Republik San Marino (1)

republik-san-marinoNegara inilah yang menjadi alasan kami ke Rimini. Ke Rimini sendiri, kami tak terlalu tertarik, sebab kami tak terlalu suka wisata pantai. Pantai Rimini terkenal akan pemandian lautnya. Dimana ribuan orang berjemur sambil mandi di laut di musim panas. Untunglah kami datang ketika musim mandi tlah berlalu, sehingga tak perlu terpaksa menyaksikan aurat terbuka bertebaran dimana-mana. hehehe. Pernah suatu ketika kami kaget, pas Embak tiba-tiba bilang ingin mandi di pantai di Majorca di Spanyol. Mungkin karena banyak sekali temannya pernah ke kepualauan tersebut. Di Majorca memang banyak sekali didatangi orang Jerman, sehingga disebut sebagai negara bagian Jerman ketujuh belas.

Sebelum kesana, kami tak terlalu intensif mencari informasi tentang negara mini ketiga yang kami kunjungi setelah Vatikan dan Malta. Yang kami tahu ada sebuah bus dari Rimini ke Republik San Marino. Darimana bus bertolak serta jam berapa saja, itu yang tak dicari. Di hotel, tak ada pula brosur tentangnya. Malas pula kami tanya ke resepsionis tua tak bisa bahasa inggris. Jalan satu-satunya ke kantor pusat informasi. Kata peta kota, lokasinya di depan stasiun kereta api pusat. Alias sekitar 2 kilometer berjalan kaki. Walau sudah berusaha berjalan cepat, hampir sejam pula kami sampai di stasiun. Ketinggalan bus sesi pagi ke Rimini. Bus berikutnya, kata ibu di pusat informasi, hampir sejam lagi. Ada waktu buat jalan-jalan gak jelas di dalam stasiun, agar tak menunggu dalam dingin.

Setengah jam sebelum jadwal keberangkatan bus, sudah banyak orang mengantri di halte. Kami bergegas mengantri, khawatir tak dapat tempat. Eh, kira-kira seperempat jam sebelum bus datang, antrian tiba-tiba jadi semrawut. Ternyata datang ibu tua penjual tiket bus. Orang jadi tak beraturan. Ibu tua agak kebingungan. Apalagi beliau tak bisa berbahasa inggris. Emak langsung berlari ke kerumunan tiket. Membeli tiket pp langsung. Bapak tetap mengantri tempat bersama anak-anak.

Bus terlambat lima ment dari jadwal. Orang semakin banyak berdesakan di dekat pintu depan. Eh, udah benar-benar ngantri, ada satu petugas menyuruh sopir membuka pintu belakang. Semburat lagi orang lari ke arah belakang. Untung Emak dan Embak masih bisa menyelamatkan dua kursi buat duduk. Bapak kebagian satu tempat di belakang. Peserta berdiri sudah memenuhi bus. Tak muat, beberapa orang tak diperbolehkan masuk. Entahlah, apakah mereka disediakan alternatif lain, atau mesti menunggu sejam berikutnya.

Sekitar seperempat jam naik bus kami sudah mulai memasuki negara mini ini. Tak jelas dimana batasanya, tapi pelat-pelat mobil sudah berbeda, didominasi oleh pelat San Marino. Jalanan menanjak dan meliuk-liuk mulai sini. Pemandangan tak membosankan. Tapi sebagian penumpang duduk sudah terlena di alam mimpi. Embak juga tertidur. Adik terlelap di pangkuan Bapak.

Dari dalam bus, San Marino terlihat menyenangkan untuk dikunjungi. Lebih asyik bila membawa kendaraan sendiri sebenarnya. Lebih leluasa kemana saja di segala penjuru San Marino. Apalagi negara ini bebas pajak apa saja. Sehingga jadi sasaran orang berburu barang murah. Berbagai spanduk atau reklame besar menunjukkan iklan-iklan tempat belanja. Di beberapa tempat Emak lihat pula daerah-daerah pertanian serta kebun zaitun. Jalanan makin menanjak. Bus berjalan pelan saja. Sehingga kami bisa menikmati pemandangan sekitar. Dari bawah, terlihat kota tua sekaligus ibukota San Marino dikelilingi tembok batu. Terlihat sangat mayestik dari kejauhan.

Bus tumpangan akan menuju ke kota tua tersebut. Para turis bisa juga turun di Borgo Maggiore, lalu naik kereta gantung (Funivia) menuju kota tua. Kami pilih turun di halte terakhir saja, pas di kaki kota tua. Seperti sebagian besar turis lainnya.

(bersambung)

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: