Semula keluarga pelancong ingin berangkat pagi-pagi ke Pisa, yakni naik kereta ekonomi jam 6:08 dari Roma Termini. Apa daya kami bangun kesiangan. Tepatnya setengah delapan pagi. Wakkkkkksss, kereta ekonomi berikutnya jalan pukul 10:08. Hikmahnya, kami masih bisa sarapan mie instan dan minum kopi hangat di dalam kamar.
Roma Termini terlihat ramai pagi itu. Hari cerah dan matahari bersinar terang. Alhamdulillah hari ini hangat. Kereta ke Pisa berada di jalur 26, alias hampir ujung. Sepuluh menit kami berjalan ke arah sana.
Kereta ekonomi Italia cukup bersih dan nyaman. Tempat duduknya terbagi dalam tiga kelas, tempat duduk penumpang regional, kelas dua dan kelas satu. Awalnya kami salah duduk di gerbong penumpang regional, sebelum petugas pemeriksa karcis memberi tahu kami untuk pindah ke kelas dua. Tempat duduk kelas dua lebih nyaman lagi. Kursinya besar, empuk dan lega. Di dalam sana sepi penumpang. Penumpang lainnya kebanyakan turis seperti kami. Beberapa bahasa asing terdengar dipercakapkan di dalam sana.
Jelang pukul dua siang, kereta tiba di Pisa, kota tua kecil yang menurut saya sungguh eksentrik. Ruma-rumah di Pisa terkesan sangat tua. Sebagian kayunya lapuk, temboknya terkikis, dan catnya mengelupas. Di sisi lain, toko-toko kecil di sepanjang jalur pejalan kaki di pusat kota menjual barang-barang bermerek nan mahal. Warga kota duduk-duduk bercengkrama di bangku-bangku di pusat kota. Sebagian besar para manula. Memperhatikan para pejalan kaki dan turis lalu lalang. Segerombolan anak muda bersuit-suit saat wanita-wanita muda lewat. Sepeda dan scooter berseliweran di kawasan pejalan kaki. Para pengendaranya ngebut sesuka hati. Sebagian besar toko tutup ketika kami melewati daerah ini. Saat saya perhatikan, mereka memang tutup di siang hari dan buka kembali sekitar pukul 3 hingga empat sore.
Del Duomo, kompleks gereja tempat menara miring berpijak letaknya tak jauh dari pusat kota. Kami lewat toko souvenir murah dan membeli kenang-kenangan miniatur menara. Dari luar kompleks, daerah ini terlihat lengang. Namun setelah berada di dalam, ratusan turis dan pedagang saling berinteraksi. Sebagian besar turis memotret menara atau bergaya beraneka rupa di depan menara miring. Kami pun tak ketinggalan. Lucu juga melihat hasil fotonya. Awalnya kami bayangkan menara Pisa tinggi menjulang seperti temannya yang kesohor di Paris. Ternyata yang disini tingginya mungkin hanya sepersepuluh Eiffel.
Seperti di pusat keramaian turis lain di Italia, di kawasan ini dipenuhi pedagang asongan. Sebagian besar berkulit hitam. Kami tak lama berada di sini. Setelah puas berfoto ria, kami segera kembali ke stasiun menuju kota tujuan selanjutnya, Firenze alias Florence.
Sebelumnya saya kenal Florence atau Firenze lewat novel E.M. Forster berjudul A Room With A View, bersetting di kota ini. Bagi saya, Firenze memiliki kesan elegan, berbeda dengan kota-kota yang kami seinggahi sebelumnya. Jika Venezia meski unik tapi berkesan tua, keropos dan kotor, Roma berciri khas ibu kota yang ruwet dan berpolusi, Pisa juga kota tua, maka Firenze benar-benar terlihat eksklusif, dengan piazza-piazza menawan dan megah.
Sayangnya kami hanya bisa menikmati Firenze di malam hari yang agak dingin. Sekitar pukul tujuh, jantung Firenze terlihat ramai. Kami pun bergerak cepat menuju titik-titik wisat utama kota seperti Jembatan atau Ponte Vecchio di atas Sungai Arno. Di Jembatan khusus pejalan kaki ini berdiri toko-toko kecil yang konon sangat ramai diserbu pelancong di jam-jam buka. Juga ke Piazza della Signoria, atraksi wisata utama Firenze dengan patung-patung gigantis. Di antaranya adalah tiruan patung David karya Michaelangelo. Terakhir, kami sempatnya melihat Duomo alias Katedral Santa Maria del Fiore. Sebelumnya malamnya bertolak kembali menuju Venesia untuk kembali terbang ke rumah.
[…] tak masuk akal. Hanya lima euro sekali jalan ke kota-kota besar Eropa. Seperti ke Oslo, Milan, Pisa, Venezia, Bratislava, Dublin, Goteborg, dan masih banyak lagi. Tanpa pajak airport. Seringkali kami […]