Kami memutuskan membeli tiket kereta api malam agar bisa beristirahat. Kereta melaju sepanjang malam, dan pagi-pagi kami akan sampai di Roma. Karena keretanya berangkat dari stasiun utama Venesia, yakni Venezia Mestre, kesanalah kami segera. Alasan lainnya, karena di stasiun Santa Lucia tak ada ruang tunggu representatif untuk menunggu selama beberapa jam.
Harga tiket perjalanan kereta api selama 15 menit cuma 1 euro per orang. Kereta apinya juga cukup nyaman, mirip kereta api bertingkat dua di Jerman. Stasiun Mestre lebih ramai dari Santa Lucia. Ruang tunggunya juga cukup ok. Namun akhirnya kami memutuskan menunggu di kafe sambil minum teh dan makan kue.
Pukul sepuluh malam lebih sedikit, kami telah berada di atas kereta. Setelah dua jam berkereta, kami mesti pindah kereta di Bologna, dan mesti menunggu beberapa waktu di sana.
Stasiun Bologna sangat besar. Bologna merupakan stasiun transit di Italia. Dari sini, kereta-kereta berangkat menuju kota-kota besar lain di Eropa, seperti Munich, Monaco, Nice, Roma, dll. Hari menjelang tengah malam, sehingga semua kafe tutup. Ruang tunggunya besar dan hangat. Ruang tunggu stasiun ternyata tak hanya ditempati para penumpang. Emak perhatikan, banyak tunawisma numpang tidur disini. Mereka tidur sambil duduk di satu deretan panjang kursi. Lama sekali saya perhatikan mereka. Beberapa masih mengobrol sambil makan dengan lahap makanan pemberian orang.
Kereta api malam ke Roma terasa nyaman. Kursinya bisa disusun sedemikian rupa sehingga bisa digunakan sebagai alas pembaringan. Perjalanan lima jam ke ibu kota Italia dapat kami manfaatkan untuk beristirahat. Kereta tiba 15 menit lebih awal dari jadwal di Roma. Buru-buru, kami mengemasi barang. Para penumpang bersantai, menghirup udara segara atau merokok di luar gerbong. Ah, segarnya. Pemanas dalam gerbong bekerja dengan sangat baik.
Di stasiun Roma Tiburtina kami melepas lelah beberapa saat. Di ruang tunggu tidur juga beberapa gelandangan. Juga gelandangan wanita. Ah, trenyuh hati ini. Benar-benar kami harus bersyukur masih punya tempat tinggal meski masih ngontrak.
Kehidupan baru dimulai sekitar pukul setengah enam di Roma. Stasiun metro masih tutup. Hampir sepuluh orang termasuk kami menunggu stasiun dibuka. Kami bermaksud berkendara ke stasiun Roma Termini di pusat kota. Tepat pukul setengah enam, pintu besi stasiun metro dibuka seorang petugas. Tiket harian kendaraan di Roma tak mahal, Hanya 4 euro per orang, berlaku sehari penuh.
Setelah sarapan dan minum minuman hangat, badan terasa segar dan siap menjelajahi kota Roma. Kami meneliti peta dan menandai obyek apa saja yang ingin dikunjungi. Karena hanya sehari di kota ini, obyek-obyek utama saja yang berhasil kami rekam dalam ingatan.
Sisa-sisa kejayaan bangsa ini di masa silam masih dapat kami rasakan. Berjalan menyusuri trotoar lebarnya, gedung-gedung besar berhias patung-patung dan ukiran-ukiran indah. Tak hanya gereja dan museum tampak besar dan megah, gedung perkantoran, bank-bank dan pertokoan pun tampak wah.
Menjelang ujung Via Nazionale, gedung-gedung megah semakin banyak bermunculan di depan mata. Situs-situs wisata sejarah Roma pun mulai terlihat di kejauhan.
Kami pun bergegas berbelok menuju Piazza Venezia, sebuah kawasan ramai tempat penumpang bus-bus kota naik turun. Juga merupakan pintu masuk utama Via Dei Fori Imperiali, salah satu jalan menuju sisa reruntuhan kota tua Roma.
Persis di bagian paling depan Via Dei Fori Imperiali adalah Monumento Vittorio Emmanuele II, monumen agung, yang bagian depannya direnovasi sehingga agak mengganggu pemandangan ketika dipotret. Kami sempat beristirahat sebentar di seberang monumen. Di sebuah tempat peristirahatan dengan beberapa bangku. Karena di dekatnya adalah Mercati e Foro di Traiano, sebagian reruntuhan arsitektur kuno, maka acara istirahat pun diselingi dengan memotret sebagian reruntuhan tersebut. Banyak bagiannya telah direkonstruksi ulang. Terlihat usaha mereka menampakkan kembali sisa kejayaan masa lampaunya.
Perjalanan pun kami lanjutkan. Menyusuri Via Dei Fori Imperiali. Sebelum sampai di ujung jalan, yakni bangunan megah Anfiteatro Flavio (Colosseo), kami pun banyak meyaksikan sebagian sisa-sisa kota antik Romawi, yakni Foro Romano. Belasan pilar batu tinggi namun tak utuh menjulang. Dilatarbelakangi reruntuhan bangunan batu tua. Di beberapa titik, ada papan informasi mengenai situs antik ini.
Setelah mampir sebentar ke kota suci Vatikan, siangnya kami check in di hotel dan tertidur bertiga dengan sangat pulas hingga hari gelap. Malamnya, kami masih sempat naik metro ke arah Barberini, memotret Fontana di Trevi, Tempio Adriano serta Pantheon. Sampai di hotel kembali, kaki dan badan kami terasa pegal.