisa jalan-jalan keluar Jerman lagi.