Kami menjelajah kota segera setelah sarapan di pagi hari. Udara terasa segar. Tak sedingin di Jerman. Jarak ke kota dan beberapa atraksi wisata dari hotel hanya sekitar 2-3 kilometer saja. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Si Adik mulai tak mau duduk tenang di kereta dorongnya. Malah lebih banyak berjalan kaki. Kami harap, di acara jalan-jalan berikutnya, kami sudah tak perlu membawa kereta dorong anak lagi.
Pagi itu, kami pilih lewat jalanan kecil di sisi rel kereta api. Tujuan kami hari itu adalah mengelilingi cincin kota tua. Menyaksikan beberapa atraksi wisata kota di tepi laut Adriatik ini. Jalanan kecil ini hanya satu arah. Walau lumayan sempit, pengendara kendaraan roda empat tak segan-segan mengebut di dalam perkampungan ini. Kami harus ekstra hati-hati. Takut kesenggol mobil pengemudi Italia yang terkenal seenaknya dalam mengemudi.
Daerah Italia ini terlihat subur. Hampir setiap rumah ditanami aneka pohon buah dan bunga-bunga. Terlihat sangat segar berjalan di dalam perkampungan. Halaman-halaman rumah mereka tak terlalu luas. Banyak kami temui pohon buah peach dan zaitun. Zaitunnya sudah mulai berbuah, tapi masih berwarna hijau. Emak ingin sekali menanam buah zaitun di rumah. Tapi, menurut informasi, zaitun tak tahan udara dingin. Meski bisa tumbuh pun, belum tentu bisa berbuah.
Beberapa rumah tampak kosong dan punya tanda dijual atau disewakan. Kata Bapak yang sudah mendapat beberapa pencerahan tentang Rimini dari bosnya, Rimini sekarang ini sudah mengalami kemunduran. Tak seramai dulu lagi. Padahal dulu dia banyak dikunjungi selebriti Eropa. Saat ini, mereka lebih suka ke St. Tropez atau Majorca.
Dari perkampungan kami melewati darah bisnis yang lebih ramai. Di hari Minggu, Rimini terlihat lumayan ramai. Ketika lewat di sebuah supermarket, dan ternyata buka, kami putuskan untuk mampir. Membeli roti, jus buah, cemilan dan sesuatu untuk makan malam kami.
Anfiteatro Romano, puing-puing ampiteater, ternyata sama sekali tak megah. Jauh dari dugaan kami semula. Tempat ini juga dipagar lebih dari semeter. Orang tak bisa bebas menikmati. Entahnya masuknya dari mana, kami jadi tak teratrik. Awalnya Emak sudah membayangkan sebuah teater kuno megah sisa jaman Romawi. Sisi tembok kota tua terbuat dari batu bata, tak sampai dua meter tingginya. Kami pilih berjalan melalui sebuah taman di luar tembok. Di sebuah tempat parkir, kumpulan mobil box menyediakan aneka barang dan bertransaksi jual beli. Beberapa orang kulit hitam menjajakan barang-barang. Payung, tas, tissue. Walau tak sebanyak di Roma, di Rimini rupanya juga banyak pendatang dari Afrika yang berusaha mengadu nasib di Eropa. Ada yang sudah sangat tua, sehingga trenyuh hati ini meyaksikannya.
Tak lama, kami telah sampai di Arco d’Augusto sebuah gerbang megah terbuat dari bebatuan alam dan bata. Bagian atas berbentuk setengah lingkaran. Konstruksi kuno, dibangun taun 27 sebelum masehi, adalah yang tertua di Italia. Menghubungkan pintu masuk selatan Ariminum (Rimini) dengan Via Flaminia.
Lama-lama kami kedinginan juga. masuk ke dalam kota tua, beberapa toko buka di hari Minggu. Kami duduk sejenak di bangku, di tempat yang katanya bisa mendapatkan sinyal internet gratis. Ternyata harus memasukkan nomor HP untuk mendapatkan PIN. Bapak tidak mau, sehingga perjalanan kaki berlanjut. Orang-orang tetap beraktifitas. Tempat-tempat makan buka. Juga penjual pasta, warung kopi. Uniknya, kami melihat satu toko penjual pasta segar. Penjualnya melayani pembeli sambil menguleni pasta. Sepertinya pasta dibuat sesuai pesanan.
Dari Piazza Tre martini ke Via Garibaldi, kami ke kanan menuju Castello Sigismondo. Kastil megah ini merupakan ajang pamer kekuatan keluarga Malatesta, untuk menguasai Rimini. Didesain oleh Sigismondo, penerus keluarga Malatesta. Untuk membangunnya, satu kampung padat penduduk mesti digusur di abad 15 masehi. termasuk pula tempat tinggal bishop, sebuah biara, dan tempat pembaptisan.
[…] (bersambung) […]
[…] (Sambungan dari sini) […]