Resor Musim Dingin Bodenthal, Austria

bodenthalKami punya waktu sehari lowong, sebelum kembali ke Jerman. Awalnya ingin digunakan untuk bersantai di kediaman sahabat yang kami inapi. Tapi kok, jauh-jauh ke selatan Austria cuma dipakai untuk pindah tidur, sih? Gak mau rugi, kami putuskan main salju lagi. Kali ini ke Bodenthal saja, paling dekat dari Klagenfurt. Perjalanannya setengah jam lebih sedikit. Lewat jalan pegunungan yang sering kami lewati ketika hendak menuju Slovenia.

Untuk standar musim dingin, cuaca hari itu sangat nyaman. Sedikit di atas titik beku. Tak berangin kencang, tak berkabut. Sinar mentari terasa hangat. Harapan kami hari itu tak muluk : asal bisa main seluncuran di atas salju, kami pasti senang.

Ramai nian Bodenthal hari itu. Untung tempat parkir tersedia banyak sekali. Meski jauh dari tempat bermain ski dan schlitten. Lokasinya yang dekat perbatasan tiga negara, membuatnya ramai tak hanya oleh penduduk Austria. Juga oleh pengunjung dari Slovenia dan Italia. Tempat ini, sepertinya ramai oleh para pemain ski pemula. Atau baru belajar bermain ski. Yang bermain seluncuran tak kalah banyak. Apalagi ada lintasan khusus di sebelah jalur ski. Lintasan ini luas, saljunya dipadatkan sehingga licin buat seluncuran. Jika mau memilih sisi lain bahu bukit sah-sah saja. Namun jalur tersebut saljunya tak dipres, dan sepi pengunjung.

Tak dinyana, kami membaca sebuah tawaran les privat main ski di sebuah kios persewaan alat olah raga musim dingin. Harganya rasional. Sayangnya anak sekecil Adik belum bisa ikut serta. Sehingga kami berlima saja ikut mendaftar. Sementara Bapak menjaga Adik. Eh, anak kecil ini langsung sedih. Pengen ikut belajar main ski.

“Aku gak mau maen schlitten lagi,” katanya sambil duduk di depan kios. Merajuk. Kami sewa alat ski kecil untuknya. Agar bisa belajar meluncur di tempat latihan khusus anak kecil.

Kami berlima langsung berfoto setelah mengenakan sepatu ski dan menerima papan ski. Momen bersejarah seperti ini tak boleh tidak diabadikan. Dalam bayangan, tergambar bagaimana elegannya kami nanti meluncur di dari atas perbukitan sana.

Sepatu ski jauh lebih berat dari perkiraan Emak. Tingginya hampir selutut. Dipasang ketat di kaki, menekan lutut dengan kuat. Berat. Apalagi dipakai berjalan di atas tumpukan salju. Emak berjalan pelan, mau turun merambat dekat tiang agar tak jatuh. Ditambah dengan membawa papan ski panjang itu. Aih, perlu perjuangan ternyata.

Satu jam waktu latihan awal berlangsung bagai seharian. Pertama kami disuruh latihan menggunakan papan ski di satu kaki. Agar dapat merasakan dan membiasakan diri dahulu. Lalau mencoba berjalan dengan dua papan ski terpasang di bawah kaki.  Setelah bisa merasakan sensasi berdiri di atas dua papan ski, pelajaran berlanjut. Berdiri diatas dua papan panjang dan licin juga bukan perkara sepele. Perlu belajar keseimbangan badan lagi. Kami tak disarankan berdiri tegak. Malah gampang jatuh. Sebaiknya menekuk lutut, badan condong ke depan. Setengah berdiri, setengah jongkok. Entah posisi tubuh apa ini namanya.

Di sebuah turunan yang tak terlalu tinggi, kami kemudian belajar berjalan miring di atas papan ski. Agar tak tergelincir, papan tersebut mesti kami miringkan berlawanan dengan arah kontur tanah. Berjalan naik dua tiga meter dengan cara ini capeknya seperti jalan biasa berkilometer. Berikutanya adalah latihan membuat pizza. Eh, ini bukan acara praktik masak, lho ya. Pizza adalah istilah Hans, pelatih kami. Kami belajar memposisikan papan ski, membuat sudut lancip di muka, segitiga bagai pizza. Yang ini digunakan untuk meluncur turun. Posisi tubuh tetap setengah berdiri setengah jongkok. Kekuatan tubuh bertumpu di dengkul.

Kaki dan otak susah sekali disinkronkan ketika meluncur. Aturannya, alat ski harus tetap berposisi pizza, tubuh condong ke depan setengah jongkok. Agar meluncur, pantat mendorong tubuh ke depan, lutut menahan tubuh agar tak jauh. Untuk mengerem, kedua paha merapat, kedua papan ski ditekan ke arah dalam. Praktiknya, ketika mulai meluncur, Emak langsung panik. Badan otomatis tegak. Memperburuk keadaan. Sebab bukannya mengerem, tubuh malah meluncur deras di turunan, mendarat di atas dua pantat atau jatuh telentang. Sakitnya tak terlalu, malunya yang nggak ketulungan. Dua kali Emak menabrak orang karenanya.

Sejam memang terlalu pendek jika mau mahir ski. Kami baru bisa berjalan mendaki dan menyeimbangkan diri di atas papan ski. Meluncur belum mahir. Hanya si Embak yang paling bisa menangkap pelajaran hari itu. Dia sudah berhasil meluncur dari ketinggian tertentu tanpa jatuh. Berbeda dengan emaknya. Yang mesti mengubur impian meluncur elegan dengan papan ski dari atas bukit untuk sementara.

2 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: