Kalau melihat Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintah sekaligus pusat bisnis, hiburan, pusat manusia dan kemacetan, rasa-rasanya aneh melihat suatu ibukota sepi dan tak terlihat hingar-bingar. Kota Bonn yang pernah menjadi ibukota Jerman Barat tak ada apa-apanya dibanding Jakarta. Mendapat julukan kota metropolitan saja dibilang tak pantas oleh orang Jerman.
Nah, Bern, ibukota Swiss pun demikian. Kota terbesar di negara ini malah Zurich. Sedangkan kota pusat pemerintahannya relatif sepi.
Sama seperti di Zurich sehari sebelumnya, kami pergi ke Bern dalam cuaca kurang menguntungkan. Makin siang matahari tak tambah terang benderang. Sebaliknya, makin tertutup kabut. Akan tetapi, rencana perjalanan tak mau kami gagalkan. Rencananya kami mau sebentar saja di kota ini. Berfoto sebentar di kota tua, lalu meneruskan perjalanan menuju Interlaken dan Grindelwald.
Zurich – Bern memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan. Kami langsung menuju pusat kota. Bingung mencari tempat parkir, eh nemu gratisan di dekat gedung universitas. Kalau dilihat di peta, kira-kira di Schanzenstrasse atau Falkenplatz. Cuma satu jam, ya tak apa, sebab kami cuma berencana sebentar di sana.
Jalan turun melewati stasiun pusat, belok ke kiri, langsung terlihat Bahnhofplatz, depan stasiun pusat Bern, pemberhentian bus dan tram dalam kota dengan penutup kaca melengkung. Masuk Spitalgasse, Bern terlihat lebih ramai. Tak hanya tram dan bus berseliweran, namun juga orang asing. Menurut Wikipedia, Bern yang sepi ini juga merupakan kota wisata utama di Swiss. Kota tua Bern, sudah masuk cagar budaya UNESCO sejak tahun 1983.
Karakter kota tua di antara menara jam masih terjaga baik. Bangunannya terdiri dari kompleks dua bangunan memanjang berwarna kehijauan terdiri dari 5-6 tingkat. Di lantai dasar terdapat koridor panjang dengan toko-toko atau restauran yang kadang memajang dagangannya hingga di koridor tertutup ini. Bagian atasnya berupa hotel, perkantoran atau pemukiman. Ramai sekali orang berjalan di dalam koridor, termasuk kami.
Bangunan tua berkoridor tertutup ini ternyata membujur sepanjang 6 kilometer-an, menjadikannya salah satu jalan pertokoan terpanjang di Eropa. Di jalanan sesekali kami temukan air muncrat dengan figur tertentu dari abad ke enambelas.
Kami berjalan ke Marktgasse hingga Kramgasse dan memotret Zyltglogge. Cuma beberapa puluh meter saja, sebelum balik arah, mampir satu supermarket sebentar, dan bergegas ke parkiran. Jika berjalan lurus terus di Kramgasse dan Gerechtigkeitsgasse, maka kami bisa melihat kastil Nydegg dan jembatan tua bernama Untertorbruecke. Waktu tak memungkinkan, keinginnan untuk kesana juga tak terlalu kuat.
Terburu-buru, kami salah mengambil jalan, tersesat di stasiun bus dan parkiran stasiun, bingung mencari jalan keluar ke arah stasiun. Lama menunggu lift, kami putuskan turun tangga darurat, dan kembali ke gedung pusat stasiun. Menjauh dari tempat parkir kendaraan kami. Bapak segera berlari, khawatir kena tilang, sementara Emak menyusul pelan di belakang. Berusaha menenangkan Adik yang selalu minta gendong, sedangkan kaki Emak sudah gemetaran. Capek berlarian, tegang takut ditilang. Untunglah semua berakhir bahagia. Tak ada surat tilang di ibukota Swiss.
[…] Bern masih saja kelabu ketika kami tinggalkan. Pusat kota Bern tak terlalu berkabut. Begitu masuk ke jalan tol menuju Interlaken, suasana berubah muram. Kabut menghalangi jarak pandang hingga berpuluh meter saja. Danau Thun di sisi jalan menuju kota tersebut terlihat samar-samar saja. Padahal kata Bapak, jika tak berkabut tentu indah sekali berkendara di tepi danau seperti ini. Interlaken berjarak hampir satu jam perjalanan dari ibukota Swiss. […]
[…] untungnya gak ribut soal makanan jika sedang di perjalanan. Ketika ke Bern, kami beli roti bundar dan keju irisan. Dimakan begitu saja di dalam kendaraan. Murah dan […]