Irlandia, negeri pertama selain Jerman yang Emak datangi dengan visa. Sebelumnya paling banter pakai visa on arrival (Turki). Enak memang kalau kemana-mana tinggal pergi gak perlu visa. Kemarin mengurus visa butuh waktu lima minggu lebih. Deg-degan sampai akhir. Jadi tidak, jadi tidak? Untunglah visa jadi saat injury time.
Alhamdulillah, perjalanan dari rumah ke bandara lancar jaya. Berangkat seperempat jam lebih lambat dibanding rencana. Tak ada antrian pajang, kecuali saat mau boarding.
Satu setengah jam di badan pesawat, Emak habiskan 2/3-nya dengan tidur. baru bangun ketika ada anak di depan berteriak girang, “Mama lihat London di bawah kita!”
Bangun, saya suruh Embak melongok ke bawah. Emak duduk di dekat jalan. Mengintip sebentar, hampir tak kelihatan apa-apa. Wong langit London ketutup awan banyak sekali gitu. Kata Embak, Sungai Thames-nya terlihat.
Setengah jam terakhir, kami bertiga makan nasi bekal, beli tiket Aircoach di dalam pesawat untu pergi ke pusat kota Dublin. Sekalian beli pp biar dapat potongan. Jelang mendarat, terlihat sebagian timur pulau.
“Hijau banget ya, Mi,” komentar Embak.
“Sama ama Jerman, ah,” Bapak menimpali.
Dublin baru saja hujan. Berangin, tapi tak terlalu dingin. Bandaranya gede. Adek girang naik apa itu, kaya tangga berjalan tapi yang di lintasan datar. Buat orang bisar cepat berjalan. Petugas imigrasi di counter Non-EU cuma satu. Bapak tua tak ramah.
“Kalian dari mana?”
“Indonesia”
“Trus ngapain di Jerman?”
“Dia kerja,” Emak menunjuk Bapak.
“Apa?”
“Engineer.”
“Ngapain datang ke Irlandia?”
“Turis.”
“Datang pertama kali?”
“Ya.”
“Berapa lama?”
Setelahdijawab semua baru stempel paspor masing-masing tiga kali. Entah apa saja, Emak belum lihat paspor lagi. Padahal biasanya suka lihat stempel. Malas kalau ketemu orang tak ramah.
“Kasihan ya, minggu-minggu harus kerja. Mana orang non EU lagi banyak. “Mungkin beliau sudah capek.”
Bukan ke ami saja Bapak tua itu begitu. Keluarga Amerika sebelum kami, sampai terlihat menerangkan panjang lebar. Juga dua gadis Kanada di depan kami.
Kami langsung mencari halte bus. Kata petugas Ryanair tadi deket pintu keluar terminal kedatangan. Eh, kami salah keluar. Terus menyeberang bangunan parkir dan ke terminal besar yang banyak busnya. Tak kelihatan bus Aircoach. Tanya seorang sopir.
“Bukan di sini,” katanya. Keluar lagi lewat gedung parkir itu, belok kanan!”
Oh iya, salah. Bus biru Aircoach sudah menunggu manis. Siap berangkat. Pak sopir hanya melihat sejenak tiket kami.
Bapak, Embak dan Adik sempat tertidur. Emak selalu terpesona oleh tempat baru. Menikmati rumah-rumah penduduk, jalanan, toko-toko, pub dan bar dan pusat kota. Emak kira kami bakal turun di halte terakhir. Makanya santai-santai saja. Eh, tapi kok sudah gak di pusat kota lagi? Perasaan penginapan kami tak jauh dari Temple Bar?
Benar saja. di suatu halte, Pak sopir menanyai kami satu per satu. Kami tunjukkan alamat hostel.
“Yah, kalian mestinya sudah turun di halte kedua dari bandara.”
Hah, dah jauh ketinggalan berarti.
“Kalian mesti naik bus Aircoach lagi arah bandara. Terangkan saja situasinya.”
Baru saja akan menyeberang satu bus biru lewat halte, terus jalan. Melihat kami bawa backpack, beliau langsung berhenti, berpuluh meter setelah halte. Saya terangkan kondisi kami.
“Naik saja, nanti saya tunjukkan dimana kalian mesti turun.” Kami tak disuruh membayar lagi.
Di halte Suffolk Street beliau memberi sebuah peta. “Kalian turun dua halte lagi, yah.”
Mestinya kami turun di Connely Street.
“Kalau jalan kaki dari sini jauh. Mending naik tram Red Line di jalan itu,” katanya menunjuk peta.
“Makasih banyak,” kami serentak menjawab.
Sayangnya kalau naik Red Line mesti bayar lagi. Keluarga pelancong pilih jalan kaki. Menenteng backpack seberat masing-masing 9 kilo (Emak dan Bapak), 8 kilo (Embak) dan 3 kilo (Imraan). Dua puluh menit saja dari Connely Street ke penginapan.
Aihh… dunia masih penuh orang baik, ramah, dan penolong, kok!
mba.. welcome to Ireland ya.. dtunggu liputannya.. do’akan moga bs ksn jg..slh 1 ngra yg sjk SMP ingin kesana.. hehe..:)
hahahaha seru yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
hahahaha lanjuuuuut mbak!
Selamat melancong mbak sekeluarga, find ri’ayatillah. Salam buat mas dan para kurcacinya hehe
Makasih, Om Ichan…. Semoga segera ada kabar baik dari sana. Aamiin… 🙂
Makasih, Mardha. In shaa Allah mardha juga segera menyusul jalan2 kesana. Mumpung masih di Eropa. 🙂
Sip…. makasih, Pau… 🙂
seru sekali mengikuti kisah perjalanan nya, sungguh suatu kesempatan yang sangat berharga bisa seperti itu.
alhamdulilah, Mbak Hanari.