Mendengar orang mengeja namanya, aowwwwww, mendayu terdengar di telinga. Seperti kata orang, mengapa semua kata bahasa perancis terdengar seksi. Desa kecil dnegan tanjungnya yang unik di peta ini baru sekitar tahun 1950-an ramai dikunjungi orang. Saat itu banyak seniman dan sosialita mulai kongkow-kongkow di sini. Katanya, setiap hari di musim panas, sekitar 100 ribu orang datang kesini. padahal penduduknya sendiri tak sampai 5000 jiwa.
Tak terbayang bagaimana macetnya. Menjelang sore, saat kami mau memasukinya sudah terlihat kemacetan mobil keluar dari St. Tropez. Itu baru masuk musim semi. Salah satu surga di Cote D’Azur rupanya juga surga kemacetan.
Kami menemukan satu parkir gratis. Beruntung sebab baru ada satu mobil meninggalkannya. Letaknya tak jauh dari pelabuhan kapal pesiar. Kami berjalan dan berfoto dekat pelabuhan. Sebuah lapangan parkir sangat luas dan berbayar berada persis di dekat dermaga.
Sebuah kantor turis informasi berdiri dekat pelabuhan. Sayangnya tak ada peta kota gratis. Bahkan dijual dengan harga tak manusiawi menurut kami. Mentang-mentang tempat kumpul orang kaya, peta pun harus beli, pikir Emak. Malangnya, buku panduan wisata dengan peta sederhana kami tinggal di kendaraan.
Ya sudahlah kami keliling St. Tropez tanpa peta. Hari sudah mau sore. Perut mulai lapar. Tak terlalu bernafsu kami menjejalah jauh-jauh. Muter-muter sebentar di kota tua, toko-toko dari bangunan tua tapi menjual barang mahal-mahal. Sempat kesasar di perumahan penduduk yang banyak ditumbuhi lavender. Malas mau memanjat ke atas hingga Citadel. Kami balik arah, pulang kembali menuju bumi perkemahan.